Bank Swasta Besar di Jalur Pemulihan Bisnis

Date:

Bank-bank besar swasta nasional yang tergabung dalam kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV, di luar bank-bank BUMN, telah merilis kinerja keuangan mereka untuk periode Juni 2021.

Kinerjanya yang positif menjadi menarik, sebab meskipun hanya segelintir, mereka adalah kelompok yang menguasai sebagian besar kue industri perbankan nasional.

Ada enam bank di kelompok ini dengan total aset mencapai Rp2.232 triliun per Juni 2021. Jika mengacu pada data OJK per Mei 2021, total aset industri perbankan mencapai Rp9.274. Dengan demikian, keenam bank tersebut menguasai aset setidaknya 24% dari total industri perbankan.

Meskipun demikian, pangsa pasar mereka memang masih kalah ketimbang bank BUMN yang jumlahnya hanya 4 bank, tetapi mereka menguasai total aset perbankan nasional senilai Rp3.790 triliun per Mei 2021. Nilai itu setara 41% dari total aset industri perbankan nasional.

Besarnya Himbara tentu tidak terlepas dari dukungan negara. Bahkan selama pandemi, kelompok bank ini memperoleh dukungan penempatan dana murah dari negara. Dalam waktu dekat, bank negara juga bakal kembali menerima suntikan modal berupa penyertaan modal negara (PNM).

Sebaliknya, bank-bank swasta tidak memiliki privilese tersebut. Oleh karena itu, kenyataan bahwa mereka mampu membesarkan bisnisnya serta bertahan dengan cukup baik selama masa pandemi tentu menjadi lebih menarik dan lebih nyata mencerminkan daya tahan perbankan nasional.

Lantas, bagaimana kinerja mereka pada paruh pertama tahun ini? Mari kita ulas.

 

Masih Tertahan

Bisnis utama yang dijalankan perbankan adalah melaksanakan fungsi intermediasi, yakni keperantaraan antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Bank tidak saja sekadar menyalurkan dana tersebut, tetapi melakukan analisis yang penuh kehatian-hatian.

Jadi, indikator utama untuk menilai pertumbuhan bisnis bank adalah dari kinerja kredit dan dana pihak ketiga (DPK) mereka. Kredit merupakan sumber pendapatan utama bank, sedangkan DPK adalah sumber likuiditas bank untuk menyalurkan kredit.

Berdasarkan laporan keuangan keenam bank swasta terbesar nasional, kinerja mereka tampak bervariasi pada paruh pertama tahun ini. Namun, secara umum kinerja bisnisnya ditandai oleh kredit yang masih tertekan dan laju pertumbuhan DPK yang pesat.

Berikut ini data kinerja neraca keuangan bank-bank swasta tersebut:

PT Bank Central Asia Tbk. memang menjadi yang paling menonjol di antara kelompok bank swasta nasional ini. Kinerja BCA secara khusus telah diulas tersendiri dalam artikel sebelumnya.

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa secara umum kinerja kredit dari kalangan bank swasta ini masih tertekan. Pertumbuhan yang sangat tinggi memang terlihat pada PT Bank Permata Tbk., tetapi ini terjadi akibat konsolidasi kantor cabang Bank Bangkok di Indonesia ke dalam Bank Permata.

Konsolidasi itu efektif pada akhir 2020, sehingga efeknya pada kinerja keuangan Bank Permata baru terlihat pada paruh pertama tahun ini. Seperti diketahui, tahun lalu Bank Permata telah diakuisisi oleh Bangkok Bank dari Standard Chartered Plc. dan PT Astra International Tbk.

Adapun, pada Juni tahun lalu, kondisi industri perbankan sudah mulai tertekan akibat pembatasan mobilitas masyarakat. Kenyataan bahwa pada Juni tahun ini pun kredit perbankan swasta ini masih menurun menunjukkan bahwa kinerja bisnis mereka belum pulih.

Di tengah kondisi ini, para pelaku industri perbankan harus mencari cara lain untuk mengerek kinerjanya. Sebab, volume bisnis tentu berkurang karena penurunan kredit sehingga arus pendapatan sudah pasti menurun.

Pilihannya kini adalah bagaimana mengoptimalkan sumber pendapatan alternatif serta mengefisiensikan beban usaha yang ada.

Jika diperhatikan, kinerja intermediasi bank swasta pada awal tahun ini memang tidak seimbang. Di satu sisi, kinerja kreditnya turun, tetapi di sisi lain kinerja DPK justru tumbuh pesat. Alhasil, sudah tentu beban keuangan bank meningkat, sedangkan pendapatan berkurang.

Dengan demikian, tidak mengherankan sebenarnya jika akhirnya bank mengalami koreksi pendapatan bunga bersih dan penurunan laba. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.

Bank menggunakan likuiditas berlebihnya dari pertumbuhan DPK untuk diinvestasikan di instrumen surat berharga negara (SBN). Dengan demikian, bank tetap memperoleh keuntungan dari pembayaran kupon SBN.

 

Laba Bank Swasta Masih Tumbuh

Kondisi intermediasi perbankan yang tidak berimbang tersebut di satu sisi memang tidak ideal bagi industri perbankan. Namun, di sisi lain, kondisi ini juga menguntungkan bagi negara. Sebab, kondisi pandemi menuntut belanja yang tinggi dari pemerintah untuk bantuan sosial dan penanganan pandemi.

Sejak 2020 lalu, utang pemerintah membengkak sebab belanja negara meningkat pesat dibandingkan dengan kondisi normal. Selain itu, pemerintah juga mengandalkan instrumen fiskal untuk insentif pada sejumlah sektor. Alhasil, pendapatan dari pajak pun tidak dapat optimal, apalagi kondisi ekonomi tengah tertekan.

Berlimpahnya likuiditas perbankan menjadi penopang bagi langkah pemerintah dalam menerbitkan surat utang untuk membiayai kebutuhan anggaran sepanjang dua tahun terakhir. Bank menjadi investor utama yang menyerap sebagian besar surat utang baru yang diterbitkan negara.

Dengan demikian, beban Bank Indonesia untuk menjadi pembeli siaga atas SBN yang diterbitkan negara pun menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan secara umum kondisi intermediasi bank yang tidak berimbang selama dua tahun terakhir bukanlah menjadi isu yang serius.

Ceritanya tentu akan sangat berbeda jika ketidakseimbangan itu terjadi dalam kondisi yang normal, tidak di tengah pandemi. Sebab, hal itu menunjukkan bank tidak efektif dalam menjalankan bisnisnya. Lagi pula, keuntungan yang diperoleh dari membeli SBN tidak setinggi dari penyaluran kredit.

Kondisi pandemi secara alami telah menekan permintaan kredit, sebab pembatasan mobilitas menjadikan perekonomian sulit bergerak dan kalangan korporasi kesulitan menjalankan bisnisnya. Alhasil, kebutuhan terhadap kredit baru untuk ekspansi pun berkurang drastis.

Alih-alih mencairkan kredit baru, kalangan dunia usaha justru memilih melunasi kredit mereka yang ada demi mengurangi beban keuangan selama masa resesi.

Dengan demikian, pandemi rupanya telah menciptakan keseimbangan baru dalam bisnis perbankan. Dalam kondisi ini, bank masih mampu mengoptimalkan pendapatan mereka. Selain itu, bank juga memiliki sumber pendapatan lain-lain, seperti pendapatan komisi, sehingga laba tetap tumbuh.

Berikut ini kinerja pendapatan dan laba bank-bank swasta besar ini pada paruh pertama tahun ini:

Terlihat bahwa pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) mayoritas bank swasta ini kompak bertumbuh, kecuali Danamon. Sementara itu, dari lini pendapatan non-bunga, hampir semuanya menunjukkan kinerja yang tidak memuaskan. Hanya CIMB Niaga yang kinerjanya positif.

Meskipun demikian, dari sisi laba bersih, mayoritas bank pun mencatatkan kenaikan laba yang signifikan. Hanya OCBC NISP yang mengalami penurunan laba, serta Bank Panin yang mencatatkan pertumbuhan satu digit. Selebihnya, laba mereka kompak tumbuh dua digit.

Jadi, kinerja bank swasta nasional telah membaik?

Jika berpatok pada laporan keuangan tersebut, tentu kesimpulannya adalah, ya, kinerja mereka membaik. Namun, perlu diingat bahwa capaian kinerja mereka yang tinggi pada semester I/2021 adalah karena nilai pembandingnya pada semester I/2020 lalu mengalami tekanan yang dalam akibat pandemi.

Selain itu, pada 2020 lalu, bank baru saja melakukan penyesuaian dengan kebijakan akuntansi yang baru, yakni PSAK 71, yang pada intinya mewajibkan bank membukukan pencadangan kerugian yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Dengan demikian, selain karena tekanan pandemi, bank juga terbebani oleh kewajiban akuntansi tahun lalu sehingga laba mereka turun tajam. Tahun ini, beban pencadangan itu tidak lagi setinggi tahun lalu, sebab risiko kredit perlahan mulai dapat ditangani oleh bank setelah makin terbiasa dengan kondisi pandemi.

Meskipun begitu, kinerja perbankan pada tahun ini belumlah normal. Jika dibandingkan dengan periode sebelum pandemi, kinerja laba bank pada awal tahun ini akan terlihat masih lesu.

Sebagai contoh, laba bersih Bank Danamon pada semester I/2019 mencapai Rp1,53 triliun. Dengan pertumbuhan laba bersihnya yang sebesar 18,1% pada paruh pertama tahun ini, Danamon baru mampu membukukan Rp998 miliar, masih jauh lebih rendah dibanding capaian semester I/2019 tersebut.

 

Di Jalur Pemulihan

Meskipun demikian, kenyataan bahwa kinerja laba perbankan swasta pada paruh pertama tahun ini sudah kembali bertumbuh tentu adalah kabar baik. Lagi pula, kondisi pandemi memang belum berakhir. Jadi, wajar saja jika kinerja bank pun belum kembali seperti kondisi normal.

Di samping itu, pertumbuhan ekonomi pun memang melesat sangat tinggi pada kuartal II/2021, yakni mencapai 7,07% yoy. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang semester I/2021 berhasil tumbuh 3,1%. Namun, lagi-lagi, ini karena baseline yang rendah akibat kontraksi ekonomi tahun lalu.

Pada prinsipnya, sebagai jantung perekonomian yang mengalirkan uang di tengah masyarakat, kinerja bank cenderung akan sejalan dengan kinerja perekonomian. Memasuki paruh kedua tahun ini, pandemi memang cenderung memburuk, tetapi tampaknya tekanan terhadap ekonomi tidak akan lagi separah tahun lalu.

Dengan demikian, masih ada harapan bahwa kinerja perbankan akan tetap berakhir positif hingga akhir tahun nanti. Apalagi, proses penanganan pandemi kini sudah disertai oleh vaksinasi, sehingga harapan bagi pemulihan ekonomi menjadi lebih besar ketimbang pada awal-awal masuknya Covid-19.