Apa Itu ARA dan ARB Saham? Update 2021
[Waktu baca: 4 menit]
"Asyik, sahamnya ARA" atau "Waduh, sahamnya ARB" adalah ekspresi yang diucapkan oleh trader atau investor saham ketika melihat saham tertentu mengalami ARA atau ARB.
Bagi trader atau investor saham yang telah malang melintang dalam aktivitas trading atau investasi saham, ARA atau ARB adalah istilah yang sering didengar dan diketahui artinya. Namun, bagi investor atau trader pemula, ARA dan ARB adalah istilah yang sangat asing. Apa itu ARA? Apa itu ARB? Apa perbedaannya?
Jangan khawatir. ARA dan ARB adalah istilah yang mudah untuk dipahami. Berikut ini penjelasannya:
ARA
Pada dasarnya, harga saham bisa bergerak naik, turun atau tidak bergerak sama sekali dalam suatu hari perdagangan saham. Apabila harga saham naik, apakah ada batas kenaikannya dalam suatu hari? Apakah harga saham tersebut bisa naik hingga tidak terbatas dalam suatu hari?
Tentu saja, kenaikan harga saham dalam suatu hari ada batasnya. Batas itulah yang disebut dengan ARA. ARA adalah kepanjangan dari Auto Reject Atas atau batas atas pergerakan harga saham dalam suatu hari.
Batas itu dinyatakan dalam persentase. Sistem ARA ini telah diatur dalam Jakarta Automated Trading System (JATS) NEXT-G. Berikut ini ketentuan ARA sesuai sesuai Keputusan Direksi Bursa Efek Indonesia Nomor Kep-00023/BEI/03-2020:
Sebagai contoh, harga pasar saham BRIS (PT BRI Syariah Tbk) ditutup di level Rp1.125 pada 13 Oktober 2020. Setelah itu, saham ini bisa meningkat hingga Rp1.405 ketika dibuka keesokan harinya pada 14 Oktober 2020 atau meningkat 24,89%. Karena saham BRIS berada di rentang Rp200 s/d Rp5.000 maka batas ARA-nya adalah 25%.
Batas atas itu bisa lebih besar dua kali lipat khusus saham yang baru pertama kali diperdagangkan di BEI atau hari pertama perdagangan. Seperti diketahui, tidak jarang saham yang baru saja IPO (penawaran umum perdana) "terbang" berkali-kali lipat pada hari pertama perdagangan.
Selain saham IPO, saham yang bisa naik hingga menyentuh batas ARA adalah saham yang terkena sentimen tertentu, misalnya aksi korporasi seperti merger atau akuisisi. Sebuah saham bisa ARA dalam satu hari perdagangan, namun bisa juga ARA lagi keesokan harinya.
Saham yang mengalami ARA biasanya bukan saham yang memiliki kapitalisasi pasar besar (big caps) melainkan saham yang memiliki kapitalisasi pasar menengah dan kecil.
ARA membuat investasi saham tampak seperti instrumen yang bisa menghasilkan keuntungan dengan cepat. Kendati demikian, perlu diingat, ARA tidak selalu bisa diprediksi oleh pelaku pasar. Oleh karena itu, investor perlu mengingat risiko yang melekat di investasi saham.
ARB
Sementara itu, ARB adalah kebalikan ARA. ARB adalah Auto Reject Bawah atau batas maksimal penurunan harga saham. Dengan kata lain, ARB adalah batas bawah suatu harga saham bisa turun. Persentase ARB dulu sama seperti ARA.
Namun, koreksi pasar saham besar-besaran karena pandemi virus corona pada Maret 2020 membuat manajemen BEI mengubah ketentuan ARB menjadi 10% dari sebelumnya sebesar 20%-35%. Namun, ARB sebesar 10% ternyata tidak cukup. BEI kembali mengubah batas ARB menjadi 7%.
Dalam beberapa hari di bulan Maret 2020, banyak saham yang mengalami ARB. Saham-saham yang mengalami ARB bukan hanya saham lapis dua atau tiga, tapi saham-saham yang masuk indeks LQ-45 yang dikenal memiliki saham dengan fundamental perusahaan yang baik.
Berikut ini ketentuan ARB sesuai sesuai Keputusan Direksi Bursa Efek Indonesia Nomor Kep-00023/BEI/03-2020:
Harga saham bisa terus turun dengan batas sebesar Rp50. Namun, harga saham tidak bisa turun lagi hingga di bawah Rp50. Tidak sedikit saham yang kini terkapar di level Rp50. Terkadang investor saham kesulitan menjual saham yang "nyangkut" di harga Rp50.
Update: Sampai awal 2021, BEI belum mengubah kebijakan ARB tersebut dengan persentase yang sama seperti ARA. Dengan kata lain, batas penurunan harga saham masih sebesar 7%.
Date: