Hikayat Mobil Terbang

Date:

[Waktu baca: 4 menit]

Jika sedang iseng dan ingin melihat betapa miskinnya kita, cobalah telusuri daftar 10 orang terkaya di dunia pada mesin pencari.

Di nomor 10, ada Daniel Gilbert, pemilik klub basket Cleveland Cavaliers. Di daftar yang sama, ada bos besar Google dan Facebook; Sergey Brin, Larry Page, dan Mark Zuckerberg. Tak ketinggalan, dua sepuh yang sudah menghuni daftar ini sekian belas tahun; Bill Gates dan Warren Buffet. Jangan lupakan Elon Musk, pemilik Tesla yang tajir melintir berkat Paypal. Dan yang paling atas, ada Jeff Bezos; William Tanuwijaya-nya Amerika.

Yang menarik, tidak ada satu pun dari ke-10 nama yang menghuni daftar tersebut berstatus sebagai budak korporat. Mungkin ada yang mengawali karier sebagai karyawan di sebuah perusahaan, namun bisnisnyalah yang berhasil mengantarkan mereka ke dalam daftar 10 orang terkaya.

Berbisnis itu memang menarik. Jika karyawan mendapatkan gaji yang sama setiap bulan, maka penghasilan pengusaha itu tidak tertakar. Yang menjadi batasan adalah seberapa cepat, seberapa pandai, serta seberapa banyak resource yang mereka punya untuk menanggapi demand yang masuk.

Terlebih lagi di era digital seperti sekarang ini. Dulu, jika ingin berdagang, harus punya modal untuk sewa toko dengan lokasi yang mumpuni. Sekarang, toko di pelosok pun tak apa karena bisa terhubung lewat platform e-commerce.

Selain mendemokratisasi kesempatan, teknologi juga memangkas rantai supply demand. Platform e-commerce misalnya, mampu menjadi penyambung langsung antara produsen dan konsumen. Didukung oleh logistik dan sistem pembayaran yang baik, maka tidak perlu lagi distributor sebagai middle man. Memangkas rantai berarti menurunkan biaya. Pembeli bisa mendapat harga yang lebih murah, sementara produsen dapat meraup margin yang lebih tebal.

Teknologi juga memungkinkan seorang pengusaha rintisan untuk dapat memberikan produk atau jasa ke banyak orang dengan resource yang kurang lebih sama. Proses otomasi yang berbasis teknologi menjadi salah satu pilar penting bagi tech start up untuk bisa scale up dengan cepat.

Faktor-faktor inilah yang sepertinya membuai banyak orang untuk mulai melirik profesi pengusaha. Anak muda berlomba-lomba untuk mendirikan start up, menjadi founder dan CEO dari usaha yang mereka rintis sendiri. 

Ide dan peluang bisnis menjadi obrolan sehari-hari bagi mereka yang ingin menjadi pengusaha. Mencoba mencari solusi bagi masalah banyak orang, mencoba menjual ide ke para penyuntik dana, dan pada akhirnya, mencoba menjadi bagian dari daftar orang terkaya, setidaknya di Indonesia.

Tak jarang, ide-ide brilian ini tercetus saat sedang mandi, lalu berlanjut ke garasi untuk coba diejawantahkan. Yang mungkin orang sering lupakan yang pada akhirnya membedakan antara garasi yang satu dan yang lainnya adalah ide yang satu berhenti di kamar mandi. Kuncinya adalah eksekusi. Ide boleh sama brilian, tapi eksekusilah yang menjadi pembeda yang menentukan.

Sebuah usaha yang sukses terdiri dari sedikit inpsirasi dan banyak respirasi. Ide itu harus bergerak. Gagasan itu mesti dicoba. Ide yang tercetus bisa tergerus bak kapur barus kala tak diurus dengan serius. Ia hanya akan jadi sebuah coretan di atas kertas, bila detail bagaimana menghidupinya tak pernah dibahas.

Gagasan bisnis nan brilian hanya akan jadi sebuah hikayat jika eksekusinya berantakan.

Ide bisnis yang sebatas konsep itu ibarat orang-orang yang sedang nongkrong di warung kopi, yang kalau ditanya apa solusi macet ibukota, maka mereka menjawab mobil terbang, menyeruput kopi, lalu tertawa. Tanpa ada bahasan lebih lanjut, terbangnya setinggi mana, apa yang bisa membuat mobil itu bisa terbang, atau bagaimana mengatur lalu lintas di atas sana. Jangan-jangan macetnya hanya berpindah dari darat ke udara.

Mari berkaca pada kisah hidup Kolonel Harland Sanders. Semua berawal ketika sang kolonel mempunyai sebuah tempat di area pom bensin, yang ia yakini punya potensi sebagai restoran. Dari sana, sang kolonel mulai berpikir kira-kira makanan apa yang akan terpampang di menunya. Ia pun mulai bergerak, bereksperimen membuat resep ayam goreng. Butuh sepuluh tahun untuk akhirnya Kolonel Sanders menemukan resep ayam goreng yang digadang paling enak se-Amerika waktu itu.

Terdiri dari sebelas bumbu yang dirahasiakan, diaduk sebanyak 20 kali bersama tepung dan adonan lainnya. Ayamnya harus direndam air, lantas dikeringkan dengan digoyangkan dalam saringan sebanyak tujuh kali, tidak kurang tidak lebih. Kemudian ayamnya dimasukkan ke dalam adonan, diaduk dengan teknik tertentu sebanyak tujuh kali. Lalu akhirnya, ditiriskan ekses tepungnya dengan digoyangkan dalam saringan, lagi-lagi, sebanyak tujuh kali.

The devil is in the details.

Jika Kolonel Sanders adalah mereka yang nongkrong di warung kopi, mungkin ayam goreng paling enak itu masih sekedar hikayat. Seperti mobil terbang yang digadang-gadang sebagai solusi macet ibukota.

Tags: