Tantangan Berat Penyerapan Anggaran Covid-19

Date:

Sejatinya, pemerintah memiliki tantangan besar pada penyaluran anggaran. Meski kebijakan dan nilai besaran sebuah anggaran telah ditentukan. Usahanya akan sia-sia jika proses penyalurannya terhambat, ujungnya pemerintah harus menambal berulang kali. 

Masih hangat dalam ingatan publik tentang perilaku kasus korupsi bantuan sosial (bansos) oleh Menteri Sosial yang menjabat kala itu, Juliari Batubara. Atas dasar tersebut, keraguan publik akan penyaluran anggaran semakin besar.

Baru-baru ini, Menteri Dalam  Negeri Tito Karnavian menegur 19 provinsi yang disebutnya lamban dalam memanfaatkan dana negara yang di transfer ke daerah untuk mengatasi pandemi. 

Pada saat yang sama, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengaku kalau haknya belum terpenuhi, mulai dari tambahan upah atau insentif hingga perlengkapan kerja. Adapun, insentif semestinya diberikan sebagai penghargaan bagi tenaga kesehatan (nakes) yang menangani kasus Covid-19.

Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.17/2021. Dalam regulasi itu, disebutkan bahwa insentif untuk nakes dibayarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) menggunakan dana alokasi umum dan dana bagi hasil. Keduanya adalah anggaran yang diberikan pemerintah pusat dari APBN.

Para nakes pun mendesak pemerintah untuk segera mengatasi masalah birokrasi ini. Sementara itu, dalam realokasi anggaran terbaru, Kementerian Keuangan memberikan alokasi tambahan insentif nakes sebesar Rp1,08 triliun, sehingga total kini menjadi Rp18,4 triliun.

Tentu saja, tambahan anggaran menjadi kehilangan maknanya ketika lambat tersalurkan, sedangkan kondisi di lapangan fasilitas kesehatan telah kolaps dan nakes kelelahan. Terlambatnya penyaluran insentif justru dapat menurunkan motivasi para nakes dalam penanganan pandemi.

Adapun, jumlah insentif untuk nakes berbeda-beda, tergantung fungsinya. Dokter spesialis dan umum masing-masing mendapatkan Rp15 juta dan Rp10 juta, sedangkan bagi perawat maksimal Rp7,5 juta per bulan, tergantung jenis pekerjaannya.

Sementara itu, bagi tenaga medis lainnya yang juga menangani kasus Covid-19, paling banyak mendapatkan insentif Rp5 juta. Insentif diberikan sesuai dengan intensitas pekerjaan dan hari kerja penanganan pandemi.

Persoalan tentu saja bukan semata pada insentif tenaga medis, tetapi juga pada operasional fasilitas kesehatan, mulai dari APD, perlengkapan medis, hingga obat-obatan. Beberapa nakes bahkan harus menggunakan uang pribadi untuk membeli APD.

Beberapa puskesmas juga kerap kehabisan stok obat, sedangkan proses pengadaan kembali cenderung sangat lama. Padahal, permintaan terus melonjak dari hari ke hari seiring dengan peningkatan kasus baru yang pesat.

Ini belum termasuk juga dengan tantangan penyaluran bantuan sosial ke daerah. Penerapan PPKM Darurat memaksa banyak pelaku usaha untuk membatasi aktivitas usahanya, sehingga berdampak signifikan pada ekonomi mereka, termasuk para karyawan.

Lambatnya penyaluran bansos menjadikan PPKM Darurat seperti mimpi buruk bagi masyarakat. Tidak mengherankan jika akhirnya langkah tersebut diprotes, sebab pemerintah lamban memberikan solusi bagi masalah perut masyarakat.

Berikut ini data anggaran dan realisasi program bantuan melalui pemda berdasarkan data paparan Kementerian Keuangan pekan lalu:

Dari data tersebut, terlihat bawah dari total bantuan anggaran pemda untuk perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi senilai Rp25,46 triliun, baru terserap Rp4,6 triliun atau 18,2%.

Teguran dari Menteri Tito kepada para kepala daerah sejatinya menegaskan bahwa ada yang tidak beres dalam upaya penanganan pandemi di daerah.

Tito melaporkan bahwa hingga pertengahan tahun ini hanya ada enam provinsi yang telah menyalurkan insentif nakes di atas 50%, yakni Kalimantan Selatan (100%), Nusa Tenggara Timur (74,1%), Kalimantan Barat (66%), Jawa Timur (62%), Banten (58,6%), dan Kalimantan Utara (50,1%).

Sementara itu, ada tiga provinsi yang sama sekali belum menyalurkan insentif, yakni Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung. Lebih parah lagi, ada provinsi yang bahkan belum menganggarkan insentif nakes dalam APBD tahun ini, yakni Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Namun, bukan Indonesia namanya kalau tidak saling tuding menuding pihak yang bersalah. Pemda justru mempersalahkan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, yang merancang Sistem Informasi Pendapatan Daerah (SIPD) yang dinilai relatif rumit.

Sistem yang baru ini dinilai menghambat penggunaan anggaran secara cepat, sebab belum semua kepala daerah memahami sistem tersebut. Alhasil, pemda pun menjadi sangat berhati-hati dalam mengeksekusi anggarannya, menghindari adanya temuan yang justru dapat menyebabkan pemda terkriminalisasi.

Jadi, siapa yang salah?

Beberapa pengamat menilai SIPD semestinya ditunda dulu penerapannya sehingga pemda dapat merealokasi anggarannya dengan lebih lincah. Pertanggungjawaban anggaran mestinya dapat tetap dibuat tanpa harus dimasukkan dalam sistem tersebut.

Namun, ada juga yang beranggapan kesalahan terutama karena kelalaian dan ketidaksiapan daerah dalam penyusunan anggaran serta data dan mekanisme penyaluran yang tidak memadai. SIPD hanya merekam transaksi pemda dan mereka sejatinya bisa melakukan transaksi di luar itu.

Hingga 15 Juli 2021, total anggaran penanggulangan pandemi di daerah oleh pemda di bidang kesehatan baru terserap 19,2%, di bidang ekonomi 19,8%, dan jaringan pengaman sosial 43%.

Dari tahun ke tahun, realisasi anggaran negara umumnya memang cenderung terbatas di paruh pertama dan menggemuk di akhir tahun. Namun, kondisi pandemi adalah situasi darurat sehingga semestinya penyaluran anggaran dapat lebih merata.

Selain itu, meskipun menggemuk di akhir tahun, tetap saja tidak ada jaminan anggaran dapat terserap optimal. Tentu adalah hal yang positif jika penyerapan anggaran di bawah target terjadi karena adanya efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Namun, jika alasannya karena masalah birokrasi, tentu bukanlah hal yang patut disyukuri.

Tahun lalu, realisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional hanya mencapai 83,4% dari total anggaran Rp695,2 triliun, yakni Rp579,8 triliun. Artinya, ada sisa anggaran lebih PEN senilai Rp115,4 triliun yang tidak terserap. Ini tentu jumlah yang sangat besar.

Tidak ada jaminan bahwa kondisi yang sama tahun lalu tak akan terulang tahun ini. Artinya, keputusan pemerintah untuk menaikkan anggaran penanganan pandemi baru-baru ini boleh jadi hanya akan menjadi lip service belaka jika persoalan utama di sisi penyerapan anggaran belum teratasi.

Lagi pula, menimbang bahwa tahun ini adalah tahun kedua pandemi, mestinya persoalan klasik ini sudah selesai tahun lalu. Entah karena lenggah merasa pandemi sudah reda tahun ini, ataukah karena sejak awal memang tidak serius, yang jelas publik kadung kecewa dengan perkembangan yang ada.

Setelah teguran dari Mendagri Tito, Kemendagri melaporkan bahwa sudah ada perbaikan di daerah, terutama dalam hal insentif tenaga kesehatan. Pada 9 Juli 2021, anggaran nakes di tingkat provinsi yang semula Rp1,7 triliun, naik menjadi Rp1,9 triliun atau bertambah Rp200 miliar per 17 Juli 2021.

Selain itu, dari sisi penyerapannya juga meningkat. Per 17 Juli 2021, realisasi insentif nakes di tingkat provinsi sudah sebesar 40,43% atau sekitar Rp780,9 miliar.

Sementara itu, di tingkat kabupaten kota, alokasi anggaran insentif nakes pada saat yang sama juga naik dari Rp6,8 triliun menjadi Rp6,9 triliun, atau bertambah Rp100 miliar dalam sepekan. Dari sisi realisasi penyerapan anggaran juga meningkat signifikan, dari hanya 9,73% menjadi 18,99%.

Ini tentu adalah peningkatan yang signifikan, apalagi waktunya hanya sepekan. Namun, angka penyerapan 18,99% bukanlah angka yang tinggi, apalagi ini sudah bulan ketujuh tahun ini.

Selain itu, provinsi Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung hingga kini juga masih tetap belum merealisasikan insentif tersebut. Demikian juga provinsi Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua hingga kini masih belum menyusun anggaran insentif nakes.

Lagi pula, peningkatan penyerapan ini baru terjadi setelah adanya teguran keras. Butuh kontrol ekstra ketat dari pemerintah pusat jika ingin memastikan peningkatan ini berkesinambungan. Jika tidak, tampaknya pola lama yang lambat bakal kembali terulang