Sektor Pariwisata di Tengah Larangan Mudik Lebaran 2021

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Bagi sektor pariwisata di daerah metropolitan seperti DKI Jakarta dan kawasan penyangganya, kebijakan pemerintah membolehkan sebagian objek wisata beroperasi selama libur lebaran 2021 memunculkan dampak ekonomi tersendiri. Objek-objek wisata kenamaan tampak mengalami tingkat kunjungan tinggi.

Misalnya di kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Sebagaimana diwartakan CNN Indonesia, pada hari kedua lebaran Jumat (14/5) kunjungan ke objek wisata yang terletak di Jakarta Utara tersebut mencapai 39.000 orang. 

Angka tersebut melampaui batas 30 persen yang diatur Pemprov DKI, yang dalam kasus Ancol berkisar 36.000 pengunjung. Meskipun, pengelola mengklaim kondisi terkendali karena akses masuk dibatasi sedemikian rupa agar tak melebihi 36.000 orang di satu waktu bersamaan.

Jumlah tersebut tidaklah kecil. Bahkan bisa dikatakan hampir menyamai tingkat kunjungan normal Ancol pada masa prapandemi yang berkisar 30.000-40.000 pengunjung per hari.

Dengan asumsi harga tiket masuk kawasan Ancol saja berkisar Rp25.000 per individu, maka pendapatan yang mereka raup pada hari kedua lebaran dari tiket masuk saja berkisar Rp900 juta. Itu baru tiket masuk. Belum mencakup biaya masuk tempat wisata dan wahana-wahana spesifik yang bisa lebih mahal 4-5 kali lipat dari tiket masuk.

Agaknya masuk akal bila dalam sehari selama lebaran kedua kemarin, perputaran uang di kawasan Ancol mencapai bermiliar-miliar rupiah.

Sebagai informasi, sejak pandemi datang, di luar masa libur lebaran rata-rata pengunjung Ancol mentok di kisaran 7.000an per hari. 

Lonjakan tersebut melebihi ekspektasi, dan bikin pihak pengelola Ancol berencana menutup sementara pintu kunjungan pada Sabtu (15/5) hari ini guna menyusun protokol kesehatan yang lebih ketat.

“Kami akan melakukan disinefeksi seluruh area dan evaluasi penguatan penerapan protokol kesehatan,” ujar Direktur Utama PT Taman Impian Jaya Ancol Teuku Sahir seperti diwartakan Detik. 

Hal serupa berlakuk di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di objek wisata yang terletak di Jakarta Timur tersebut, pengunjung pada hari kedua lebaran ditaksir 23.000 orang. Situasi ini bikin pengelola melakukan pembatasan arus keluar masuk lokasi, mengingat batasan 30 persen kapasitas yang dibuat pemerintah bikin jumlah pengunjung mestinya tak boleh sampai 18.000 orang. 

Adanya dampak pemasukan tersebut tentu menjadi kabar positif dari sudut pandang perekonomian. Terutama bagi pemerintah, yang punya hasrat besar agar sektor pariwisata Indonesia bisa segera bangkit dari keterpurukan akibat pandemi.

Sayangnya, berkah ekonomi yang dialami Ancol, TMII, dan sekitarnya seolah tak menular ke objek-objek wisata di kota-kota luar DKI dan daerah lain di luar Pulau Jawa.

Kesenjangan, lagi-lagi, masih jadi pekerjaan rumah yang belum mampu diatasi pemerintah.

Di Jawa Barat dan Jawa Timur misal, sejumlah objek wisata seperti WoodLand di Kabupaaten Kuningan dan pantai-pantai di Pacitan masih terpantau sepi hingga berlalunya hari kedua lebaran.

Hal serupa terjadi di Klaten dan Solo Jawa Tengah, Medan dan kawasan Sumatera Utara lain hingga Lampung.

Objek-objek wisata air, yang menjadi andalan Klaten, masih terpantau sepi hingga H+1 lebaran bila mengacu pemberitaan Solopos . Hal serupa terjadi di Solo, yang terindikasi dari masih rendahnya kunjungan ke Taman Satwa Jurug dan Taman Balekambang.

“Jumlah pengunjung di hari pertama lebaran sekitar 700 orang, hari kedua 800,” ujar pengelola Jurug seperti diwartakan Kumparan. 

Angka tersebut hanya berkisar 10 persen dibandingkan pemasukan Jurug saat lebaran di masa prapandemi. Saat libur lebaran 2019 misal, sebagaimana diwartakan Republika kunjungan di Jurug bisa berkisar 7.000 orang per hari. 

Di Medan gambaran masih lesunya pariwisata saat lebaran tampak dari kunjungan sepi di sejumlah objek wisata alam hingga kebun binatang. Bahkan meski pengelola sudah menawarkan berbagai promo dan diskon tiket masuk.

Tulisan ini tidak bermaksud mengkritik kebijakan larangan mudik yang diterapkan pemerintah. Bagaimanapun, menimbang kekhawatiran terhadap potensi gelombang kasus baru setelah hal serupa terjadi di India, kebijakan larangan mudik sangat bisa dimaklumi.

Hanya saja, tak bisa dimungkiri bahwa jalan tengah yang diambil pemerintah dengan membolehkan objek wisata tetap buka rupanya juga belum menjadi solusi yang menjawab kegelisahan sektor pariwisata. Khususnya di wilayah-wilayah penduduk dengan jumlah penghuni dan daya beli yang rendah.

Dan jika sudah bicara soal pariwisata, yang tidak kalah miris nasibnya adalah sub-sektor akomodasi dan transportasi. Dua lini yang mestinya jadi penopang geliat industri pariwisata ini tak berkutik menyusul adanya larangan mudik yang diberlakukan pemerintah hingga Minggu (17/5) besok.

Lazimnya, kedua sub-sektor tersebut mendulang berkah karena wisatawan luar kota. Namun, mengingat objek-objek wisata pada masa lebaran kali ini lebih banyak dikunjungi warga lokal, bisnis hotel dan transportasi pun tak bisa menyembunyikan wajah muramnya.

Tak usah muluk-muluk bicara daerah seperti Kuningan dan Pacitan, bahkan di kawasan lebih besar seperti Yogyakarta pun kedua bisnis tersebut lesu.

Catatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukan bahwa tingkat okupansi hotel di DIY pekan ini belum bergerak sedikitpun dibanding kondisi saat krisis sebelum libur lebaran. Angka okupansi berkisar 0,8 persen hingga 19 persen dengan rata-rata hanya 1,8 persen.

Jika spesifik berbicara terkait reservasi kamar hotel, sepanjang 12 Mei hingga 17 Mei 2020 baru ada 0,8 persen dari jumlah total kamar di DIY yang sudah dipesan. Angka ini bahkan lebih rendah ketimbang catatan saat lebaran di tengah tahun pertama pandemi tahun lalu ketika 10 persen kamar sudah terisi hingga selambat-lambatnya H-3 lebaran. 

Sedangkan di sektor transportasi, tekanan yang terjadi justru kian dalam. Jika di momen lebaran mudik sebelumnya dampak terbesar dirasakan pengusaha jasa transportasi antarwilayah, kali ini efek negatif pandemi juga sudah menjalar ke bisnis-bisnis berbasis lokal seperti jasa rental mobil.

Dampaknya pun tak cuma terasa di beberapa daerah terpencil Jawa. Di kawasan lain seperti Palembang Sumatera Selatan, para pengusaha rental mobil juga mengakui adanya penurunan pendapatan secara drastis. 

Padahal, sub-sektor akomodasi maupun transportasi tergolong dalam dua lini yang kinerjanya masih relatif jeblok, dan hendak dipacu pemerintah untuk mengerek PDB Indonesia pada kuartal II.

Kembali ke pembahasan utama, selain potensi PDB melenceng dari target pada kuartal II, masalah kondisi pariwisata yang secara kunjungan maupun pemasukan belum merata juga berpotensi menghambat program prioritas pemerintah lainnya. Apalagi kalau bukan terkait pemerataan perekonomian.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), struktur perekonomian Indonesia pada 2020 secara spasial masih didominasi kelompok provinsi di Jawa dengan kontribusi terhadap PDB berkisar 58,75 persen.

Adanya kesenjangan geliat ekonomi di ibu kota dan kawasan-kawasan daerah, terutama di luar Pulau Jawa, berpotensi semakin memperdalam jurang pemisah antara perekonomian Pulau Jawa dan pulau-pulau lain.

Situasi tersebut juga akan cenderung kontraproduktif dengan ambisi Indonesia memindahkan ibu kota negara.

Sejak mengkampanyekan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, pemerintah selalu menjadikan kesenjangan perkonomian sebagai salah satu senjata yang melandasi manuver tersebut.

Akan tetapi disparitas yang masih terjadi hingga hari ini berpotensi mempersulit transisi tersebut.

Pandemi masih ada, dan proses perpindahan ibu kota tersebut juga masih dalam tahapan awal. Pemerintah masih punya waktu yang semestinya cukup untuk memperhalus proses transisinya.

Menarik untuk menanti bagaimana pemerintah akan merespons dan memperbaiki celah dan lubang-lubang yang bermunculan seiring dampak kebijakan yang telah diambil selama masa libur lebaran 2021.