Sejarah Pasar Modal Indonesia, Dimulai dari Perdagangan Efek Abad 19

Date:

[Waktu baca: 4 menit]

Pasar modal semakin populer pada saat ini seiring perkembangan teknologi. Salah satu aktivitas pasar modal yang kian populer adalah transaksi saham yang kini semakin mudah dilakukan oleh para investor.

Transaksi saham bisa dilakukan melalui aplikasi di smartphone yang disediakan oleh perusahaan sekuritas atau perusahaan teknologi. Selain saham, transaksi produk pasar modal lainnya seperti obligasi dan reksa dana juga semakin mudah dilakukan oleh para investor.

Dari tahun ke tahun, jumlah investor pasar modal juga terus mengalami peningkatan. Hingga April 2021, tercatat ada 5 juta investor pasar modal. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) melaporkan ada 5 juta lebih single investor identification (SID). 

Padahal di ahir 2019 lalu, jumlah pemegang SID 'hanya' 2,48 juta investor. Artinya jumlah investor pasar modal naik dua kali lipat dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir. Potensi keuntungan yang menggiurkan di tengah lesunya ekonomi riil akibat pandemi corona pada 2020-2021 menjadi salah satu faktor yang memikat banyak orang untuk bertransaksi di pasar modal.

Popularitas pasar modal tidak dibangun dalam satu malam. Pasar modal Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Bila ditarik ke belakang, perdagangan efek sendiri sudah dimulai di Indonesia sejak abad ke-19. Artinya, aktivitas pasar modal sudah berjalan lebih dari 100 tahun. 

Lantas seperti apa sejarah pasar modal Indonesia? Big Alpha merangkumnya untuk kamu. 

1. Transaksi Efek Sejak Abad ke-19

Transaksi efek di Indonesia ternyata sudah dimulai sejak abad ke-19, tepatnya tahun 1880. Hal ini diungkap melalui buku Effectengids yang diterbitkan Vereniging voor den Effectenhandel pada 1939. Hanya saja, transaksi efek yang sudah berlangsung sejak abad ke-19 itu dilakukan tanpa organisasi resmi sehingga catatan transaksinya tidak lengkap. 

Tahun 1878, diketahui sudah ada perusahaan perdagangan komunitas dan sekuritas, yakni Dunlop & Koff, yang ternyata adalah cikal bakal PT Perdanas. 

Kegiatan perdagangan efek baru secara resmi tercatat setelah pemerintah kolonial Belanda pada 14 Desember 1912 meresmikan cabang bursa efek Amsterdamse Effectenbueurs di Batavia atau Jakarta saat itu. 

Pasal modal di Batavia itu menjadi yang tertua keempat di Asia, setelah Bombay di India, Hong Kong, dan Tokyo di Jepang. Pendirian pasar modal di Batavia bukan tanpa sebab. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda memang sedang membangun berbagai perkebunan dengan skala besar. 

Tentunya, pembangunan perkebunan ini butuh modal besar. Karenanya pasar modal cabang Batavia ini didirikan dengan nama Verenging voor de Effectenhandel atau berarti Asosiasi Perdagangan Efek. Produk efek yang diperjualbelikan adalah saham dan obligasi. 

2. Jatuh Bangun Pasar Modal Indonesia

Meski sudah resmi berdiri, transaksi efek di Indonesia saat itu ternyata tak sepenuhnya mulus. Adanya Perang Dunia I membuat bursa efek di Batavia ditutup selama 1914-1918. 

Baru pada 1925 hingga 1942, bursa efek di Jakarta dibuka kembali, ditambah dengan pendirian bursa efek di Semarang dan Surabaya.  Bursa efek di Semarang dan Surabaya ditutup kembali pada awal 1939 menyusul isu politik menjelang Perang Dunia II. 

Kemudian pada 1942, saat Perang Dunia II pecah, bursa efek Jakarta kembali ditutup sampai 1952. Selama periode ini, vakumnya bursa efek juga seiring dengan kemerdekaan Indonesia

Lantas pada 1956, pemerintah Indonesia mulai menjalankan program nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Bursa efek Jakarta pun semakin tidak aktif.  Sejak 1956 sampai 1977, perdagangan di bursa efek Jakarta praktis vakum, tanpa kegiatan sama sekali. 

Baru pada 1977, Presiden Soeharto meresmikan Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang beroperasi di bawah Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam). Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan melantainya PT Semen Cibinong sebagai emiten perdana BEJ. 

Di era awal mula berdirinya BEJ, transaksi di bursa sangat lesu. Selama 10 tahun sejak berdiri, yakni 1977-1987, jumlah emiten baru 24 unit. Masyarakat ternyata masih memiliki instrumen perbankan ketimbang instrumen pasar modal. 

Tahun 1987, pemerintah menghadirkan Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberi kemudahan bagi perusahaan melakukan penawaran umum dan investor asing bisa menanamkan modal di Indonesia. 

3. Transaksi Bursa Meningkat Tajam

Seiring dengan itu, selama 1988-1990, paket deregulasi di bidang perbankan dan pasar modal diluncurkan. Pintu BEJ pun terbuka untuk asing. Sejak itu, aktivitas di bursa meningkat signifikan. 

Tahun 1989 Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.  Tahun 1992, Bapepam berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. 

Tahun 1995, untuk pertama kalinya sistem otomasi perdagangan di BEJ dilakukan dengan sistem komputer JATS (Jakarta Automated Trading Systems). 

Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal diterbitkan pemerintah. UU itu masih berlaku sampai saat ini. Seiring berjalannya waktu, mulai berdiri Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan Kustodian Efek Indonesia (KSEI). 

4. Perdagangan Jarak Jauh Mulai Diterapkan

Pada 28 Maret 2002, BEJ mulai menerapkan sistem perdagangan jarak jauh atau remote trading. Sistem ini masih memanfaatkan JATS. 

5. Bursa Efek Surabaya dan Jakarta Digabung

Tahun 2007, Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Jakarta digabung menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Selang setahun kemudian, pada 2008, diluncurkan JATS-NextG sebagai sistem perdagangan teranyar yang lebih modern.

Melompat ke tahun 2012, berbagai perubahan terjadi. Di antaranya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk sebagai otoritas yang mengatur dan mengawasi pasar modal. Pada tahun yang sama, pemerintah meluncurkan prinsip syariah dan mekanisme perdagangan syariah di pasar modal. 

Kemudian pada 2015, BEI meluncurkan kampanye Yuk Nabung Saham demi mendorong transaksi di pasar modal. Tahun yang sama, diluncurkan LQ-45 Index Futures. Indeks ini menjadi salah satu indeks yang paling diikuti oleh para investor dan manajer investasi.  Sebagai informasi, LQ45 terdiri dari 45 perusahaan dengan kapitalisasi pasar tertinggi dan nilai transaksi tertinggi dalam kurun waktu tertentu.

6. Jumlah Emiten Kian Banyak

Jumlah perusahaan yang memanfaatkan pasar modal kian banyak, termasuk perusahaan yang menggalang pendanaan dari BEI dengan cara menawarkan saham melalui proses Initial Public Offering (IPO). Sampai Juni 2021, jumlah perusahaan yang telah IPO mencapai lebih dari 700 perusahaan.

Pasar saham sebagai bagian dari pasar modal juga mengalami berbagai dinamika. Seiring kemunculan berbagai perusahaan teknologi, publik mengharapkan perusahaan yang berstatus sebagai unicorn atau perusahaan dengan valuasi lebih dari US$1 miliar melakukan IPO di BEI.

Perusahaan yang dikategorikan unicorn itu antara lain Tokopedia, Gojek, Bukalapak, J&T Express, Traveloka, OVO dan sebagainya. Sampai pertengahan Juni 2021, berbagai perusahaan itu telah mengungkapkan niatnya untuk melepas sahamnya kepada publik.

Tokopedia dan Gojek, misalnya, yang membentuk holding bernama GoTo. GoTo dikabarkan akan menjadi entitas yang akan melakukan IPO. Seberapa menarik prospek IPO unicorn tersebut? Simak ulasannya dalam artikel berikut ini: Layakkah Menanti Unicorn Melakukan IPO?