Resolusi 2020: Investasi Saham atau Jual Ganja?
TAHUN baru 2020 telah tiba. Tahun baru biasanya menjadi momentum bagi sebagian orang untuk membuat resolusi. Resolusi adalah keinginan atau keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Resolusi itu biasanya mencakup sejumlah aspek, mulai dari keinginan untuk membaca lebih banyak buku berbahasa Perancis (resolusi pendidikan), keinginan untuk mengurangi makan makanan yang digoreng (resolusi kesehatan) sampai keinginan untuk mendapatkan uang yang lebih banyak (resolusi keuangan).
Dalam hal resolusi keuangan, setiap orang memiliki aneka cara untuk mengumpulkan Rupiah yang lebih dari kondisinya saat ini. Ada yang berganti pekerjaan untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi, ada yang memulai bekerja di pekerjaan sampingan atau berinvestasi.
Tidak ada jawaban tunggal untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara orang mendapatkan uang yang lebih banyak. Dalam artikel ini, kami akan mengulas dua aktivitas ekonomi yang telah (dan mungkin akan terus) dilakukan oleh orang Indonesia untuk mempertebal dompetnya.
Dua aktivitas itu adalah investasi saham dan berjualan ganja. Dua aktivitas ini memiliki karakter yang hampir sama karena memiliki risiko dan potensi keuntungan yang tinggi (high risk and high return).
Kendati demikian, dua aktivitas ekonomi ini mempunyai nasib yang berbeda dalam aspek hukum (legalitas), citra sampai popularitas di masyarakat. Bagaimana ceritanya? Kita mulai dari ganja.
Ganja
Ganja adalah tanaman yang cukup populer di Indonesia. Bukan cuma disukai karena kemampuannya memberikan perasaan enak dan nyaman, tanaman ini populer karena dilarang oleh pemerintah.
Pada saat ini, ganja dijual di pasar gelap di berbagai daerah di Indonesia. Komoditas ini bisa diperoleh oleh mereka yang memiliki informasi siapa penjualnya yang biasa disebut sebagai pengedar atau bandar.
Informasi ini biasa beredar di kalangan terbatas. Namun, perkembangan teknologi informasi juga membuat penjual ganja memasarkan produknya melalui media sosial seperti Twitter pada saat ini.
Kendati berbagai negara di benua Asia, Eropa dan Amerika telah membuka pintu untuk legalisasi ganja, pemerintah Indonesia masih bersikukuh menjadikan ganja sebagai komoditas ilegal.
Tidak jarang kita membaca berita mengenai penangkapan penjual atau pemilik ganja, pembakaran lahan tanaman ganja atau pembakaran ganja kering di halaman kantor polisi.
Suka atau tidak, ganja masih menjadi sesuatu yang terlarang di Indonesia. Pemerintah Indonesia belum mengambil langkah seperti berbagai negara maju lainnya.
High Risk High Return: Jual Ganja
Terlepas dari statusnya sebagai “narkoba”, ganja adalah komoditas yang menghasilkan untung besar apabila dijual. Pada Juli 2019, kantor berita Antara mengutip pernyataan seorang polisi reserse yang menyatakan harga pasaran ganja mencapai Rp10 juta per kilogram di Jakarta.Paket 1 kilogram itu biasanya dijual oleh pengedar kepada konsumen dalam ukuran yang lebih kecil. Di tangan konsumen, paket hemat itu bisa dijadikan beberapa linting untuk dibakar dan dihisap.
Berapa keuntungan dari penjualan 1 kilogram ganja itu? Menurut polisi reserse narkoba itu, keuntungan bisa mencapai Rp20 juta atau 100% dari modal awal!
Dari contoh di atas, 100% adalah angka keuntungan yang tidak kecil (high return). Pengedar bisa melipatgandakan uangnya dengan cara menjual ganja kepada pasar mahasiswa, pelajar atau pelajar kantoran.
Kendati demikian, sama seperti bisnis lainnya, perdagangan ganja juga memiliki risiko yang tinggi (high risk). Risiko tinggi itu bukan cuma kehilangan uang, tapi juga dipenjara atau hidup terpisah dari keluarga dan teman-teman.
Dipenjara Maksimal 12 Tahun
Photo by Mitch Lensink on Unsplash
Hukuman buat pemilik atau penjual ganja diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengedar ganja kering dapat dipenjara paling sebentar 4 tahun dan paling lama 12 tahun serta pidana paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar.
Undang-undang itu juga mengatur bahwa pemilik ganja dengan berat lebih dari 5 gram dapat paling singkat 5 tahun, paling lama 20 tahun dan bahkan penjara seumur hidup.
Tanaman ganja dan hasil olahannya dikategorikan oleh pemerintah sebagai narkotika golongan I, sama seperti opium, kokain, heroin dan sebagainya.
Aturan itu mengatur tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis
Singkat kata, apabila kita memilih menjadi pengedar ganja, potensi keuntungan yang diperoleh cukup tinggi. Tapi perlu diingat, risiko yang dihadapi juga tinggi yaitu dipenjara dan sanksi uang ratusan juta rupiah.
High Risk High Return: Investasi Saham
Photo by M. B. M. on Unsplash
Selain berdagang ganja, kita sebenarnya memiliki pilihan lain untuk melipatgandakan uang yaitu investasi saham. Berbeda nasib seperti ganja, investasi saham tidak dilarang oleh pemerintah.
Investasi saham adalah sesuatu yang legal dan diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Berbeda dari berdagang ganja, investasi saham dianjurkan oleh pemerintah. Bagi pemerintah, investasi saham adalah salah satu upaya pemerataan pendapatan.
Bagi kita, investasi saham adalah salah satu cara untuk meningkatkan kekayaan. Sayangnya, orang Indonesia yang berminat untuk investasi saham belum banyak.
Seberapa besar keuntungan investasi saham? Tentu saja, besar atau kecilnya keuntungan investasi saham tergantung dari saham yang kita pilih. Kita ambil contoh investasi saham dengan jumlah uang yang sama yang dipakai dalam contoh perdagangan ganja di atas yaitu Rp10 juta.
Beli saham MNCN
Sebagai contoh, kita memiliki uang senilai Rp10 juta pada 2 Januari 2019. Di hari itu, kita membeli saham PT Media Nusantara Citra Tbk.
Oh ya, setiap saham memiliki kode. Kode saham Media Nusantara Citra tersebut adalah MNCN. Harga saham saat itu Rp695 per lembar. Kita tidak boleh hanya membeli 1 lembar.
Berdasarkan peraturan, kita perlu membeli 100 lembar atau 1 lot. 100 lembar saham berarti Rp69.500. Dengan uang Rp10 juta yang kita miliki, kita bisa membeli sekitar 143 lot dengan harga sekitar Rp9,9 juta.
Setelah membeli saham, apa yang kita lakukan? Kita bisa tidak berbuat apa-apa alias “beli, terus diemin aja deh!” (buy and hold). Didiamkan berapa lama?
Katakanlah 1 tahun. Pada 30 Desember 2019, saham MNCN telah naik menjadi Rp1.610 per lembar.
Dengan demikian, terhitung mulai 2 Januari 2019 sampai 30 Desember 2019, saham MNCN naik 131%. Rumusnya, harga 2 Januari dikurangi harga 30 Desember dibagi harga 30 Desember dikali 100.
Dengan kata lain, uang Rp10 juta yang kita belikan saham pada awal 2019 telah meningkat menjadi sekitar Rp23,1 juta pada akhir 2019. Sederhana bukan?
Dengan uang Rp10 juta, kita ikut memiliki stasiun televisi RCTI yang barangkali sering kita tonton. Jangankan Rp10 juta, dengan uang Rp200 ribu saja, kita juga bisa membeli saham MNCN.
Apa hubungannya Media Nusantara Citra dan RCTI? Media Nusantara Citra adalah perusahaan yang mengelola RCTI. Dengan membeli saham MNCN, kita sebenarnya menjadi pemilik RCTI.
Tentu saja, jumlah saham yang kita punya lebih sedikit daripada saham yang dimiliki oleh Pak Harry Tanoesoedibjo, pengusaha yang wajahnya sering muncul di RCTI.
Melalui perusahaannya yang lain, Pak Harry adalah pemegang saham mayoritas Media Nusantara Citra.
Saham Turun
Harga saham bisa naik, tapi juga bisa turun. Bagaimana kalau saham yang kita beli turun? Tentu saja, nilai uang yang kita punya bakal berkurang. Penurunan nilai uang yang kita miliki juga tidak tanggung-tanggung, bisa sampai 90%!
Inilah risiko investasi saham, selain keuntungannya bisa tinggi (high return), kemungkinan ruginya juga tinggi (high risk) karena penurunan harga.
Kita ambil contoh investasi saham dengan cara membeli saham PT Hanson International Tbk. Pada 2 Januari 2019, kita membeli saham MYRX (kode saham Hanson International) di harga Rp109 per lembar.
Dengan jumlah uang yang sama (Rp10 juta), kita setidaknya bisa membeli sekitar 917 lot (91.700 lembar) saham MYRX. Dengan waktu yang sama sekitar 1 tahun, kita berencana menjual saham MYRX di akhir 2019.
Berapa harga saham MYRX di 30 Desember 2019? Sayang sekali, harganya menjadi Rp50 atau turun sebesar 54%. Kenapa harga sahamnya bisa turun?
Salah satu kemungkinannya adalah orang-orang tidak berpikir positif tentang bisnis yang dikelola oleh Hanson International, perusahaan properti itu.
Perlu diingat, dalam investasi saham, lebih mudah turun daripada naik. Untuk setiap penurunan harga 50%, kita butuh peningkatan harga 100% untuk kembali ke harga semula.
Oleh karena risiko ini, investor saham (istilah untuk orang yang investasi saham), harus benar-benar berpikir sebelum membeli atau menjual saham.
Tidak Perlu Takut
Photo by Charles Postiaux on Unsplash
Tentu saja, kita tidak perlu takut untuk investasi saham. Risiko bukan berarti harus dihindari, tapi perlu dikelola. Tidak ada kegiatan ekonomi tanpa risiko, baik investasi saham atau berdagang ganja.
Dengan berbagai strategi mengelola risiko, kita bisa menghindari atau mengurangi kerugian dalam investasi saham. Di sisi lain, kita bisa memaksimalkan keuntungan dalam investasi saham dengan mengenali risiko tersebut.
Salah satu cara mengenali risiko itu adalah membeli saham yang tepat. Ada lebih dari 600 saham di Bursa Efek Indonesia pada saat ini. Saham itu terdiri dari saham perusahaan dari berbagai sektor, mulai dari tambang, perumahan sampai rumah sakit.
Apapun saham yang dibeli, kita sebaiknya memegang sejumlah prinsip penting. Mirip seperti membeli sepatu atau sepeda motor, salah satu prinsip sederhana dalam berinvestasi saham adalah mengenal apa yang kita beli dan beli apa yang kita kenal (know what you buy, buy what you know).
Kenapa kita perlu mengenal apa yang kita beli dan beli apa yang kita kenal? Mengutip peribahasa yang telah dimodifikasi: supaya kita tidak membeli ular dalam karung.
Date: