Prospek TBIG, Penghuni Baru MSCI Global Standard Index
[Waktu baca: 6 menit]
PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) akan segera menjadi penghuni baru indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) Global Standard Index menggantikan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGAS).
Perombakan tersebut sudah diumumkan pada 11 Mei 2021 lalu dan akan segera efektif pada 28 Mei 2021. Sejatinya, MSCI melakukan "tukar guling" antara kedua emiten tersebut antara indeks MSCI Global Standard Index dan MSCI Global Small Cap Index.
TBIG sebelumnya adalah anggota MSCI Global Small Cap Index. Posisinya di indeks tersebut kini digantikan oleh PGAS.
Kendati demikian, mengingat kedua indeks tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dan digunakan untuk produk investasi berbeda oleh para manajer investasi global, tentu perubahan ini bakal berdampak signifikan bagi saham kedua emiten.
Pada kesempatan kali ini, kita akan lebih berfokus pada TBIG yang kini masuk dalam jajaran anggota salah satu indeks paling bergengsi di pasar global.
Hingga pre-opening Selasa (18 Mei 2021), kapitalisasi pasar TBIG memang cukup besar, yakni mencapai Rp56,42 triliun, setelah naik 52,76% sepanjang tahun ini (year to date/ytd). Saham TBIG kini ada di level Rp2.490.
Di sisi lain, pada saat yang sama saham PGAS sudah turun 32,63% ytd ke level Rp1.115. Pada sesi pre-opening saja, saham PGAS sudah turun 1,33% dari semula Rp1.130 menjadi Rp1.115.
Dengan demikian, kapitalisasi pasarnya kini tinggal Rp27,03 triliun. Hal ini menjustifikasi MSCI untuk menurunkan kelasnya menjadi anggota saham berkapitalisasi pasar kecil dalam MSCI Small Cap Index.
Masuknya TBIG ke jajaran anggota MSCI Global Standard Index tentu bakal berdampak pada pergerakan sahamnya.
Beberapa manajer investasi yang semula menggunakan TBIG untuk racikan produk reksa dana berdasarkan indeks MSCI Global Small Cap Index tentu akan menjualnya, sedangkan manajer investasi yang memiliki produk berdasarkan MSCI Global Standard Index bakal memburu saham TBIG.
Apalagi, pengumuman rebalancing tersebut dilakukan tepat sebelum libur Lebaran. Oleh karena itu, dalam beberapa hari ke depan aksi rebalancing akan cukup ramai dilakukan hingga akhirnya komposisi anggota indeks yang baru resmi berlaku akhir Mei mendatang.
Prospek Bisnis TBIG
Syarat untuk menjadi anggota MSCI Global Standard Index tentu tidak sekadar memiliki kapitalisasi pasar yang besar dengan porsi saham publik yang berlimpah. Lebih dari itu, perusahaan yang bersangkutan harusnya memiliki fundamental bisnis yang kuat dan prospek yang menjanjikan.
Bagaimana dengan TBIG sendiri?
Emiten ini cukup banyak menjadi sorotan sepanjang tahun ini. Perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan menara telekomunikasi ini tampak makin agresif untuk meningkatkan kapasitas bisnisnya, melalui akuisisi menara baru, pendirian menara baru, dan efisiensi keuangan.
Pada April tahun ini, TBIG telah merampungkan pembelian 3.000 menara telekomunikasi dari PT Inti Bangun Sejahtera Tbk. (IBST). TBIG merogoh kantongnya hingga Rp3,97 triliun untuk merampungkan pembelian tersebut.
Bersamaan dengan akuisisi itu, TBIG juga memperoleh sekitar 4.400 tenant yang selama ini menyewa menara IBST tersebut. Ditambah dengan target pertumbuhan tenant organik sebanyak 3.000 tahun ini, TBIG memperkirakan akan bisa mendapatkan 7.400 tenant baru tahun ini.
Tahun lalu, perseroan juga sudah mendapatkan 3.608 tenant baru. Rasio penyewa (kolokasi) atau tenancy ratio TBIG pun tahun lalu sudah naik menjadi 1,96 kali dari semula 1,85 kali pada akhir 2019. Itu artinya, ada lebih banyak penyewa yang menyewa tiap satu menara yang dimiliki TBIG.
Hingga akhir 2020, TBIG sudah memiliki 31.850 penyewa untuk 16.265 site telekomunikasi. Site telekomunikasi itu terdiri atas 16.155 menara telekomunikasi dan 110 jaringan sistem antenna terdistribusi (DAS).
Kondisi pandemi, pembatasan sosial, serta bekerja dan belajar dari rumah telah menyebabkan kebutuhan terhadap layanan data internet meningkat pesat. Seiring dengan itu, kebutuhan terhadap infrastruktur telekomunikasi pun meningkat.
Hal ini menjadi salah satu sentimen yang mendukung kinerja keuangan TBIG di tengah resesi akibat pandemi. Tahun 2020 lalu, kinerja pendapatan dan laba TBIG bahkan berhasil tumbuh positif.
Pendapatannya tumbuh 13,4% year on year (yoy) menjadi Rp5,33 triliun, sedangkan laba bersih melonjak 23,2% yoy menjadi Rp1 triliun. Kinerja pendapatan TBIG pun tampak konsisten meningkat dalam beberapa tahun terakhir, demikian juga labanya.
Hanya saja, pada 2017 lalu laba bersih perseroan terlihat seakan begitu tinggi, padahal hal tersebut dikarenakan adanya manfaat tangguhan pajak. Berikut ini kinerja pendapatan dan laba TBIG beberapa tahun belakangan:
Kinerja pendapatan dan laba TBIG tahun ini kemungkinan besar bakal lebih tinggi, sebab selain mengandalkan pertumbuhan organik, perseroan juga telah mengakuisisi 3.000 menara baru. Kini, total sites telekomunikasi yang dimiliki TBIG sudah lebih dari 19.000 unit.
Tahun ini, TBIG berencana mengalokasikan belanja modal atau capital expenditure (capex) senilai Rp5,95 triliun untuk ekspansi. Senilai Rp3,95 triliun di antaranya sudah digunakan untuk membeli 3.000 menara tersebut, sehingga kini tersisa Rp2 triliun.
Capex senilai Rp2 triliun inilah yang akan digunakan untuk ekspansi pendirian menara baru secara organik. Dananya akan mengandalkan kas internal dan pinjaman perbankan yang saat ini sudah dikantongi perseroan.
Selain itu, perseroan juga menawarkan surat utang dengan pokok senilai Rp970 miliar, yakni Obligasi Berkelanjutan IV Tower Bersama Infrastructure Tahap IV Tahun 2021. Ini merupakan bagian dari Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) IV TBIG dengan target dana Rp7 triliun.
Sebelumnya, tahap III juga diterbitkan awal tahun ini dengan nilai total Rp2,91 triliun.
Surat utang itu memperoleh peringkat AA+ dari Fitch Ratings Indonesia. Obligasi dengan peringkat AA adalah obligasi yang dinilai cukup baik dengan risiko gagal bayar yang relatif kecil.
Selama pandemi masih berlangsung, kebijakan bekerja dan belajar dari rumah kemungkinan bakal tetap berlanjut. Hal ini bakal terus meningkatkan konsumsi data internet sehingga mendorong perusahaan telekomunikasi untuk meningkatkan kapasitas mereka.
Caranya adalah dengan lebih banyak memesan kolokasi di perusahaan menara. Dengan demikian, emiten menara seperti TBIG berpotensi mendapatkan lebih banyak penyewa tahun ini sehingga mendorong kinerjanya lebih tinggi lagi.
Di sisi lain, sejumlah perusahaan telekomunikasi, seperti PT XL Axiata Tbk. (EXCL) dan PT Indosat Ooredoo Tbk. (ISAT), justru kian rajin untuk menjual menara mereka akan dapat fokus pada layanan telekomunikasi ketimbang infrastrukturnya.
Alhasil, mereka bakal lebih banyak menyewa jasa menara telekomunikasi dari pihak ketiga ketimbang mengurusnya sendiri. Hal ini bakal makin menguntungkan bagi emiten menara seperti TBIG.
ISAT sendiri ingin menjual 4.000 menaranya tahun ini dan TBIG turut menyatakan minat untuk membelinya.
Pesaing TBIG antara lain adalah PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR) yang kini memiliki sekitar 21.300 menara, serta anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk. (TLKM) yakni Mitratel yang memiliki sekitar 22.000 menara.
Sementara itu, TLKM dan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN) telah memenangkan lelang spektrum 5G pertama, yang tentu akan mendorong mereka untuk lebih banyak menyewa menara. TBIG tentu akan menjadi salah satu mitra yang disasar.
Hanya saja, tantangan yang membayangi bisnis TBIG adalah jika persaingan perang harga terus terjadi di kalangan emiten telekomunikasi yang berujung pada penawaran harga sewa menara yang lebih rendah.
TBIG sendiri kini berfokus pada meningkatkan rasio penyewaan menaranya ketimbang semata-mata menambah jumlah menara. Strategi itu bakal lebih mengefisienkan beban usaha perusahaan. Namun, jika tarif sewa turun, tentu akan kurang menguntungkan bagi TBIG.
Hal yang pasti, bisnis telekomunikasi kini memasuki babak baru yang lebih cerah berkat pandemi. Adopsi gaya hidup digital kini lebih masif sehingga mendorong peningkatan kebutuhan layanan yang makin besar di masa mendatang. Seiring dengan itu, prospek di bisnis menara telekomunikasi pun makin menjanjikan.
Date: