Prospek di Balik Daya Tarik Saham TINS

Date:

[Waktu baca: 8 menit]

PT Timah Tbk. merupakan salah satu emiten di Bursa Efek Indonesia dengan kinerja kenaikan harga saham yang cukup tinggi saat ini.

Meskipun harganya ikut jatuh pada awal tahun ini ketika Covid-19 mulai masuk ke Indonesia, tetapi kini kenaikan harganya sudah bergerak di zona hijau dan mulai mencatatkan return positif dibandingkan level harga akhir 2019 lalu.

TINS kini menjadi salah satu emiten dengan kinerja saham tertinggi tahun ini. Berdasarkan data RTI, hingga sesi pertama perdagangan hari Kamis (19 November 2020), saham TINS sudah naik 138,25% dalam 6 bulan terakhir. Berikut ini kinerja lengkap saham TINS dalam beberapa periode belakangan ini:

Dari data itu, terlihat bahwa saham TINS sudah bergerak di zona positif sepanjang tahun ini (year to date/ytd), mengungguli IHSG yang masih masih tercatat turun 11,32% ytd.

Menariknya, hingga kini emiten dengan kode saham TINS ini masih mencatatkan kerugian, melanjutkan kondisi tahun lalu. Lantas, apa daya tarik yang melatarbelakangi kenaikan harga saham TINS? 

Siapa TINS?

TINS merupakan salah satu emiten BUMN anggota holding BUMN tambang di bawah PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum yang bergerak di industri pertambangan, khususnya produk timah. Lebih dari 90% pendapatannya saat ini dikontribusikan oleh penjualan timah.

Perusahaan ini telah berdiri sejak Agustus 1976 dan menjadi salah satu perusahaan tambang besar nasional. Sahamnya telah mulai diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia sejak tahun 1995.

TINS memproduksi dan mengekspor logam timah dan memiliki segmen usaha penambangan timah terintegrasi mulai dari kegiatan eksplorasi, penambangan, pengolahan, hingga pemasaran. Ruang lingkup kegiatan TINS meliputi juga bidang pertambangan, perindustrian, perdagangan, pengangkutan dan jasa.

Operasional tambang TINS ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, serta Cilegon-Banten. Sementara itu, domisili perusahaan kini ada di Pangkalpinang, Bangka Belitung. 

Produsen Timah Terbesar Dunia

Salah satu daya tarik utama yang tampaknya melatarbelakangi apresiasi investor atas saham TINS adalah posisinya saat ini sebagai produsen timah terbesar dunia. Posisi ini berhasil diraih TINS sejak 2019 lalu yang mana produksinya naik 128,7% menjadi 76.400 ton dalam setahun.

Pada 2018, TINS masih di posisi kedua global sebagai produsen timah terbesar dengan total volume produksi 33.400 ton. Posisi kedua global ini ditempati TINS sejak 2017. Berikut ini tabel peringkat produksi timah dunia (dalam ton):

Sumber: Laporan Tahunan 2019 TINS berdasarkan laporan International Tin Association (ITA).

Posisinya sebagai pemimpin pasar menjadikan TINS memiliki daya tawar yang tinggi dalam rantai pasok timah global. Logam timah sendiri merupakan logam penting yang sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Timah merupakan logam lunak dengan sifat yang ulet sehingga mudah dibentuk atau fleksibel. Timah juga sangat tahan karat, tidak berat, dan penghantar listrik yang baik.

Oleh karena itu, timah banyak digunakan untuk lapisan produk baja, perangkat elektronik, penyambung logam dengan solder, bahan kemasan, pelapis kaleng, bahan produksi kaca, produk aluminium foil, komponen pasta gigi, komponen gigi palsu, pelindung pintu/jendela, dll.

Selain itu, TINS juga memiliki portofolio tambang nikel yang sentimennya sedang terdongkrak oleh produksi baterai mobil listrik. Sementara itu, logam timah juga turut dibutuhkan dalam produksi mobil listrik ini, bahkan dalam produk-produk teknologi pada umumnya.

Luasnya produk yang membutuhkan timah menjadikan permintaan global atas logam ini diyakini akan tetap tinggi di masa-masa mendatang, meskipun dampak pandemi turut memukul permintaan timah saat ini. Hal ini pun menjadikan prospek bisnis TINS tampaknya akan cukup menjanjikan dalam jangka panjang.  

Laba Masih Tekor, Tetapi Mulai Membaik

Kinerja pendapatan TINS pada 2019 lalu melesat sangat tinggi, tetapi pada saat yang sama beban pokok pendapatannya pun meningkat. Alhasil, perusahaan mencatatkan rugi senilai Rp611 miliar pada 2019, berbalik dari laba Rp132 miliar pada 2018.

Berikut ini kinerja TINS tahun 2017-2019 (dalam Rp miliar):

Sementara itu, memasuki tahun 2020, TINS masih menghadapi tekanan beban pendapatan, terutama pada awal tahun.
Akan tetapi, perusahaan mulai berhasil mencatatkan laba secara bulanan sejak Mei 2020 hingga September 2020. Sayangnya, laba tersebut belum dapat menutupi tekanan kerugian yang terjadi sepanjang awal tahun ini.

Berikut ini capaian laba TINS secara bulanan sepanjang tahun ini (dalam Rp miliar):

Hal ini tentu menjadi pertanda baik bagi kinerja TINS di masa mendatang. Artinya, perusahaan kini mulai dapat menyeimbangkan antara produksi dengan efisiensi beban biaya sehingga bisa menghasilkan laba.

Berikut ini kinerja keuangan TINS selama periode 9 bulan tahun ini (dalam Rp miliar):

Dari data tersebut, terlihat bahwa pendapatan TINS memang turun cukup dalam sepanjang 9 bulan tahun ini, tetapi pada saat yang sama beban pokok juga ikut turun hampir sama besarnya. Meskipun demikian, perusahaan masih mengalami kerugian, bahkan cenderung membengkak.

Turunnya pendapatan tahun ini antara lain disebabkan oleh turunnya volume produksi timah serta turunnya harga rata-rata penjualan timah. Produksi logam timah TINS hingga September 2020 baru 37.588 ton, atau hanya sekitar 49% dari total volume produksi tahun lalu yang mencapai 76.389 ton.

Sementara itu, harga jual rata-rata timah pada kuartal III/2020 adalah US$17.672 per metric ton, turun dibandingkan harga jual rata-rata tahun lalu US$18.569 per metric ton. Meskipun demikian, harga timah global kini kembali dalam tren peningkatan setelah menyentuh dasarnya pada Maret 2020 lalu.

Tekanan pada laba bersih pun menyebabkan neraca keuangan TINS turut tertekan sepanjang tahun ini. Aset perusahaan mencatat turun cukup dalam sepanjang tahun ini (year to date/ytd). Kondisi kas dan setara kas perusahaan pun sangat tertekan, bahkan turun 49,45%. Berikut ini posisi neraca TINS per September 2020 (dalam Rp miliar):

Prospek Rare Earth

Saham TINS tampaknya juga turut mendapatkan sentimen positif setelah pertemuan antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi

Luhut Binsar Pandjaitan bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada pertengahan tahun ini. Keduanya menyoroti logam rare earth atau tanah jarang sebagai harta karun Indonesia yang belum sepenuhnya tergarap.

Luhut menyinggung bahwa tanah jarang merupakan salah satu komponen penting untuk pembuatan senjata. Mineral ini juga banyak digunakan untuk memproduksi smartphone. Bahkan, hampir seluruh peralatan elektronik dengan teknologi tinggi membutuhkan logam ini, misalnya mobil listrik, sensor, perangkat komputer, dan superkonduktor.

Nah, rare earth ini sendiri banyak ditemukan di Pulau Bangka dan Belitung, wilayah tambang TINS.

Pada pertengahan tahun ini, manajemen TINS sempat berkomentar bahwa perusahaan tengah mengkaji potensi logam tanah jarang tersebut, terutama besaran jumlah cadangannya. Perusahaan juga akan mengkaji teknologi yang akan digunakan untuk penambangannya.

Rare earth digadang-gadang memiliki harga yang lebih tinggi ketimbang lithium yang sering kali disebut sebagai mineral masa depan yang diincar banyak negara. Logam tanah jarang diperoleh dari mineral monazit dan xenotime, yang diperoleh dengan cara mengekstrak logam timah.

Produk mineral ini selama ini belum digarap optimal dan hanya menjadi produk sampingan dari timah.

Hanya saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berpendapatan cadangan rare earth di Indonesia tidak terlalu tinggi, sehingga relatif akan sulit bersaing dengan negara-negara lain yang memiliki cadangan lebih tinggi, seperti China, Brazil, Vietnam, dan Rusia yang cadangannya mencapai puluhan juta metric ton.

Indonesia diperkirakan hanya memiliki cadangan 22.000 metrik ton di daerah yang sudah teridentifikasi, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Belum ada data cadangan baru lain yang ditemukan.

Mengapa Saham TINS Terapresiasi?

Saham TINS secara umum meningkat mengikuti tren yang terjadi hampir pada seluruh emiten tambang lainnya. Hal ini terutama terdongkrak oleh sentimen produksi mobil listrik dunia dan rencana ekspansi pabrik baterai oleh beberapa perusahaan global ke dalam negeri.

Namun, faktor penting lain yang turut menyebabkan naiknya saham TINS, khususnya dalam sepekan terakhir, adalah masuknya saham TINS ke dalam indeks MSCI Global Small Cap Index.

Morgan Stanley mengumumkan perubahan komposisi pada saham penghuni MSCI Global Standard Index dan MSCI Global Small Cap Index pada Selasa (10 November 2020) pekan lalu. Salah satu emiten yang masuk dalam MSCI Global Small Cap Index adalah TINS.

TINS masuk bersama dengan pendatang baru lainnya, yakni PT Bank BRI Syariah Tbk. (BRIS), PT Metro Healthcare Indonesia Tbk. (CARE), dan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN). Komposisi yang baru ini akan efektif mulai 1 Desember 2020 nanti.

Indeks MSCI merupakan indeks yang banyak digunakan sebagai acuan oleh manajemen investasi global dalam menyusun portofolio investasinya.

Artinya, ketika saham suatu emiten masuk menjadi anggota indeks tersebut, saham tersebut akan banyak dibeli oleh manajer investasi yang menggunakan indeks acuan MSCI.

Oleh karena itu, meskipun komposisi terbaru indeks MSCI ini baru akan efektif pada awal Desember 2020 nanti, investor sudah mulai memburu saham TINS sejak saat ini untuk mengantisipasi lonjakan permintaannya di masa mendatang.

Pada perdagangan Rabu (11 November 2020), atau sehari setelah pengumuman MSCI tersebut, saham TINS langsung naik 15,38%.

Penutup

TINS hingga akhir 2019 lalu masih memiliki cadangan bijih timah 327.520 ton timah putih, sedangkankan sumber daya bijih timah mencapai 1,04 juta ton. Cadangan ini masih cukup untuk produksi dalam beberapa tahun ke depan.

Selain itu, perusahaan juga masih terus mengeksplorasi potensi cadangan lain, termasuk pengembangan cadangan di luar negeri. Prospek permintaan timah serta mineral ikutannya yang sangat menjanjikan dalam industri masa depan menjadikan saham TINS pun dianggap turut menjanjikan.

Hal ini tampaknya menjadi salah satu pertimbangan yang menyebabkan MSCI kembali memasukkan saham TINS ke dalam portofolio indeksnya. Keputusan MSCI ini tentu memberi sinyal kuat pula terhadap prospek bisnis TINS.