Prospek Allo Bank di Balik Lonjakan Harga Fantastis
PT Allo Bank Indonesia Tbk. atau yang sebelumnya dikenal dengan nama PT Bank Harda Internasional Tbk. menjadi emiten di pasar modal dengan kinerja pertumbuhan harga saham tertinggi sepanjang tahun ini.
Jika mengacu pada data Google Finance, hingga perdagangan awal pekan ini, Senin (25 Oktober 2021), harga saham BBHI sudah ada di level Rp5.825. Posisi ini mencerminkan tingkat kenaikan harga sebesar 3.855% year-to-date (YtD) dibandingkan dengan harga akhir 2020 yang di level Rp147,29.
Dengan kenaikan harga setinggi itu, emiten dengan kode saham BBHI ini menjadi emiten dengan kinerja kenaikan harga tertinggi sepanjang tahun ini. Naiknya harga saham BBHI ini tidak terlepas dari sentimen rencana pengembangan bisnisnya untuk menjadi bank digital.
Langkah itu pertama-tama dilakukan dengan mengubah namanya dari Bank Harda menjadi Allo Bank. Masuknya emiten ini ke dalam grup usaha taipan Chairul Tanjung menjadi titik balik yang menandai awal rencana transformasi ini sekaligus melejitnya harga saham perseroan.
Meskipun demikian, sama seperti kebanyakan bank kecil yang menjadi bank digital lainnya, kenaikan harga saham BBHI semata-mata disebabkan oleh sentimen.
Kondisi riil bisnis perseroan sejauh ini belum menunjukkan kinerja yang mengesankan, tetapi embel-embel digital seolah membuka cakrawala peluang yang luas bagi pertumbuhan di masa mendatang.
Tahun lalu, sebelum diakuisisi CT, bank ini sempat tersandung kasus dan menyita perhatian publik. Kala itu, kasus yang mencuat yakni adanya penjualan produk nonbank yakni forward trade confirmation (FTC). Produk tersebut dipasarkan ke nasabah Bank Harda oleh oknum bank.
Temuan itu terungkap setelah OJK memeriksa data transaksi pada core banking selama 2017-2019. OJK menemukan adanya transaksi pemindahbukuan dari rekening beberapa nasabah Kantor Cabang Bandung kepada rekening PT Hakim Putra Perkasa (HPP).
Adapun, HPP merupakan pemegang saham pengendali Bank Harda kala itu. Produk FTC merupakan perjanjian jual beli saham Bank Harda melalui HPP. Dengan kata lain, melalui produk itu, nasabah Bank Harda secara tidak langsung membeli saham Bank Harda melalui HPP.
Penjualan FTC menjadi salah karena bukan merupakan produk bank. Sementara itu, nasabah yang menjadi korban tergiur karena produk tersebut dibungkus sebagai produk investasi yang menjanjikan return bagi pembelinya.
Kasus tersebut selesai dengan komitmen BBHI kala itu untuk menindak oknum yang terlibat. Manajemen BBHI kala itu juga menegaskan bahwa perseroan tidak pernah menugaskan pegawai untuk menjual FTC. Instruksi tersebut justru datang langsung dari PT HPP kepada oknum pegawai bank.
Catatan buruk tersebut saat ini boleh saja dihapus, sebab HPP sudah bukan lagi pengendali BBHI sejak CT melalui PT Mega Corpora mengakuisisi 90% saham perseroan. CT sebelumnya mengakuisisi 73,71% saham HPP, lalu melanjutkannya dengan melakukan tender offer kepada pemegang saham lainnya.
Sejak awal rencana akuisisi, kabar bahwa BBHI akan dijadikan bank digital sudah menyebar. Bahkan, OJK sendiri mengonfirmasi hal tersebut sembari menjamin keseriusan komitmen Grup CT setelah Mega Corpora dan HPP menandatangani perjanjian pengikatan jual beli saham BBHI pada 16 Oktober 2020.
Seiring dengan itu, Mega Corpora melakukan tender wajib kepada pemegang saham BBHI lainnya. Nilai transaksi saham BBHI yang dimiliki HPP yakni Rp149,5 per saham dengan total nilai Rp460,7 miliar. Transaksi akuisisi telah tuntas pada 15 Maret 2021 lalu.
Sementara itu, harga beli yang ditetapkan dalam tender wajib yakni Rp160,26 per saham. Tender wajib ini tuntas pada akhir Mei 2021 dengan realisasi pembelian terhadap 16,29% porsi saham pemegang saham publik perseroan senilai Rp109,2 miliar.
Dengan demikian, total kepemilikan saham CT Corp pada BBHI menjadi 90%, sedangkan pemegang saham publik BBHI tinggal 10%. Berdasarkan data RTI, hingga akhir September 2021 lalu, jumlah pemegang saham BBHI mencapai 6.993 pihak.
Menariknya, jumlah ini berkurang drastis dibandingkan dengan posisi pada akhir Agustus 2021 yang masih sebanyak 10.181 pihak, tetapi masih lebih banyak ketimbang kondisi per April 2021 yang hanya 4.551 pihak. Kondisi perubahan ini tentu telah menyertakan hasil rights issue pada Juli 2021 lalu.
Jumlah pemegang saham BBHI meningkat pesat pada Juli 2021, yakni mencapai 12.037 pihak. Hal ini sejalan dengan ramainya transaksi saham BBHI di pasar sehingga menghantarkan harga sahamnya hingga jauh melesat, dari Rp2.790 pada akhir Juni 2021 menjadi Rp5.000 pada 6 Juli 2021.
Selain itu, ada fakta menarik yang terjadi pada saham BBHI pada bulan tersebut. Pada 9 Juli 2021, saham BBHI yang di hari sebelumnya ditutup di level Rp4.670, tiba-tiba dibuka di level Rp1.735. Namun, penurunan ini terjadi bukanlah karena kejatuhan harga saham BBHI, melainkan penyesuaian harga seiring dengan hasil perhitungan harga teoritas saham BBHI.
Perhitungan ulang harga teoritis saham BBHI itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan rights issue perseroan saat itu. Perubahan ini menyebabkan seluruh perhitungan historis saham BBHI pun perubah.
Upaya BBHI Penuhi Modal Inti
Aksi akuisisi oleh Mega Corpora dan rights issue setelahnya tidak terlepas dari faktor adanya aturan dari OJK yang mewajibkan bank-bank kecil untuk segera memenuhi batas modal minimum Rp1 triliun pada akhir 2020 lalu. Aturan tersebut yakni POJK 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.
Sebelumnya, bank kecil boleh beroperasi dengan modal di bawah Rp1 triliun dengan status sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I. Kini, ketentuan itu tidak lagi berlaku.
Dalam aturan baru itu, OJK mewajibkan bank umum untuk memenuhi modal inti secara bertahap, yakni Rp1 triliun pada akhir 2020, lalu Rp2 triliun pada akhir 2021, dan terakhir Rp3 triliun pada akhir 2022.
Tahun lalu, modal inti Bank Harda hanya Rp347 miliar, sehingga jelas perseroan gagal memenuhi kewajiban tersebut. Namun, karena PPJB dengan Mega Corpora telah ditandatangani pada 16 Oktober 2021, perseroan lolos dari jerat sanksi.
Selain itu, Mega Corpora sendiri sudah memiliki bank, yakni PT Bank Mega Tbk. Akuisisi terhadap BBHI akan dilanjutkan dengan pembentukan kelompok usaha bank atau KUB di bawah Mega Corpora.
Dengan demikian, akuisisi atas BBHI masuk kategori konsolidasi bank yang dilakukan melalui pembentukan KUB karena pengambilalihan. Hal itu diatur dalam POJK 12/2020 Pasal 3 ayat 1 huruf e.
Nah, berdasarkan pasal 9 ayat 1 huruf d beleid itu, bank yang bukan merupakan perusahaan induk dalam KUB hanya diwajibkan memenuhi modal inti paling sedikit Rp1 triliun. Pemenuhannya pun dapat dikecualikan dari ketentuan batasan waktu seperti disebutkan sebelumnya.
Setelah CT Corp resmi menjadi pengendali BBHI pada Maret 2021 lalu dan melakukan tender offer pada Mei 2021, aksi rights issue pun dipersiapkan untuk memenuhi ketentuan modal inti minimal Rp1 triliun.
Kala itu, rencana rights issue yakni mencapai 7,49 miliar saham, atau setara 64,19% dari modal ditempatkan dan disetor pada BBHI. Rights issue diterbitkan dengan nominal dan harga pelaksanaan yang sama, yakni Rp100 per saham. Rights issue ini merupakan Penawaran Umum Terbatas (PUT) II BBHI.
Dengan demikian, total dana yang diserap mencapai Rp749,85 miliar. Rights issue tersebut telah efektif pada 26 Juli 2021 lalu. Dengan tambahan dana segar tersebut, modal inti BBHI sudah memenuhi ketentuan minimal Rp1 triliun.
Sampai di sini, aksi investasi pemegang saham BBHI sebenarnya sudah cukup sebab ketentuan modal minimum sudah dipenuhi. Namun, mengingat BBHI akan diarahkan menjadi bank digital, modal Rp1 triliun jelas sangat tidak mencukupi untuk dapat bersaing dengan bank digital lainnya yang kapasitasnya sudah lebih besar.
Oleh karena itu, dalam waktu dekat ini, perseroan akan kembali menggelar rights issue, kali ini yakni PUT III. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BBHI pada 15 Oktober 2021, pemegang saham BBHI setuju untuk mengizinkan BBHI menerbitkan sebanyak-banyaknya 11 miliar saham baru.
Setiap pemegang 100 saham BBHI, berhak atas 86 hak untuk memesan efek terlebih dahulu (HMETD), yang mana tiap HMETD dapat ditebus dengan satu saham. Menariknya, CT Corp menyatakan hanya akan mengeksekusi 30% haknya.
Dalam surat pernyataan Mega Corpora pada 19 Oktober 2021 lalu kepada Bursa Efek Indonesia, perseroan menyatakan akan mengalihkan sisa haknya kepada beberapa investor.
Hal ini memberikan sinyal bakal masuknya sejumlah nama baru dalam daftar pemegang saham BBHI yang bakal makin memperkuat prospek bisnisnya.
Dengan demikian, pascaaksi korporasi ini, kepemilikan Mega Corpora di BBHI akan terdilusi dari sebelumnya 90% menjadi 60,8%, sedangkan investor strategis lainnya menguasai 29,13% dan masyarakat umum 10%.
Keputusan ini dilakukan sekaligus untuk memenuhi POJK 9/POJK.04/2018 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka.
Pasal 21 aturan tersebut mewajibkan Mega Corpora untuk kembali melepas kepemilikan sahamnya ke publik guna memenuhi batasan ketentuan minimum saham beredar atau free float, sekaligus menurunkan kepemilikan Mega Corpora selaku pengendali baru agar tidak melebihi 80%.
Dalam prospektusnya, BBHI memutuskan untuk menerbitkan 10,04 miliar saham baru atau setara dengan 46,42% dari modal ditempatkan dan disetor penuh ke dalam perseroan. Harga pelaksanaannya pun telah ditetapkan sebesar Rp478 per saham.
Dengan demikian, total dana yang dikantongi bakal mencapai Rp4,8 triliun. Ini bakal meningkatkan modal BBHI secara sangat signifikan. Aksi korporasi ini diharapkan tuntas pada akhir tahun ini hingga awal tahun depan.
Kabar masuknya investor strategis baru ini menjadi sentimen panas yang mendorong lonjakan harga saham BBHI akhir-akhir ini.
Meskipun harga pelaksanaan rights issue BBHI sudah ditetapkan, yang artinya merupakan harga riil saham BBHI berdasarkan kondisi fundamentalnya, investor tetap saja memburu sahamnya hingga jauh di atas harga rights issue tersebut.
Sementara itu, ketika Bursa Efek Indonesia meminta penjelasan kepada manajemen BBHI terkait identitas para investor strategis tersebut, manajemen BBHI mengaku belum memperoleh informasi yang lebih mendetail dari Mega Corpora.
Adapun, dengan kondisi harga terkini, rasio harga saham berbanding laba per sahamnya atau price to earning ratio (PER) sudah sangat tinggi, yakni 603 kali. Sementara itu, meskipun ekuitasnya sudah naik cukup tinggi akibat rights issue PUT II, rasio harga berbanding nilai buku atau price to book value (PBV) mencapai 53,55 kali.
Ini jelas jauh lebih mahal ketimbang bank-bank lain, bahkan bank-bank terbesar yang ada di Bursa Efek Indonesia. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), misalnya, PER dan PBV-nya masing-masing hanya 21,46 kali dan 2,72 kali.
Atau jika dibandingkan dengan bank digital lain, seperti PT Bank Jago Tbk. (ARTO), misalnya. Mengingat ARTO masih rugi, PER-nya masih negatif -4.892,51 kali, tetapi PBV ARTO masih jauh lebih rendah yakni “hanya” 26,15 kali.
Peningkatan Kinerja
Kabar baik yang tentu tak boleh dilewatkan pada BBHI yakni lonjakan labanya yang tinggi pada periode 9 bulan tahun ini. Perseroan sudah merilis kinerja keuangan per September 2021 dan hasilnya cukup mengesankan.
Allo Bank berhasil membukukan laba senilai Rp85,73 miliar per September 2021. Jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu yang senilai Rp48,4 miliar, nilai tersebut meningkat sebesar 77% year-on-year (YoY).
Jika diperinci, capaian laba tersebut disebabkan oleh naiknya pendapatan bunga perseroan hingga 99% YoY menjadi Rp246 miliar dari sebelumnya Rp124 miliar. Sementara itu, beban bunga hanya naik 31% YoY dari Rp87 miliar menjadi Rp114 miliar.
Dengan demikian, pendapatan bunga bersih BBHI berhasil meroket 262% YoY menjadi Rp132 miliar dari sebelumnya Rp36 miliar.
Naiknya pendapatan bunga tidak terlepas dari naiknya kredit perseroan hingga 55% dari Rp1,3 triliun pada September 2020 lalu menjadi Rp2 triliun pada periode yang sama tahun ini. Kredit perseroan dapat meningkat sebab didukung oleh kenaikan modal dan adanya penempatan dana pihak berelasi.
Simpanan nasabah BBHI per September 2021 dari pihak ketiga tercatat Rp988,5 miliar, turun 39% YoY dari September 2020 yang mencapai Rp1,6 triliun. Namun, simpanan dari pihak berelasi meroket 14.991% YoY dari Rp8 miliar menjadi Rp1,22 triliun.
Adapun, manajemen BBHI pernah menjelaskan bahwa naiknya simpanan pihak berelasi ini pula yang menjadi alasan kenaikan aset perseroan hingga lebih dari 20% pada pertengahan tahun ini. Dana tersebut berasal dari Mega Corpora yang berupa deposito yang akan dikonversi menjadi modal setelah mendapatkan persetujuan OJK.
Perbaikan kinerja yang signifikan ini menunjukkan adanya prospek yang positif pada kinerja BBHI di masa mendatang, apalagi jika struktur keuangannya makin kuat. Meskipun demikian, kenaikan harga sahamnya saat ini sudah jauh melebihi pertumbuhan kinerja keuangannya.
Dengan kinerja yang positif seperti itu, ditambah pula adanya rencana investor strategis baru untuk masuk, panasnya saham BBHI selama ini menjadi masuk akal. Jika melihat harga saham di pasar yang sudah sangat tinggi, rights issue BBHI akan menjadi peluang emas untuk meraup keuntungan.
Sebab, investor dapat menebus rights issue BBHI di harga yang sangat rendah, yakni Rp478 per saham. Jika harga pasar saham BBHI tidak berubah di kisaran Rp5.000-an, jelas untung yang diraup bakal berlipat jika saham baru tersebut nantinya dijual kembali di pasar sekunder.
Meskipun demikian, pasar bisa berubah arah kapan saja. Kenainkan harga saham BBHI yang sudah berlebihan selama ini sangat rawan beralih menjadi koreksi beruntun selama beberapa hari berturut-turut, seperti yang banyak terjadi pada emiten lainnya. Oleh karena itu, investor perlu tetap berhati-hati.
Date: