Pontang-Panting Menjaga Jaring Pengaman Sosial
Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang penerapan PPKM Darurat selama 5 hari lagi. Dengan demikian, PPKM Darurat yang mestinya berakhir pada 20 Juli 2021 lalu, akan dilanjutkan hingga 25 Juli 2021 mendatang. Setelah itu, pemerintah akan mengevaluasi apakah PPKM Darurat akan diperpanjang kembali atau tidak.
Namun jika melihat tren sepekan terakhir, sepertinya PPKM Darurat bakal kembali diperpanjang, menimbang pertambahan kasus baru Covid-19 hingga kini masih tergolong sangat tinggi, meski sudah tidak lagi memecahkan rekor baru sejak 15 Juli 2021 lalu (56.757 kasus baru per hari).
Lagi pula, data kematian akibat Covid-19 kemarin, Rabu (21 Juli 2021) masih tinggi, yakni mencapai 1.383 kematian dalam sehari, menjadi rekor tertinggi selama ini. Jumlah kematian di Indonesia kemarin pun menjadi yang tertinggi di dunia.
Jika menilik kondisi ini, tentu tantangan belum berakhir. Dalam kondisi ini, pembatasan kegiatan masyarakat masih harus diterapkan jika tidak ingin kasus makin memburuk. Dengan demikian, sulit berharap PPKM Darurat akan seketika berakhir pekan depan. Paling banter, berganti nama seperti yang sudah-sudah.
Artinya, tekanan ekonomi karena pembatasan aktivitas bakal berlanjut juga, sehingga sudah tentu daya beli pun bakal terus melemah. Dalam situasi ini, bantuan sosial dari pemerintah menjadi penentu.
Sebab, jika tidak, masyarakat akan kembali dalam dilema antara mengikuti arahan PPKM Darurat pemerintah atau tetap melanjutkan usaha demi bertahan hidup. Risikonya, pandemi bakal makin memburuk.
Pada Selasa (20 Juli 2021) kemarin, Presiden Jokowi telah mengumumkan bakal menaikkan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp55,21 triliun. Bentuknya berupa bantuan tunai, bantuan sembako, bantuan kuota internet, dan subsidi listrik. Selain itu, ada juga insentif untuk 1 juta pelaku usaha mikro informal sebesar Rp1,2 juta.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah menyampaikan sejumlah skema kebijakan perlindungan sosial dan realokasi anggaran guna menyikapi perkembangan kondisi pandemi terkini. Total anggaran program perlindungan sosial kini mencapai Rp187,8 triliun.
Anggaran tersebut terbagi dalam delapan program. Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH) dengan anggaran Rp28,31 triliun, menyasar 10 juta keluarga atau 40 juta orang selama periode 12 bulan.
Bantuan ini antara lain berupa santunan tunai per tahun masing-masing untuk ibu hamil Rp3 juta, balita Rp3 juta, siswa SD Rp900 ribu, siswa SMP Rp1,5 juta, siswa SMA Rp2 juta, disabilitas Rp2,4 juta, dan lansia Rp2,4 juta.
Kedua, Program Kartu Sembako dengan tambahan alokasi anggaran Rp7,52 triliun, sehingga total kini mencapai Rp49,89 triliun. Program ini diperpanjang dari semula 12 bulan menjadi 14 bulan, dengan besaran manfaat Rp200 ribu per bulan. Program ini menyasar 18,8 juta keluarga atau 75,2 juta jiwa.
Ketiga, Program Bantuan Beras Bulog 10 kg per keluarga untuk sekitar 28,8 juta keluarga atau 115,2 juta orang dengan anggaran Rp3,58 triliun.
Keempat, Bantuan Sosial Tunai untuk 10 juta keluarga atau 40 juta orang dengan alokasi anggaran Rp17,46 triliun dan besaran manfaat Rp300 ribu per keluarga. Bantuan gelombang kedua disalurkan bulan Juli 2021.
Selain itu, ada tambahan anggaran Rp7,08 triliun dari Bantuan Sosial Tunai Usulan Pemda yang menyasar 5,9 juta keluarga.
Kelima, diskon listrik untuk 32,6 juta pelanggan hingga Desember 2021 dengan tambahan alokasi anggaran Rp1,91 triliun menjadi Rp9,49 triliun. Selain itu, ada juga bantuan rekmin biaya beban/abonemen untuk 1,14 juta pelanggan dengan tambahan anggaran Rp420 miliar menjadi total Rp2,11 triliun.
Keenam, Program Prakerja dan Bantuan Subsidi Upah untuk mendukung tenaga kerja dengan tambahan anggaran Rp10 triliun menjadi Rp30 triliun. Total peserta pun meningkat dari 5,6 juta menjadi 8,4 juta peserta.
Ketujuh, perpanjangan subsidi kuota hingga Desember 2021 dari yang awalnya hanya hingga Mei 2021. Program ini menyasar 38,1 juta siswa atau tenaga pendidik dengan tambahan alokasi anggaran Rp5,54 triliun menjadi Rp8,53 triliun.
Kedelapan, Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa yang menyasar 8 juta keluarga dengan manfaat Rp300 ribu per bulan selama 12 bulan. Total anggaran untuk program ini mencapai Rp28,8 triliun.
Kementerian Keuangan 2021
Masalah Klasik
Keputusan pemerintah untuk menaikkan anggaran jaring pengaman sosial tentu menjadi kabar baik. Namun, pada saat yang sama tantangan klasik terkait potensi penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran dan dikorupsi pun masih membayangi.
Di banyak provinsi, akurasi data penerima bantuan sosial masih menjadi masalah. Kondisi ini menyebabkan tidak jarang malah ada PNS atau bahkan golongan elit yang masuk dalam daftar penerima bantuan sosial.
Data yang ada di pemerintahan tidak sesuai dengan kondisi riil, sehingga menyulitkan proses penyaluran bantuan sosial. Tidak heran jika akhirnya proses pencairan bantuan pun berjalan lambat. Proses pembenahan ini memang tidak dapat diharapkan segera teratasi dalam waktu singkat.
Presiden Jokowi juga mengeluhkan hal ini, sebab realisasi penyaluran bansos umumnya belum mencapai separuh dari alokasi anggaran, padahal tahun anggaran sudah memasuki paruh kedua.
Kehati-hatian pada pelaksana penyaluran bansos akibat data yang tidak akurat ini dapat dipahami. Sebab, kondisi seperti ini dapat berujung pada temuan yang menyebabkan pejabat pemda terkriminalisasi. Di sisi lain, data yang tidak akurat pun menjadi celah yang dimanfaatkan sejumlah oknum.
Beberapa persoalan konkret misalnya data KTP yang tidak sesuai dengan data domisili serta pemetaan kelompok sosial yang tidak jelas. Alhasil, ada kelompok masyarakat yang secara ekonomi masih mampu justru mendapatkan bantuan, sedangkan yang memang butuh malah tidak kebagian.
Selain itu, ada kelompok yang semula tidak membutuhkan bantuan, tetapi seiring perkembangan ekonomi terkini akhirnya masuk dalam kelompok miskin. Ada lagi masyarakat yang sudah meninggal, tetapi masih terdata sebagai penerima bantuan. Ini tentu menuntut pembaruan data terus menerus.
Kesemrawutan data pun menyebabkan beberapa nama menerima bantuan berganda, membuat penyaluran bantuan terhambat.
Meskipun demikian, kondisi data yang tidak ideal tentu saja tidak dapat terus-terusan menjadi alasan untuk menunda apalagi menahan penyaluran bantuan sosial. Kesalahan penyaluran mungkin saja terjadi, tetapi itu lebih baik ketimbang tidak tersalurkan sama sekali.
Lagi pula, pandemi ini sejatinya berdampak luas, tidak saja bagi masyarakat yang sudah kadung miskin, tetapi juga bagi kelas menengah yang rentan miskin. Di sisi lain, pemetaan penerima bantuan dari pemerintah tidak begitu jelas. Hal ini rawan membangkitkan konflik sosial.
Tentu saja, pekerjaan rumah yang harus dibereskan adalah memperbaiki bank data yang ada secara terus menerus untuk memastikan kualitas penyaluran bansos bakal makin baik dari waktu ke waktu. Lagi pula, kita tidak tahu hingga kapan pandemi akan berakhir, sehingga perbaikan harus terus dilakukan.
Tak Akan Cukup
Jaring pengaman sosial yang diberikan negara pada dasarnya adanya bantuan untuk meringankan beban masyarakat, bukan sepenuhnya untuk mengangkat beban tersebut. Alhasil, kondisi keuangan masyarakat tetap dalam kondisi yang sangat rentan.
Selain itu, meski nilai anggaran bantuan sosial terlihat besar, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, justru tidak ada artinya. Namun, sekali lagi, itu jauh lebih baik dari pada tidak ada sama sekali. Pada akhirnya, semua harus berkompromi dengan keadaan dan berusaha bertahan secara mandiri.
Dalam konteks ini, tampaknya langkah kompromi pemerintah selama ini untuk tidak terlalu ketat dalam memberlakukan pembatasan sosial dapat dimaklumi. Sebab, dengan pengetatan yang ada sekarang saja, masyarakat sudah sangat menjerit, apalagi jika lockdown total.
Pada akhirnya, setiap masyarakat harus berjuang sendiri untuk memastikan dirinya mampu bertahan di tengah krisis ini, yang sayangnya tidak jelas kapan akan berakhir. Untuk itu, penerapan protokol kesehatan ketat menjadi harga mati, walaupun karena terpaksa masyarakat tetap harus bekerja dan keluar rumah.
Date: