Pertaruhan Diversifikasi Bisnis Indika Energy
PT Indika Energy Tbk. (INDY) kian serius mempersiapkan langkah diversifikasi bisnis. Langkah ini merupakan bagian dari hitung-hitungan perseroan perihal potensi bisnis batu bara di tengah tantangan perubahan iklim.
Emiten dengan kode saham INDY ini merupakan salah satu emiten penambang batu bara yang cukup sukses dan memiliki reputasi yang baik di industri batu bara. Namun, kini perseroan menempatkan salah satu misinya yakni meningkatkan pendapatan non-batu bara hingga 50% pada 2025. Sebuah langkah yang ambisius.
INDY merumuskan dua dari empat strategi bisnisnya yakni diversifikasi dan fokus serta komitmen pada prinsip environmental, social and good governance (ESG). Langkah INDY ini tidak terlepas dari tren yang berkembang di pasar global. Banyak negara yang sudah mulai berencana mengurangi konsumsi batu bara, karena dianggap sebagai biang pemanasan global.
Oleh karena itu, selain strategis, langkah bisnis perusahaan yang kini dipimpin oleh M. Arsjad Rasjid, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia untuk periode 2021-2026, mulai mengalihkan fokus dari batu bara ke bisnis-bisnis alternatif adalah keharusan jika ingin memastikan kesinambungan bisnisnya dalam jangka panjang.
Kinerja keuangan INDY tidak begitu mengesankan dalam dua tahun terakhir. Bahkan sebelum pandemi, perseroan sudah membukukan kerugian pada 2019. Kondisi pandemi makin memperburuk situasi tersebut. Rugi perseroan membengkak pada 2020.
Namun, memasuki tahun 2021, kinerja INDY membaik. Pendapatan perusahaan meningkat dan kinerja rugi pada tahun lalu pun kini berbalik menjadi laba. Kendati kinerja perseroan mungkin belum akan sebaik tahun 2018, setidaknya INDY sudah berada di jalur pemulihan bisnis.
INDY adalah perusahaan holding yang menjadi induk bagi grup bisnis Indika yang meliputi bisnis pertambangan batu bara dan emas, kontrak pertambangan, transportasi hasil tambang, EPC (engineering, procurement, & construction).
Jadi, sebenarnya INDY sudah menjalankan diversifikasi bisnis. Namun, pada dasarnya bisnis inti INDY adalah penjualan batu bara. Sebab,sektor tersebut menyumbang setidaknya 80% dari total pendapatan.
Alhasil, kinerja bisnis INDY sangat sensitif terhadap pergerakan harga komoditas batu bara. Kerugian yang terjadi selama 2019-2020 tidak terlepas dari penurunan harga jual batu bara, baik domestik maupun global.
Sepanjang 2018, INDY menikmati harga jual batu bara yang cukup tinggi. Harga batu bara acuan (HBA) domestik konsisten di atas US$90 per ton. Kondisi yang sama tentu saja terjadi di pasar global, sebab HBA mengacu pada harga di pasar global.
Namun, sejak awal 2019 harga komoditas ini cenderung terus menurun. Puncak penurunan terjadi pada 2020. Harga batu bara acuan (HBA) per September 2020 bahkan sudah berada di bawah US$50 per ton. Kondisi ini menyebabkan penjualan INDY menurun cukup dalam dan berujung pada kerugian.
Pada awal tahun ini, kondisi mulai berbalik. HBA kembali meningkat sejak awal tahun, bahkan rentang peningkatannya sangat pesat hingga kini mencapai level rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir. Per Agustus 2021, HBA sudah ada di level US$130,99 per ton.
PT Kideco Jaya Agung yang menjalankan bisnis produksi batu bara INDY dan penyumbang pendapatan terbesar INDY menikmati kenaikan harga jual rata-rata batu bara sebesar 21,9% year-on-year (YoY) pada semester pertama tahun ini, atau dari US$39,8 per ton menjadi US$48,6 per ton.
Volume penjualan batu bara juga naik 8,5% YoY dari 16,6 juta ton menjadi 18,1 juta ton. Perseroan menjual 35% di antaranya untuk pasar domestik, melebihi kewajiban atau domestic market obligation (DMO) yang dipatok 25%.
Perseroan menyebut bahwa jika perseroan hanya menjual 25% produksinya untuk DMO, laba yang dibukukan INDY akan lebih besar, setidaknya menyentuh US$24 juta, bukannya US$12 juta seperti yang akhirnya dibukukan perseroan.
Dengan kondisi harga batu bara yang cenderung terus meningkat tahun ini, sudah tentu kinerja bisnis INDY pun bakal membaik hingga akhir tahun. Namun, sampai kapan harga batu bara akan selalu bertahan di level yang tinggi ini? Tak ada yang dapat memastikan.
Oleh karena itu, bisnis INDY relatif sangat volatile, bergantung pada perkembangan harga komoditas batu bara. Jika terus seperti ini, tentu saja bisnis INDY bakal menjadi kurang menarik, apalagi banyak negara kini mulai mewacanakan untuk mengurangi tingkat konsumsi energi yang berbahan bakar batu bara.
Tantangan terbesar tentu saja berasal dari China. Negara tersebut merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia, tetapi kini mewacanakan untuk mencapai netralitas emisi karbon pada 2060. Untuk mencapai target itu tentu saja poin utamanya adalah untuk mengurangi konsumsi batu bara sebab energi batu bara menjadi penyumbang emisi karbon terbesar.
Jika INDY terus bertahan dalam model bisnisnya yang sekarang, sudah tentu perusahaan bakal terus merugi di masa mendatang, sebab ketika wacana tersebut mulai direalisasikan, harga batu bara hampir pasti akan selalu berada dalam tren penurunan dan rapor merah telah menanti.
Prospek Diversifikasi Bisnis
Diversifikasi bisnis adalah jalan keluar bagi INDY jika ingin memastikan kesinambungan bisnisnya dalam jangka panjang. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kontribusi pendapatan INDY dari luar bisnis batu bara hanya 20% dan perseroan ingin meningkatkannya menjadi 50% pada 2025.
INDY juga menargetkan emisi karbon 0% pada 2050 yang mengindikasikan bahwa perseroan mungkin akan sepenuhnya meninggalkan bisnis batu baranya.
Artinya, akan banyak inisiatif bisnis yang dilakukan INDY dalam beberapa tahun ke depan untuk mengejar target tersebut. Idealnya, dalam jangka pendek target tersebut tercapai bukan dengan cara mengurangi penjualan batu bara, melainkan meningkatkan kontribusi pendapatan dari lini non-batu bara.
Dalam jangka panjang, mungkin saja INDY harus segera meninggalkan bisnis batu bara yang telah membesarkannya. Lantas, apa yang bakal dilakukan INDY?
Salah satu upaya diversifikasi bisnis yang telah dimulai INDY yakni bisnis pertambangan emas. Studi kelayakan untuk bisnis ini telah rampung pada 2018 lalu dan kini sudah mulai beroperasi. Investasi di bisnis ini dilakukan melalui Nusantara Resources Limited, anak usaha INDY, yang memiliki PT Masmindo Dwi Area (MDA).
MDA ini memiliki hak operasi tambang emas di wilayah Sulawesi Selatan dengan jumlah cadangan 1,5 juta ounce. Tambang emas tersebut dapat digarap dalam waktu sekitar 10 hingga 11 tahun ke depan. Rata-rata produksinya mencapai 150 ribu ounce per tahun.
Lini lain yang dijajaki INDY yakni fasilitas penyimpanan bahan bakar minyak (BBM) melalui PT Interport Mandiri Utama atau Interport. Salah satu proyek yang telah berhasil dibangun Interport adalah fasilitas penyimpanan BBM untuk ExxonMobil yang berada di Kariangau, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Kapasitas infrastruktur logistik ini mencapai 96 juta liter. Pembangunannya telah dilakukan sejak 2019 dalam waktu 18 bulan dengan investasi US$115 juta. Fasilitas ini sudah mulai beroperasi sejak November 2020.
Perseroan masih akan melakukan pengembangan proyek serupa di wilayah lainnya. Di samping itu, Interport juga terlibat dalam pengembangan Pelabuhan Patimban di Jawa Barat.
INDY juga telah membentuk perusahaan patungan atau joint venture (JV) dengan dengan Fourth Partner Energy bernama Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS). Perusahaan ini akan difokuskan untuk menggarap bisnis panel surya (solar panel), baik untuk segmen industri maupun komersial.
INDY menargetkan dapat mengoperasikan panel surya dengan kapasitas hingga 500 megawatt peak (MWP) dalam 5 tahun ke depan. Perseroan siap menggelontorkan US$500 juta hingga 2025 untuk menggarap proyek tenaga listrik.
Perseroan pun telah selesai membangun proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di wilayah anak usahanya, yakni Kideco, di Paser, Kalimantan Timur, pada Maret 2021. Proyek ini berkapasitas 409 kilowatt peak (KWP) dan diinstalasi di lingkungan perumahan karyawan Kideco. Sebanyak 999 unit solar panel terpasang di dasar dan atap rumah dengan menggunakan tiga inverter.
Dalam jangka panjang, PLTS di Kideco itu diperkirakan dapat mengurangi konsumsi diesel sebanyak 45%. Hal ini tidak saja bakal meningkatkan efisiensi perusahaan, tetapi juga mengurangi emisi gas rumah kaca.
Perseroan sejatinya telah memetakan banyak potensi bisnis yang dapat dimasuki sebagai sasaran diversifikasi bisnis masa depan, yakni mencakup logistik, infrastruktur, tambang mineral, energi terbarukan, kendaraan listrik, teknologi, dan lain-lain.
Adapun, inisiatif di bidang teknologi dan kendaraan listrik dirintis melalui pendirian entitas usaha PT Electra Mobilitas Indonesia (EMI), bersama dengan entitas usaha lainnya PT Indika Energy Infrastructure. EMI nantinya akan fokus pada pengembangan dan penjualan kendaraan listrik roda dua.
Saat ini, EMI masih berada dalam tahap eksplorasi pengembangan bisnis dan investasi masa depan. Bisnis EMI bakal mencakup juga perdagangan besar suku cadang sepeda motor dan aksesorisnya, perdagangan besar berbagai suku cadang, komponen, aksesoris mobil, dan melakukan jasa konsultasi manajemen. Total modal INDY yang telah disalurkan ke EMI mencapai Rp40 miliar dengan kepemilikan 100%.
Untuk kepentingan seluruh diversifikasi bisnis ini, INDY telah menganggarkan US$1 miliar dalam 5 tahun ke depan.
Bisnis INDY Menjanjikan?
Di pasar saham, saham INDY tercatat telah turun 15,9% year-to-date (YtD) ke level Rp1.455 hingga hari ini, Rabu (18 Agustus 2021) pukul 13.20 WIB. Dalam sehari ini, saham INDY telah turun 3%. Jika menilik kinerja saham ini, tampaknya investor tidak begitu antusias terhadap rencana besar INDY.
Jika eksekusi seluruh rencana bisnis ambisius INDY ini dapat berjalan lancar, tentu saja prospeknya bakal sangat menjanjikan bagi INDY. Bukan tidak mungkin perseroan dapat sepenuhnya lepas dari ketergantungan terhadap bisnis batu bara.
Beberapa bisnis baru yang dimasuki INDY merupakan bisnis yang relatif masih sangat baru di Indonesia dan belum begitu banyak pesaing besar. Namun, sebagai bisnis yang baru, butuh upaya ekstra bagi INDY untuk menjaring konsumen, sebab hal itu menuntut upaya edukasi dan promosi yang besar.
Langkah INDY untuk melakukan diversifikasi besar-besaran secara bersamaan dalam waktu singkat ini juga cukup berisiko, sebab bagaimanapun perseroan memiliki sumber daya yang terbatas.
Selama ini seluruh sumber daya itu terkonsentrasi di bisnis batu bara dan kini tiba-tiba beralih ke bisnis yang sama sekali baru. Tentu akan ada masalah yang muncul dan INDY harus mampu membuktikan bahwa perusahaan mampu mengatasi tantangan tersebut.
Di sisi lain, saat ini pandemi belum berakhir dan entah akan berlangsung hingga kapan. Langkah besar INDY ini harus dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga kemungkinan akan sangat menghambat laju pertumbuhan bisnisnya.
Meskipun demikian, langkah ini adalah langkah yang memang harus ditempuh INDY. Jika menundanya terlalu lama, risikonya bakal lebih besar bagi INDY. Oleh karena itu, langkah yang ditempuh perseroan saat ini menjadi pertaruhan serius bagi masa depan perusahaan.
Date: