Menyelamatkan Wajah Negara Lewat Rangkaian Holding

Date:

Sejak masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo lewat Menteri BUMN gemar melakukan serangkaian aksi holding perusahaan plat merah. Hobi tersebut sama sekali tak berubah pada periode kedua kepemimpinannya, bahkan semakin agresif. Awal tahun ini, seperti diwartakan CNN Indonesia, pemerintah merampai pembentukan enam holding BUMN. Masing-masing di bidang jasa survei, industri pangan, industri pertahanan, media, layanan, pelabuhan dan transportasi. “Konsep holding ini kami melihat kepada sebuah ekosistem. Ketika ada kesamaan bisnis antar-BUMN itu, maka dibuat kelompok dalam rencana holding,” ujar Direktur Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Marjinal Nur. 

Rencananya, keenam holding tersebut bakal melengkapi daftar panjang holding yang telah tersebar pada sektor pertambangan, minyak dan gas (migas), farmasi, hingga klaster pangan yang sebelumnya telah dibentuk pemerintah sepanjang 2015-2020.Keenam calon holding juga akan melengkapi keberadaan holding baterai dan holding usaha mikro, dua holding terakhir yang telah diwacanakan sejak akhir tahun lalu dan ditargetkan bisa mulai berjalan tahun ini.

Erick Thohir, bukan rahasia lagi adalah sosok di balik ambisi restrukturisasi BUMN. Bukan cuma holding, di era menjabatnya eks bos Inter Milan tersebut juga cenderung mendorong adanya merger terhadap beberapa BUMN yang masih memiliki irisan bisnis. Saking agresifnya upaya merger dan pembentukan holding di era kepemimpinan Erick, belakangan wacana pembentukan holding nasional untuk membawahi holding-holding sektoral juga kembali mencuat. Bukan cuma di lingkaran Kementerian BUMN, wacana tersebut muncul dalam rapat panja penyusunan naskah akademis RUU BUMN di Komisi VI DPR, Rabu (23/6) lalu.

“Menurut saya sebaiknya sudah ada jadwal untuk melakukan konsolidasi BUMN ini melalui National Holding Company, di mana di bawahnya nanti akan ada sektoral holding yang dikelola secara profesional,” papar eks Menteri BUMN dan komisaris sejumlah BUMN Tanri Abeng, saat diundang sebagai anggota tim pakar dalam rapat tersebut seperti yang diwartakan CNBC IndonesiaDasar argumen Tanri dan sejumlah tim pakar sebenarnya bisa dipahami. Dengan adanya lembaga yang memastikan terbentuknya holding-holding BUMN berjalan sinergis, diharapkan dampak positif dari keberadaan masing-masing holding dapat lebih optimal.

Peneliti Universitas Diponegoro, Drs. R Hardjoeno dalam bukunya, Menata Organisasi dan Pembentukan Holding Company (2021) merangkum bahwa pembentukan holding terutama dalam konteks BUMN bisa menghasilkan setidaknya 10 poin manfaat. Mulai dari mempermudah pengawasan evaluasi, meningkatkan disiplin fungsi manajemen, peningkatan transparansi, perluasan lanskap dan pusat data, hingga pengembalian visi sebagai wakil pemerintah di dunia usaha. Pembentukan holding, masih menurut analisis Hardjoeno, juga bisa mendorong perusahaan lebih tertata untuk menghadapi krisis, penguatan aset hingga ekuitas, memperjelas perencanaan, penguatan fungsi manajemen internal, hingga yang tidak kalah penting adalah meringankan beban yang ditanggung masing-masing perusahaan. Terkait poin terakhir, adanya efisiensi tentu merupakan hal penting di tengah sorotan tajam menyoal tren utang BUMN yang terus membengkak dari tahun ke tahun.

Utang BUMN (dalam triliunan rupiah)

Tahun

Nominal

2017

942,9

2018

1.251,7

2019

1.393,0

2020 (per kuartal ketiga)

1.682,0

SUSPI Bank Indonesia. 

“Holding akan membuat pelaksanaan, perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan lebih mudah karena dasarnya sudah dituangkan dalam konsepsi yang menjadi pedoman kerja,” tulis Hardjoeno. Dalam beberapa contoh kasus, apa yang dikatakan Hardjoeno memang tampak dipahami betul oleh negara. Setidaknya, pemerintah selalu mendasarkan pendirian holding pada tujuan yang terarah. Dalam rencana pembentukan dua holding terakhir contohnya, yakni holding baterai dan holding ultra mikro, Kementerian BUMN spesifik mengarahkan tujuan utama keduanya adalah untuk membentuk ekosistem mobil listrik dan mendorong pertumbuhan UMKM.

Ekosistem mobil listrik, di satu sisi, merupakan era yang tak bisa lagi disanggah. Mulai munculnya kesadaran tinggi di skala global terkait energi yang lebih ramah lingkungan adalah peluang besar bagi Indonesia yang memiliki predikat sebagai salah satu negara dengan potensi nikel terbesar.

Lalu di sisi lain, terkait holding ultra mikro, adanya reformasi untuk mengoptimalkan peran UMKM juga hal yang tidak kalah penting. Terlebih UMKM merupakan kontributor terbesar perekonomian negara dan permasalahan basis data yang selama ini terjadi barangkali juga bisa lebih mudah terpecahkan dengan adanya sinergi antara BUMN-BUMN terkait. Namun, mesti dipahami pula bahwa selain manfaat-manfaat yang selalu jadi poin utama pemerintah, agresivitas holding juga berpotensi memunculkan beragam risiko. Efek yang mungkin akan terasa ialah permasalahan manajerial, kemungkinan akan ada lag dalam proses pengambilan keputusan.

Keberadaan holding otomatis akan membuat keputusan-keputusan yang diambil suatu perusahaan harus mendapat persetujuan lebih dulu dari holding selaku perusahaan induknya. Hal ini bisa berdampak terhadap penurunan kemampuan perusahaan untuk merespons situasi pasar dan bersaing—misalnya—dengan perusahaan swasta maupun kompetitor asing. Birokrasi yang akan memperlambat kapasitas perusahaan jelas bukan hal yang dibutuhkan BUMN Indonesia saat ini. Apalagi di tengah jebloknya prestasi perusahaan-perusahaan pelat merah di kancah dunia.

Dalam daftar Fortune Global 500 yang merekapitulasi 500 perusahaan terbaik dunia, pada 2020 tak ada satu pun nama perwakilan Indonesia yang berstatus BUMN. PT Pertamina (Persero), yang pada 2019 sempat masuk dalam daftar dan duduk di urutan 175, terdepak dari gelar mentereng mereka karena kinerja yang kalah saing dari kompetitor lain di dunia. Bandingkan misal dengan China. Dari 97 perusahaan yang berada di bawah naungan Kementerian BUMN China alias State Owned Asset Supervision and Administration (SASAC), sebanyak 48 perusahaan alias hampir separuhnya masuk dalam daftar prestisius tersebut pada tahun lalu.

Potensi risiko lain yang bisa terjadi akibat pembentukan holding adalah penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini, terutama, bisa terjadi jika perusahaan-perusahaan yang menyatu di bawah holding tidak memiliki jaminan kesetaraan. Imbasnya, bukan mustahil jika holding justru semacam dijadikan tameng praktik akuisisi semu satu perusahaan terhadap perusahaan lain.

Kekhawatiran terakhir inilah yang salah satunya tengah muncul pasca-pengumuman holding ultra-mikro oleh Kementerian BUMN. Terlebih, belum lama BRI selaku salah satu perusahaan anggota holding mengumumkan aksi korporasi penambahan modal secara agresif. Koalisi Tolak Holding Ultra Mikro, gabungan masyarakat sipil dan pakar yang menentang aksi tersebut, khawatir jika kelak setelah holding beroperasi BRI justru mendominasi serta banyak campur tangan dengan perusahaan lain. Ada pula kekhawatiran jika holding ini justru akan mematikan peran koperasi.

“Kami menunggu penjelasan Menteri Erick Thohir. Jika penjelasan rasional, maka kami akan menerima rencana holding. Sebaliknya, jika penjelasan kami lebih rasional, Menteri Erick harus membatalkan niatnya,” tutur Koordinator Koalisi Suroto dalam pernyataannya, Jumat (25/6) lalu. Patut dinanti bagaimana pemerintah, khususnya Kementerian BUMN merespons kekhawatiran dan mitigasi potensi risiko yang ada. Sebab, pada akhirnya yang bakal menentukan apakah pembentukan holding-holding yang mereka rencanakan bisa menyelamatkan wajah BUMN Indonesia.

Tags: