Peluang Investasi Saham IPO 2021

Date:

[Waktu baca: 7 menit]

Penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) suatu perusahaan di Bursa Efek Indonesia sering kali memang sangat menarik sebab membuka peluang keuntungan investasi yang cukup menjanjikan.

Mengapa demikian? Sebab, sering kali suatu perusahaan yang hendak IPO akan menawarkan harga saham dengan valuasi yang sedikit lebih rendah dibandingkan valuasi wajarnya. Tujuannya, agar  penawaran perdana sahamnya menarik minat investor sehingga banyak yang menyerapnya.

Bagi investor, harga saham yang terdiskon di pasar primer ini tentu membuka peluang bagi kenaikan harga setelah nanti saham perusahaan itu tercatat di bursa dan mulai diperdagangkan  di pasar sekunder BEI. 

Oleh karena itu, tidak jarang kita melihat kenaikan harga saham-saham yang baru IPO yang sangat tinggi pada hari pertama perdagangan sahamnya di BEI.

Sebelum pandemi, misalnya pada 2019 lalu, hampir semua saham IPO mengalami lonjakan harga yang tinggi pada hari pertama pencatatan sahamnya. Kenaikan harga tersebut bahkan menyentuh batas atas kenaikan harga yang diizinkan bursa dalam satu hari perdagangan, atau terkena auto rejection atas (ARA).

Beberapa saham IPO bahkan terus mengalami kenaikan harga di hari-hari selanjutnya, hingga mencapai level kenaikan harga yang tidak lagi wajar.

Hal ini patut diwaspadai, sebab saham-saham IPO, khususnya yang bernilai kecil, sangat mudah dikendalikan oleh ‘bandar’ di pasar, sehingga harganya naik gila-gilaan, sebelum nantinya turun secara drastis saat mereka mulai merealisasikan keuntungannya.

Sepanjang 2020, beberapa saham IPO pun masih mengalami hal yang sama. Misalnya, beberapa saham yang baru tercatat pada Desember 2020, seperti PT Panca Mitra Multiperdana Tbk. (PMMP) dan PT Victoria Care Indonesia Tbk. (VICI).

PMMP baru listing pada 18 Desember 2020 dengan harga Rp336 per saham dan meraup dana Rp118,6 miliar dari IPO. Pada hari pertama perdagangan sahamnya, harganya langsung melejit hingga 25% menjadi Rp420.

Namun, belakangan harga sahamnya turun lagi ke level Rp314 per 23 Desember 2020, atau lebih rendah dari harga IPO.

Sehari sebelum PMMP, VICI juga mencatatkan sahamnya di bursa dengan harga Rp100 per saham dan meraih dana segar Rp101 miliar. Sama seperti PMMP, sahamnya langsung melejit 35% pada hari pertama pencatatan sahamnya. Namun, berbeda dibandingkan dengan PMMP, saham VICI masih naik lagi setelahnya dan menyentuh Rp380 per 23 Desember 2020.

Dominasi IPO Emiten Kecil

Sepanjang 2020, pasar modal Indonesia menerima kedatangan 50 emiten baru. Jumlah ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan capaian sepanjang 2019 yang sebanyak 55 emiten. Namun, dari sisi nilai penggalangan dananya jauh lebih rendah.

Sepanjang 2019, 55 emiten baru meraup dana Rp15,32 triliun dari pasar modal, sedangkan sepanjang 2020, 51 emiten baru hanya meraup dana Rp6,31 triliun. Artinya, terjadi penyusutan nilai penggalangan dana sebesar 58,81%.

Kondisi ini bisa jadi disebabkan oleh ragunya perusahaan-perusahaan besar yang berencana untuk IPO dalam nilai jumbo untuk merealisasikan rencananya pada 2020, lantaran kondisi pasar modal sedang tidak kondusif akibat tekanan jual investor karena dampak pandemi.

Perusahaan-perusahaan tersebut khawatir, mereka tidak dapat menawarkan sahamnya dengan harga yang baik, sebab investor mungkin akan meminta harga serendah mungkin ketika pasar sedang jelek. Alhasil, dana yang berhasil dikumpulkan pun menjadi kurang optimal.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan kecil yang memutuskan IPO pada 2020 pun kemungkinan mengalami hal serupa, tetapi tetap melanjutkan rencananya demi mengumpulkan modal, entah untuk ekspansi usaha ataupun karena terdesak demi bertahan di tengah pandemi.

Jumlah raihan dana yang kecil, yakni hanya Rp6,31 triliun, menjadi bukti bahwa pengumpulan dana IPO tahun 2020 bisa jadi memang kurang optimal. Jika dibagi rata, nilai Rp6,31 triliun untuk 51 emiten itu hanya setara dengan Rp123,7 miliar per emiten.

Adapun, sepanjang 2020, hanya satu emiten yang berhasil mengumpulkan dana IPO di atas Rp1 triliun, yakni PT Metro Healthcare Indonesia Tbk. (CARE), yakni Rp1,03 triliun. Itu pun, IPO dilakukan pada awal 2020, yakni sebelum pandemi masuk ke Indonesia. 

Kebanyakan emiten lainnya mengumpulkan dana IPO kurang dari Rp100 miliar selama periode pandemi.

Berikut ini daftar 10 emiten dengan IPO terbesar sepanjang 2020:

Total nilai penggalangan dana oleh 10 emiten tersebut mencapai Rp3,32 triliun, atau setara dengan 53% dari total nilai emisi 51 emiten sepanjang 2020. Sisanya, mengumpulkan dana yang kecil dari IPO. Ada 32 emiten yang mengumpulkan dana kurang dari Rp100 miliar melalui IPO 2020.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, ketika nilai IPO emiten terlalu kecil, tidak jarang mayoritas sahamnya hanya akan dimiliki oleh beberapa pihak yang terbatas, sehingga pergerakan harganya cenderung mudah dikendalikan. Meskipun demikian, tentu tidak semuanya seperti itu.

Prospek IPO 2021

Lalu, bagaimana dengan peluang IPO 2021? Ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.

Kemungkinan pertama, minat IPO sepanjang 2021 akan lebih besar dibandingkan dengan 2020. Hal ini terjadi karena korporasi-korporasi besar yang semula menunda IPO-nya pada 2020 akhirnya beralih ke 2021 setelah kondisi pasar modal lebih baik.

Menjelang akhir tahun 2020, pasar saham terus membaik dibandingkan dengan kondisi pertengahan tahun 2020 ketika pasar anjlok sangat dalam akibat pandemi. Jika tren pemulihan ini terus berlanjut hingga 2021 nanti, tentu hal itu mencerminkan optimisme investor yang lebih tinggi.

Hal ini membuka peluang bagi korporasi besar untuk menawarkan sahamnya dengan harga yang lebih baik. Dengan demikian, meskipun jumlah perusahaan yang melakukan IPO tidak sebanyak 2020, tetapi asalkan nilainya besar, efeknya akan lebih besar bagi pasar secara keseluruhan.

Jika kondisi ekonomi terus membaik, kepercayaan diri investor juga akan meningkat, terutama dari kalangan investor institusi yang memiliki dana investasi lebih besar.

Investor-investor ini tentu akan lebih yakin untuk meninggalkan aset-aset aman seperti emas, obligasi negara, atau deposito, dan mulai beralih ke instrumen yang lebih berisiko tetapi menjanjikan tingkat keuntungan lebih tinggi, yakni saham.

Hal ini membuka peluang sukses bagi emiten yang hendak IPO untuk mengumpulkan dana sesuai target optimal mereka melalui penawaran umum perdana sahamnya.

Minat IPO juga kemungkinan secara umum akan meningkat tahun depan, tidak saja dari kalangan korporasi besar, tetapi juga korporasi-korporasi yang lebih kecil, seiring dengan peluang ekonomi yang lebih baik pascapandemi.

Kalangan perbankan mungkin masih akan berhati-hati untuk menyalurkan kredit baru pada 2021 akibat tekanan restrukturisasi kredit yang belum selesai sejak 2020. Oleh karena itu, masih belum mudah bagi perusahaan untuk mendapatkan pinjaman perbankan dalam nilai besar.

Dengan demikian, IPO kemungkinan menjadi jalan keluar untuk menggalang dana dan meningkatkan reputasi perusahaan. Selain itu, emiten-emiten yang sudah lama di bursa juga mungkin akan lebih banyak melakukan emisi saham baru melalui rights issue.

Meskipun demikian, kemungkinan lainnya tetap terbuka, yakni minat IPO 2021 tetap akan rendah, sama seperti 2020. Kemungkinan ini bisa terjadi terutama jika ekspektasi pemulihan ekonomi tidak terealisasi, misalnya jika kasus Covid-19 terus bertambah dan efektivitas vaksin ternyata sangat rendah untuk mencegah penularan Covid-19.

Jika kondisinya demikian, pemulihan yang terjadi di pasar saham menjelang akhir 2020 kemungkinan akan berbalik melemah.

Hanya saja, menimbang likuiditas berlebih di sistem perbankan yang siap beralih ke pasar saham dan meningkatnya animo masyarakat untuk berinvestasi di pasar saham, peluang bagi korporasi untuk IPO justru lebih besar pada 2021.

Tentu kita berharap kemungkinan pertamalah yang terjadi. Dengan demikian, peluang untuk meraih cuan dari saham-saham IPO pun menjadi lebih besar, sebab kemungkinan harga saham untuk terus meningkat menjadi lebih besar dibandingkan potensi penurunan.