Naik PPN, Turunlah Emiten

Date:

“Suffering is always the effect of wrong thought in some direction”. Derita ialah hilir keliru jalan berpikir. Petitih James Allen ini, yang ia abadikan lebih satu abad lalu dalam As a Man Thinketh itu, mana tahu sedikit bisa memberi bayangan bahwa jangan-jangan akan lahir tragedi ekonomi di tahun mendatang, jika kurang tepat jalan berpikirnya Kemenkeu soal saran meninggikan tarif Pajak Pendapatan Nilai (PPN) hingga 12 persen itu dikabulkan di masa-masa paceklik daya beli efek pandemi seperti sekarang ini.

Mungkin, permintaan Kemenkeu agaknya dimaklumi ketika mengilas balik tarif PPN dari tahun ke tahun. Dalam liputan berkalanya, KPMG—lembaga akuntan nirlaba berbasis di Belanda—mencatat, selama lebih dari sedekade Indonesia memilih bertahan di angka 10 persen, kendati rerata tarif PPN dunia sudah mencapai 15,42 persen per 2021.

Tetapi, dari sumber yang sama, guna memulihkan ekonomi tren tarif PPN dunia sejatinya malah turun yang rata-ratanya sekitar 0,13 persen di banding tahun 2020 kemarin yang berada di kisaran 15,55 persen. Mutlak, beralasan membuat selisih angka tarif agar tak berjarak lebar dengan negara lain tak bisa jadi pertimbangan Kemenkeu. Apa lagi, meski toh hanya dua digit, naiknya PPN pasti berefek domino, yang antara lain bisa menular ke area pasar modal.

Dari sekian bidang usaha yang melantai di pasar modal, yang paling terdampak tarif baru PPN nanti di antaranya emiten ritel dan konsumen. Pekan ini, sesuai data Bursa Efek Indonesia (BEI), buntut pandemi ke daya beli saja sudah berpengaruh kuat di kinerja hampir semua emiten di sektor itu. Pada saham PT Ramayan Lestari Sentosa Tbk, misalnya. Berkode RALS, perusahaan yang berdiri di 1978 itu selama seminggu terakhir (31 Mei-4 Juni 2021) ini minus 0,78 persen.

RALS tak sendiri, ada PT ACE Hardware Indonesia Tbk (ACES), PT Hero Supermarket Tbk (HERO), dan PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) di sektor serupa dengan pembukuan turun saham dalam sepekan. ACES, misalkan, walaupun sempat di tutup bangkit di Kamis (3 Juni), sehari berselang anjlok tipis dengan angka -0,97 persen. Sama halnya MPPA, bahkan lebih parah, sahamnya merosot tajam hingga -1,31 persen. Jatuh tak seberat yang lain, sementara HERO mencatatkan di kisaran -0,72 persen.  

Dari laporan saham BEI itu dapat dibayangkan, dengan belum ada satupun ahli yang tahu kepastian kapan pandemi akan mengakhiri virusnya di Indonesia, bagaimana jadinya lamun Kemenkeu tetap ngotot PPN naik. Sepertinya tak keliru apa yang diujarkan Chris Apriliony dan Lanjar Nafi ke awak media belakang hari. Dalam prediksi dua analis PT Jasa Utama Capital Sekuritas dan Head of Research PT Reliance Sekuritas itu, berencana menggenjot pemasukan negara melalui Value Added Tax (VAT) alias PPN di hari-hari kelesuan ekonomi akan menjadi sentimen negatif bagi sektor ritel di pasar modal juga saham.

Malahan, sebagaimana diingatkan jauh-jauh hari ekonom terapan Robert Ernest “Bob” Hall dalam The Effects of Tax Reform On Prices and Asset Values—sebuah catatan soal kewajiban berhati-hati dalam mereformasi pajak, masalahnya bukan cuma membuat emiten domestik cemas apabila langkah mengubah tarif PPN dilakukan tanpa ada pertimbangan matang. “Merombak pajak konsumsi seperti VAT saat kemarau ekonomi sama saja dengan ikhlas kehilangan emiten asing,” ungkap Hall di tulisan bertahun publis 1995 itu.

Sama-sama berstatus negara berkembang dan bergantung erat ke sektor konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi, Kemenkeu harusnya bisa berkaca ke kasus di Nigeria, mungkin. Mengutip National Bureau of Statistics (NBS) Nigeria, di negeri berjuluk “Raksasa Afrika” itu, Kemenkeu-nya sengaja menurunkan beban pajak PPN dari 0,5 persen menjadi 0,25 persen di 2020 lalu.

Nigeria sepertinya sadar, memakai tarif lama semakin menumbangkan konsumsi rumah tangga yang di Triwulan III di 2020 tumbuh -1,83 persen daripada tiga bulan sebelumnya, dengan sumbangsih ke PDB hanya 63,63 persen. Hasilnya, menggunakan tarif baru, 70,45 persen PDB berasal dari sektor itu yang di Triwulan IV membukukan pertumbuhan sampai -0,71 persen.

“Perubahan Undang-Undang ini mengurangi beban pajak pada banyak perusahaan yang mungkin tidak mendapat keuntungan selama periode pandemi,” tulis PricewaterhouseCoopers (PWC)—lembaga audit dan akuntan nirlaba berkantor di London, dalam Nigeria’s Finance Act 2020: Insights Series and Sector Analysis yang mengomentari kebijakan Nigeria itu.

Kemenkeu bisa saja berkelit pandemi menciptakan tekanan penerimaan ke negara, dan bukankah pengumpulan uang pajak dapat disubsidi ke pelbagai sektor, juga dalam rangka mewujudkan prinsip netralitas? Sayang, inti persoalannya bukan di situ, dan semestinya lembaga pengelola uang negara itu bisa menjawab pertanyaan: tidakkah reformasi sistem pajak juga wajib menjamin keadilan dan masyarakat tidak mampu, mengingat daya beli mereka tengah terganggu?   

Apabila enggan mencontoh negeri bekas koloni Britania Raya itu mugkin bisa dimengerti apa yang akan terjadi. Tapi, membaca suasana ekonomi Indonesia di 2022 dengan suku kata ‘tragedi’ cuma gegara naik PPN boleh jadi berlebihan, di satu sisi. Namun, dalam kacamata lain, menukil gambaran World Bank misalnya, “Bahwa perlu waktu hingga lima tahun untuk mengembalikan situasi ekonomi Indonesia seperti pre-Covid-19,” agaknya kata ‘tragedi’ sah-sah saja.