Mengenal Hustle Culture, Budaya yang Bikin Orang-Orang Gila Kerja
Kamu punya teman yang hobi banget kerja pagi-siang-malam? Atau jangan-jangan malah kamu sendiri yang mempraktikkan pola kerja berlebih seperti itu? Bisa jadi kamu atau teman kamu terseret hustle culture, sebuah budaya 'gila kerja' yang kini mulai marak.
Di media sosial pun, mungkin kamu pernah menyaksikan ada sahabat yang mempertontonkan aktivitasnya saat lembur kerja. Tak jarang juga ada orang yang mengunggah story di Instagram saat bekerja di tengah akhir pekan. Budaya ini seolah diglorifikasi dan dianggap sebagai sebuah pencapaian kerja yang positif.
Lantas apa itu hustle culture yang sebenarnya? Apakah hal ini positif, atau justru berdampak buruk? Big Alpha akan mengulas hal-hal yang perlu kamu tahu soal fenomena hustle culture. Yuk, simak!
1. Definisi hustle culture
Kalau diartikan secara harfiah, mengacu pada Oxford Learner's Dictionary, hustle itu berarti mendorong seseorang agar bisa bergerak lebih cepat secara agresif. Dengan begitu, hustle culture secara sederhana berarti sebuah budaya yang membuat orang-orang bergerak lebih cepat atau agresif. Dalam hal ini, konteksnya adalah budaya kerja.
Dilansir dari headversity, hustle culture punya definisi sebagai budaya yang mendorong para pekerja, karyawan, atau buruh bekerja berlebih. Bahkan, para pekerja ini sering memikirkan pekerjaan mereka di waktu luang, akhir pekan misalnya.
Hustle culture juga menuntut para pekerjanya menyelesaikan sebuah project atau mencapai target kerja secara cepat dengan ritme yang jauh lebih kencang dari biasanya.
Saking jadi budaya, orang-orang yang sudah terjebak dalam hustle culture ini nyaris tidak pernah beristirahat. Kalaupun istirahat, biasanya ada aja pekerjaan yang dipikirin. Hayo ngaku, pernah nggak kamu merasakan hal seperti ini?
2. Asal usul hustle culture
Kalau dipikir-pikir, sejak kapan sih muncul budaya gila kerja ini? Dikutip dari maize, hustle culture lahir sejak medio 1970-an. Lahirnya hustle culture erat banget dengan munculnya istilah workaholic di Barat yang menggambarkan para pekerja dengan jam kerja berlebih.
Barangkali, era 1970-an memang lekat dengan merebaknya banyak industri dunia. Termasuk, industri teknologi. Merangkak ke 1990-an, saat dunia mulai mengenai internet, hustle culture semakin menggila. Perusahaan mulai mengenal email dan sistem administrasi yang terdigitalisasi.
Alhasil, para karyawan dituntut bisa bekerja lebih cepat seolah tanpa ada batasan waktu. Karena toh, email bisa dikirim kapan saja dan di mana saja asal ada instrumen pendukungnya.
Periode 1990-an juga mulai lahir banyak perusahaan teknologi raksasa yang saat ini menguasai dunia. Coba sebut nama-nama besar di industri teknologi seperti Steve Jobs, Elon Musk, dan Mark Zuckerberg. Mereka yang sukses di usia muda seolah menjadi standar baru bagi kaum muda untuk bisa bekerja secara berlebihan.
Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, juga menjadi salah satu tokoh yang memopulerkan budaya gila kerja ini. Hal ini tercermin dari salah satu cuitannya.
"No one ever changed the world on 40 hours a week and who recommends reaching an 80 hours/week threshold, possibly peaking at 100." - Elon Musk
Seiring dengan semakin majunya teknologi, jeratan hustle culture semakin erat. Dengan adanya ponsel canggih, kita bisa kapanpun berhubungan dengan pekerjaan. Saat menyantap makan malam bersama keluarga misalnya, bisa saja tiba-tiba kita diminta mengerjakan sesuatu lewat ponsel.
3. Hustle culture ala China
Di China, budaya hustle culture justru semakin parah. Booming perusahaan teknologi rintisan Jack Ma, seperti Alibaba, membuat budaya gila kerja di China semakin populer.
Perusahaan-perusahaan raksasa teknologi di China kemudian mengenalkan istilah 996. Angka tersebut mewakili periode kerja seorang karyawan: dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam, selama 6 hari berurutan. Libur? Cuma sehari seminggu. Itu pun tidak ada jaminan karyawan nggak diteror kerjaan di hari liburnya.
Edan kan? Edan lah.
Budaya 996 di China pun merebak. Banyak perusahaan yang akhirnya mengadopsi sistem kerja ini. Karyawan pun, karena tingginya kebutuhan hidup, pada akhirnya banyak yang hanya bisa mengikuti perintah atasan.
4. Dampak hustle culture
Barangkali kita bisa menebak apa saja dampak yang muncul dari bekerja secara berlebihan. Tapi mari kita bahas berdasarkan sejumlah penelitian terkait hal ini.
Dikutip dari Sophomore, yang juga mengambil sumber dari jurnal Occupational Medicine, menunjukkan bahwa orang dengan jam kerja lebih panjang dari normal cenderung lebih murah mengalami depresi dan gangguan tidur. Sedikitnya 55% pekerja di Amerika Serikat mengaku alami stres akibat pekerjaan.
Jumlah pekerja yang stres di AS ini 20% lebih tinggi ketimbang negara lain di dunia. Selain itu, mengacu pada hasil riset Mental Health Foundation, ada 14,7% pekerja di Inggris yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Jepang, yang kita kenal masyarakatnya gila kerja, menunjukkan angka 3 kali lebih tinggi dari rata-rata negara lain di dunia dengan pekerja yang mengalami gangguan mental dan kesehatan.
5. Hustle culture di Indonesia
Indonesia pun tak luput dari booming budaya gila kerja ini. Apalagi dalam satu dekade terakhir makin marak startup teknologi yang lekat dengan ritme kerjanya 'fast-paced' banget.
Menurut hasil penelitian Komunitas Kala Krisis Keluarga Besar Mahasiswa FK Unair, ada 1 dari 3 pekerja di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja berlebih.
Masa pandemi Covid-19 pun justru memunculkan tantangan baru. Kampanye produktif di rumah berisiko meningkatkan tren hustle culture karena working from home justru tidak memiliki 'batasan' jam kerja yang lebih jelas seperti halnya working from office.
'Gaya hidup yang biasa disebut gila kerja ini memberikan dampak yang cukup besar pada kesehatan mental seseorang yang menyebabkan depresi hingga masalah kesehatan lainnya." - FK Unair
6. Aturan kerja di Indonesia
Pemerintah sudah mengatur jam kerja karyawan di Indonesia. Melalui UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, diatur bahwa periode kerja adalah 7 jam per hari atau 40 jam dalam sepekan untuk 6 hari kerja dengan 1 hari istirahat dalam 1 pekan.
Atau, 8 jam per hari (tetap 40 jam per pekan) untuk 5 hari kerja dengan 2 hari istirahat dalam 1 pekan.
7. Bagaimana menyikapi budaya gila kerja?
Perusahaan perlu lebih banyak membudayakan work life balance kepada karyawannya. Sebagai karyawan pun, sudah sepatutnya menjalankan budaya kerja yang seimbang ini.
Work life balance adalah menyeimbangkan load pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Dengan work life balance, maka karyawan memiliki waktu yang cukup untuk berada pada peran pekerjaan dan kehidupan pribadinya seperti keluarga.
Jadi intinya, boleh saja bekerja keras demi masa depan. Namun ingat, kesehatan fisik dan mental itu tetap penting. Kalau udah sakit, biaya yang perlu dikeluarkan justru bisa membesar. So, cobalah mengimbangi load kerja yang tinggi dengan aktivitas lain yang bisa menyegarkan pikiran, seperti menjalankan hobi di akhir pekan.
Date: