Kinerja BPR di Tengah Pandemi, Si Kecil Yang Bertahan
Kalangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) kerap kali dianggap sebagai kelompok bank yang paling rentan dan berisiko tinggi, apalagi saat ini di tengah kondisi pandemi. Anggapan ini tidak sepenuhnya keliru. Meskipun demikian, BPR rupanya terbukti mampu bertahan melewati periode berat ini.
BPR pada dasarnya menjalankan fungsi intermediasi perbankan, yakni menjadi perantara antara pihak yang memiliki dana berlebih dan membutuhkan tempat penyimpanan yang memberikan nilai tambah, dengan pihak yang membutuhkan dana.
Meskipun demikian, jasa yang dilakukan BPR tidak sekompleks yang dijalankan oleh bank-bank umum, khususnya pada layanan transaksi pembayaran. Selain itu, dana pihak ketiga (DPK) pada BPR hanya berupa tabungan dan deposito, tanpa giro.
Selain itu, perbedaan paling mencolok adalah dari sisi modal dasarnya. OJK telah mewajibkan bank umum untuk memiliki modal inti paling sedikit Rp3 triliun pada 2022 nanti, sedangkan BPR paling sedikit hanya Rp6 miliar, paling lambat pada 2024. Hal itu diatur dalam Peraturan OJK No. 5/POJK.03/2015.
Jelas bahwa kapasitas bisnis BPR jauh lebih kecil ketimbang bank umum, demikian pula pangsa pasarnya. Oleh karena itu, BPR sejatinya hanya ikan yang sangat kecil di kolam besar industri perbankan. Meskipun demikian, BPR punya pangsa pasarnya tersendiri di daerah-daerah.
Selama kondisi pandemi, BPR menjadi kelompok bank yang dikhawatirkan paling rentang mengalami likuidasi karena kegagalan bisnis. Benar saja, dari sebelumnya mencapai 1.545 unit pada 2019, jumlah BPR pada akhir 2020 tinggal 1.506 unit, atau berkurang 39 unit.
Namun, ini bukanlah hal yang mengejutkan. Dari tahun ke tahun, jumlah BPR memang cenderung terus berkurang, bukan semata-mata karena kondisi pandemi. Sepanjang 2019 saja, misalnya, penurunan jumlah BPR mencapai 52 unit.
Hanya saja, pada tahun-tahun sebelumnya, penurunan jumlah BPR tidak sedrastis 2 tahun belakangan. Sejak 2013 hingga 2018, jumlah BPR hanya berkurang 38 unit. Jelas, ada tantangan berat yang dialami oleh BPR saat ini.
Penurunan jumlah ini tidak selalu karena kebangkrutan, tetapi juga konsolidasi berupa merger dan akuisisi. Meskipun ada BPR yang memiliki aset dan modal yang cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari beberapa Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I, tetapi jarang yang beralih menjadi bank umum.
Sebagai informasi, BUKU I adalah kelompok bank umum dengan modal inti di bawah Rp1 triliun. Namun, praktis saat ini tidak ada lagi BUKU I, sebab OJK telah mewajibkan semua bank umum untuk memiliki modal inti minimal Rp1 triliun pada 2020, Rp2 triliun tahun ini, dan Rp3 triliun pada 2022 nanti.
BPR Sebelum Pandemi
Kehadiran BPR memang menjadi penyemarak di industri perbankan. Jumlah mereka mencapai ribuan unit, sedangkan bank umum saat ini hanya 107 unit. Bahkan, jumlah bank umum di Indonesia ini sudah tergolong terlalu banyak.
BPR bertahan untuk menggarap pangsa pasar yang selama ini tidak terjangkau oleh bank umum, entah karena risikonya yang terlalu tinggi, ataupun karena akses yang terbatas. BPR umumnya hadir di daerah-daerah dan melayani wilayah yang sangat terbatas, sehingga sangat terkonsentrasi.
Kehadiran BPR tetap dipertahankan pemerintah karena mereka turut berperan dalam meningkatkan inklusi keuangan kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah yang sering kali sulit mengakses layanan bank umum.
Pangsa pasar UMKM sendiri sejatinya sangat besar, bahkan mencapai 99,99% dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia. UMKM adalah kelompok usaha dengan aset maksimal hingga Rp10 miliar, serta omzet maksimal Rp50 miliar dalam setahun.
BPR tumbuh menjamur karena kebutuhan pembiayaan UMKM yang tinggi. Prospek bisnisnya juga cukup menjanjikan, meskipun sangat berisiko karena mereka cenderung menggarap pasar yang dihindari oleh bank umum.
Sebagai kompensasi atas risiko yang tinggi, BPR memberikan bunga yang sangat tinggi kepada debitur mereka. Sebagai contoh, kredit modal kerja (KMK) BPR per Maret 2021 ada di level 23,77% per tahun, sedangkan rata-rata bank umum hanya 9,12% per tahun.
Untuk menggalang dana atau DPK masyarakat, BPR juga memberikan bunga deposito yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bank umum. Bunga deposito BPR per Maret 2021 mencapai 6,83% per tahun, sedangkan bank umum hanya berkisar antara 3,74% hingga 5,22% per tahun.
Suku bunga yang tinggi inilah yang menjadi salah satu daya tarik BPR sehingga banyak masyarakat yang bersedia menempatkan dananya di BPR. Lagi pula, dana masyarakat di BPR pun turut dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), selama bunganya ada di bawah bunga penjaminan LPS.
Sebagai informasi, sejak Mei 2021 lalu, suku bunga penjaminan LPS untuk BPR ditetapkan 6,5%. Artinya, BPR yang memberikan bunga deposito di atas itu tidak dijamin oleh LPS. Jika BPR itu dicabut izin usahanya dan tak mampu mengembalikan simpanan nasabah, LPS tidak akan menggantinya.
Nah, peta persaingan di BPR mengalami tantangan berat akhir-akhir ini sejak kehadiran layanan pinjam meminjam uang secara online melalui perusahaan berizin, yakni kalangan pelaku usaha financial technology (fintech/tekfin).
Akhir-akhir ini, jumlah fintech ini tumbuh menjamur, baik yang legal maupun yang ilegal. Kemajuan teknologi digital dan makin mendalamnya penetrasi internet menjadikan pertumbuhan bisnis ini luar biasa pesatnya.
Kehadiran mereka pun menyasar pangsa pasar yang hampir serupa dengan yang disasar BPR, yakni pelaku UMKM yang membutuhkan modal kerja dan belum dapat mengakses layanan perbankan konvensional. Bahkan, lebih luas lagi, kalangan masyarakat umum yang unbankable atau sekadar membutuhkan pinjaman cepat.
Fintech menghadirkan keunggulan kompetitif sebab jauh lebih mudah diakses ketimbang BPR. Dengan aplikasi yang mudah diunduh dari Play Store atau App Store, siapa pun dan di mana pun dapat mengaksesnya. Proses pendaftarannya pun melalui online, sehingga cepat dan mudah.
Hingga Mei 2021, fintech lending terdaftar sudah mencapai 127 unit. Total akumulasi penyaluran pinjaman telah mencapai Rp207 triliun sejak awal mulai beroperasi, sedangkan posisi outstanding atau nilai pinjaman yang masih ada di penerima pinjaman mencapai Rp13,87 triliun.
Sepanjang 2020 lalu, atau selama periode pandemi tahun pertama, total outstanding ini naik 16,43% yoy menjadi Rp15,32 triliun, sedangkan total akumulasi penyaluran pinjaman naik 91,30% yoy menjadi Rp155,90 triliun. Total pinjaman baru sepanjang 2020 saja mencapai Rp74,41 triliun, naik 26,47% yoy.
Dari situ terlihat bahwa industri fintech lending tumbuh sangat subur sepanjang 2020 lalu. Jika melihat grafik pertumbuhannya, peningkatan pesat itu terjadi 2 tahun terakhir. Pada 2018 lalu, total akumulasi penyaluran pinjaman nasional, baik Jawa maupun luar Jawa, baru mencapai Rp21,67 triliun.
Bayangkan, dalam waktu hanya 2 tahun, meningkat dari Rp21,67 triliun menjadi Rp155,90 triliun. Berikut ini data perkembangan akumulasi pinjaman fintech lending (ungu mewakili Pulau Jawa dan kuning luar Jawa):
Pada saat yang sama, kondisi di BPR justru berkebalikan. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, jumlah BPR mengalami penurunan tajam dalam 2 tahun terakhir, terutama akibat persaingan ini.
Fintech diserbu banyak pengguna karena kemudahannya, padahal bunga yang diberikan sangat tinggi, bahkan hingga lebih dari 30% per tahun jika diakumulasikan beserta dengan biaya administrasi. Menariknya, fintech memberikan bunga jangka pendek, bulanan atau mingguan, bahkan harian.
OJK sendiri mengatur agar bunga fintech maksimal 0,8% per hari. Jika disebulankan, itu sama dengan 24% per bulan. Jika disetahunkan, atau 365 hari, menjadi 292% per tahun. Ini jelas sangat tinggi, tetapi tetap diterima masyarakat karena fintech memberikan solusi arus kas jangka pendek untuk mereka.
Dengan bunga setinggi langit, tampaknya bisnis fintech lending pun baik-baik saja. Hal ini tercermin dari tingkat keberhasilan bayar dalam 90 hari (TKB90) yang mencapai 95,22% per akhir 2020. Atau dengan kata lain, “nonperforming loan” fintech hanya 4,78%. Pada saat yang sama, NPL BPR mencapai 7,22%.
BPR di Masa Pandemi
Kondisi pandemi jelas menjadi tantangan serius bagi industri perbankan secara umum, tidak terkecuali BPR. Covid-19, terutama karena pembatasan sosial sebagai konsekuensinya, menekan daya beli masyarakat dan perkembangan bisnis UMKM serta korporasi besar.
Alhasil, sudah tentu bisnis perbankan yang terkait langsung dengan kemampuan bayar para debiturnya akan ikut terdampak. Meskipun demikian, BPR tampaknya lebih berdaya tahan ketimbang bank umum. Kinerja pertumbuhan kredit BPR masih positif, di saat bank umum sudah negatif sejak paruh kedua 2020.
Berikut ini perkembangan kinerja kredit, DPK, dan NPL kalangan BPR hingga awal tahun ini (pertumbuhan yoy):
Dari data tersebut, terlihat bahwa kinerja kredit BPR masih tumbuh pada 2020 lalu, meskipun tingkat pertumbuhannya jauh berkurang dibandingkan dengan 2 tahun sebelumnya. Namun, perlu diingat, penurunan ini juga erat terkait dengan berkurangnya jumlah BPR yang beroperasi.
Pada kuartal pertama tahun ini, terlihat bahwa kinerja kredit mereka cenderung terus melemah, meski masih di teritori pertumbuhan positif. Sementara itu, kondisi DPK justru cenderung meningkat.
Hal yang patut diwaspadai adalah, tingkat NPL BPR sangat tinggi, menembus 7% sejak tahun lalu. Sebagai pembanding, tingkat NPL kalangan bank umum masih di kisaran 3%.
Tingkat NPL yang tinggi tampaknya memang menjadi karakter BPR, sebab risiko di bisnis ini memang sangat tinggi. Lagi pula, meski BPR tetap memperhatikan dan berpegang pada asas kehati-hatian, tetap saja secara umum karakter nasabah BPR cenderung lebih berisiko ketimbang nasabah bank umum.
Selain itu, tantangan persaingan dengan fintech masih berlanjut tahun ini. Pertumbuhan fintech bahkan makin pesat tahun ini, sehingga makin menggerus pangsa pasar BPR. Ini kondisi serius yang bakal dihadapi oleh hampir semua BPR pada tahun-tahun mendatang.
Jika tidak menemukan model bisnis yang lebih baik, atau beradaptasi dengan keadaan yang ada, kemungkinan besar akan makin banyak BPR yang kalah bersaing. Sebab, saat ini adalah eranya digital. Bahkan bank umum pun kini berlomba-lomba memperkuat infrastruktur digitalnya.
Kelemahan mendasar BPR adalah modalnya yang sangat terbatas. Tidak mudah bagi BPR untuk begitu saja menggelontorkan modalnya untuk berinvestasi di teknologi digital, sebab itu akan memecah sumber daya yang terbatas yang dimiliki BPR. Kondisinya bakal makin rentan.
Selain itu, kondisi pandemi juga menyebabkan laju pertumbuhan laba BPR menurun, sehingga peningkatan modalnya pun terbatas. Berdasarkan data OJK, laba bersih BPR per Maret 2021 mencapai Rp732 miliar, turun 14,2% yoy dari Rp853 miliar pada Maret 2020.
Adapun, sepanjang 2020, laba bersih BPR mencapai Rp2,9 triliun, juga turun 16,1% yoy dari Rp3,46 triliun pada 2019. Namun, sekali lagi, penurunan ini juga dipengaruhi oleh turunnya jumlah BPR yang beroperasi.
Masih Ada Harapan untuk BPR?
Penurunan tajam jumlah BPR tentu menjadi sinyal yang perlu diperhatikan, walaupun sebenarnya penurunan tersebut lebih banyak karena konsolidasi ketimbang kebangkrutan. LPS melaporkan bahwa sepanjang 2020 hanya delapan BPR yang dilikuidasi, sedangkan pada 2019 mencapai sembilan BPR.
Selebihnya, BPR melakukan merger atau mengganti haluan bisnisnya. Meskipun demikian, masih adanya BPR yang dilikuidasi menunjukkan bahwa bisnis BPR sangat rentan dan berisiko tinggi. Mengingat BPR mengelola dana masyarakat, tentu kegagalan bisnis mestinya tidak dapat ditoleransi.
Saat ini, pemerintah cenderung mendorong BPR untuk berkonsolidasi agar kapasitas bisnisnya meningkat. Jumlah BPR hingga ribuan sebenarnya tidak begitu ideal dan menjadikan peta persaingannya menjadi sangat berat. Namun, tampaknya seiring waktu, jumlah itu akan menyusut secara alami.
Kinerja BPR yang masih positif di tengah tekanan berat pandemi tentu menunjukkan bahwa secara industri, BPR masih cukup kuat. Dengan kondisi itu, tampaknya BPR juga masih akan memiliki nafas yang cukup panjang untuk dapat tetap bertahan di peta persaingan perbankan Indonesia.
Namun, industri BPR tampaknya juga masuk dalam kelompok industri yang sedang terbenam, terutama setelah munculnya fintech yang menawarkan solusi keuangan yang lebih mudah dengan tingkat penetrasi yang lebih dalam di masyarakat.
Apalagi, saat ini makin banyak masyarakat yang tertarik menjadi pemberi pinjaman di fintech lending ketimbang mendepositokan dananya, sebab bunga yang didapatkan sangat tinggi, meski risikonya juga besar. Tren saat ini pun cenderung lebih mendukung segala hal yang bersifat digital, ketimbang yang konvensional
Date: