Kenaikan Harga Batu Bara dan Senyum Manis Emiten Pelayaran

Date:

Kenaikan permintaan dan harga batu bara tahun ini tidak saja menguntungkan bagi emiten-emiten penambang batu bara, tetapi juga bagi emiten pelayaran yang mengangkut komoditas tersebut. Peningkatan pengangkutan ke China telah menambah pundi-pundi keuntungan mereka.

Namun, cerita yang sama terkait tantangan besar industri pertambangan batu bara di masa mendatang di tengah isu pemanasan global juga menjadi tantangan emiten-emiten pelayaran ini. Bagaimanapun, batu bara adalah salah satu komoditas utama ekspor Indonesia dan menjadi pusat bisnis mereka.

Di tengah tantangan ini, emiten-emiten pelayaran ini pun mulai memikirkan langkah diversifikasi bisnisnya. Sebab, cepat atau lambat batu bara akan ditinggalkan sebagai sumber energi dan digantikan oleh sumber yang lebih berkelanjutan.

Dengan demikian, kabar baik kenaikan harga batu bara yang kini bahkan menyentuh rekor tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir tetap saja tidak dapat disambut dengan senyum yang lebar. Meskipun demikian, kesempatan bisnis tahun ini tentu pantang juga untuk dibiarkan begitu saja.

Secara umum, kinerja emiten pelayaran pengangkut komoditas berhasil tumbuh cukup baik pada paruh pertama tahun ini. Permintaan sewa terhadap kapal-kapal mereka telah meningkatkan pendapatan dan laba pada paruh pertama tahun ini.

Sebagai gambaran, berikut ini rincian kinerja keuangan empat emiten pelayaran pengangkut komoditas yang telah merilis kinerja keuangan mereka untuk paruh pertama tahun ini:

Dari data tersebut, terlihat bahwa keempat emiten kompak membukukan kenaikan kinerja yang signifikan. Pelemahan pendapatan memang masih dialami oleh WINS, tetapi perusahaan ini pun berhasil menekan tingkat kerugiannya sehingga berkurang 85% year-on-year (YoY).

Umumnya, emiten-emiten ini tidak saja menyediakan jasa angkutan batu bara, tetapi juga komoditas lainnya. Namun, mengingat bahwa volume pengangkutan batu bara umumnya cukup tinggi, fluktuasi harga serta isu yang berkembang seputar komoditas ini menjadi yang paling sensitif bagi mereka.

Permintaan dan harga batu bara yang tinggi menyebabkan penambang batu bara dalam negeri menaikkan kuantitas pertambangan mereka. Lagi pula, pemerintah juga telah menaikkan target produksi batu bara tahun ini khususnya untuk ekspor sebanyak 75 juta ton.

Dengan demikian, target produksi batu bara domestik tahun ini naik dari semula 550 juta ton menjadi 625 juta ton. Keputusan tersebut telah berlaku sejak April 2021 sehingga telah berdampak pada kenaikan volume pengangkutan pada kuartal II/2021.

Tambangan kuota tersebut juga sepenuhnya untuk ekspor, sedangkan target kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) tidak berubah, tetap 137,5 juta ton. Pengangkutan ekspor umumnya memberikan margin keuntungan relatif lebih besar bagi emiten-emiten ini ketimbang pengangkutan dalam negeri.

Seiring dengan naiknya aktivitas produksi, tingkat utilitas armada emiten-emiten ini pun membaik, sehingga operasional bisnis menjadi lebih efisien. Adapun, beberapa komponen beban emiten pelayaran umumnya bersifat tetap, antara lain depresiasi kapal. Beban ini tidak ikut meningkat di saat pendapatan meningkat.

Alhasil, pada laporan kinerja mereka terlihat bahwa meskipun tingkat pertumbuhan pendapatan kurang dari 30% YoY, laba bersih mereka dapat melonjak ratusan persen.

Adapun, rekor harga batu bara global mulai terjadi pada Juli – Agustus 2021. Namun, sebelumnya pun harga batu bara sudah meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan harga tahun lalu. Artinya, dengan harga yang tinggi ini kemungkinan bakal memacu penambang untuk lebih banyak lagi berproduksi untuk kontrak di masa mendatang.

Hal ini membuka peluang bagi tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi pada sisa tahun ini bagi emiten-emiten pelayaran ini. Ditambah lagi dengan adanya tekanan bisnis pada 2020 lalu yang menyebabkan adanya low base effect, tingkat pertumbuhan kinerja mereka akhir tahun ini kemungkinan bakal terlihat sangat tinggi.

 

Tantangan Isu Perubahan Iklim

Saat ini, perusahaan-perusahaan batu bara mulai bersiap mengantisipasi tren penurunan permintaan batu bara global di masa mendatang, seiring dengan komitmen banyak negara terhadap Paris Agreement untuk mencapai netralitas karbon pada 2050.

China sebagai negara konsumen batu bara terbesar dunia saat ini pun telah menyatakan komitmennya untuk memenuhi target netralitas karbon pada 2060. Itu artinya, tinggal sedikit waktu tersisa bagi industri pertambangan batu bara untuk dapat menikmati masa kejayaannya.

Tahun 2050 atau 2060 mungkin terkesan masih lama, tetapi pada kenyataannya pengurangan terhadap konsumsi batu bara akan segera dimulai dalam waktu yang tidak begitu lama. Beberapa negara memperkirakan emisi karbon puncaknya akan terjadi pada 2030 dan setelahnya akan mulai menekannya.

Pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan pun kini kian masif. Sumber-sumber energi listrik baru seperti ombak/tidal, biomassa, etanol/ etil alkohol, hidrogen, piezoelektrik atau energi mekanik, dan biodiesel pun kini mulai banyak dikembangkan.

Tampaknya tidak akan begitu lama lagi hingga perkembangan teknologi menemukan cara memproduksi listrik yang sama ekonomisnya seperti penggunaan batu bara, tetapi dengan tingkat emisi karbon yang jauh lebih rendah.

Artinya, di masa mendatang konsumsi batu bara bukannya terus meningkat, justru makin berkurang. Dengan demikian, sulit bagi emiten-emiten pengangkut komoditas untuk berharap kinerja masa depan mereka akan makin cerah. Justru, ada ancaman besar di depan sana.

 

Diversifikasi atau Gulung Tikar

Emiten-emiten batu bara kini mulai mempersiapkan langkah diversifikasi bisnis. Bagi emiten-emiten pelayaran pengangkut komoditas, langkah serupa pun tampaknya tidak terhindarkan.

Meskipun demikian, pada kenyataannya, emiten-emiten pelayaran ini tidak saja mengakut batu bara, tetapi juga komoditas lain. Artinya, diversifikasi sudah terjadi, tetapi di masa mendatang langkah ini harus dilakukan lebih agresif, terutama bagi emiten-emiten yang lebih fokus pada pengangkutan batu bara.

PSSI, misalnya, kini mulai serius mendiversifikasikan komoditas yang diangkutnya di luar batu bara, seperti bauksit dan nikel. Langkah ini telah mulai ditempuh sejak 2019. Tahun ini, perseroan menargetkan 30% pendapatannya berasal dari sektor non-batu bara.

Perusahaan ini pun berencana untuk terus meningkatkan kontribusi sektor non-batu bara dalam pengangkutannya di masa mendatang. PSSI bahkan mengklaim bahwa langkah diversifikasi ini menjadi salah satu penopang bagi pertumbuhan bisnisnya pada paruh pertama tahun ini.

Emiten lain seperti SMDR juga sudah lama mendiversifikasikan bisnisnya. Setidaknya ada lima usaha yang dijalankan perusahaan, yakni Samudera Shipping, Samudera Logistics, Samudera Ports, Samudera Property, dan Samudera Services. Meski begitu, shipping masih menjadi kontributor terbesar pendapatan SMDR, lebih dari 50%.

Langkah yang sama juga ditempuh MBSS. Sebagai catatan, emiten ini semula dimiliki oleh perusahaan tambang batu bara PT Indika Energy Tbk. (INDY). Namun, INDY kini sedang berproses untuk melepas kepemilikannya pada MBSS. Target divestasi diperkirakan akan selesai pada Oktober mendatang.

Alasannya, INDY ingin fokus mengembangkan bisnisnya di luar bisnis tambang batu bara. Perseroa menargetkan minimum 50% pendapatannya dapat berasal dari sektor non-batu bara pada 2025. Jadi, perseroan perlu mengurangi bisnisnya yang tereksposur pada batu bara.

Namun, terlepas dari itu, MBSS sendiri juga menyadari bahwa perusahaan tidak dapat selamanya bergantung pada batu bara. Beberapa tahun terakhir, perseroan telah mengumumkan rencana untuk mengembangkan sayapnya di luar pengangkutan batu bara, misalnya komoditas minyak dan gas.

Hanya saja, sejauh ini belum ada kabar terbaru terkait berlanjutnya rencana tersebut. Perseroan tampaknya masih mengkaji langkah tersebut.

Meski begitu, dalam salah satu wawancara dengan Majalah SWA pada 2015 lalu, manajemen MBSS juga menyinggung langkah diversifikasi pada pengangkutan bahan penunjang pembangunan infrastruktur. Perusahaan juga mengembangkan diversifikasi dari sisi area operasi sejak 2012.

Jika semula operasional perseroan hanya fokus pada pelabuhan di Kalimantan atau Sumatera menuju Jawa atau Sulawesi, kini perseroan telah mengangkut ke rute negara-negara Asia Tenggara.

Manajemen MBSS tampaknya sepenuhnya sadar bahwa ketergantungan pada hanya satu core industry akan sangat berisiko. Jika industri tunggal itu mengalami krisis atau bahkan runtuh, dampaknya akan sangat besar bagi perusahaan tersebut.

Apalagi, jika satu-satunya industri yang digeluti itu adalah batu bara, yang jelas tantangan keberlanjutannya sangat besar.

Selain itu, fluktuasi harga batu bara pun sangat tinggi. Dalam satu dekade terakhir, harga batu bara acuan (HBA) dalam negeri telah bergerak dari puncaknya di level US$127,05 per ton pada Februari 2011 ke level terendah US$50,92 per ton pada Februari 2016.

Dari situ HBA lalu naik lagi hingga ke level US$107,83 per ton pada Agustus 2018. Setelah itu, HBA turun lagi hingga ke level terendahnya tahun lalu, yakni di level US$49,42 per ton pada September 2020. Kini, HBA sudah melesat lagi dan mencapai rekor baru di level US$130,99 per ton pada Agustus 2021.

Fluktuasi harga yang tinggi seperti ini menjadikan sulit untuk menjaga stabilitas kinerja bisnis yang berpusat pada batu bara. Ditambah lagi dengan adanya tantangan perubahan iklim dan Persetujuan Paris, tampaknya langkah diversifikasi bisnis adalah suatu keharusan bagi semua emiten yang kini masih berpusat pada komoditas ini.