Kasus COD Belanja Online: Pembeli Bukanlah Raja
The Viral Videos
Rentetan kasus sengketa antara konsumen dengan kurir/penjual/penyedia jasa online marketplace yang terjadi dalam waktu dekat belakangan ini membuat saya mengernyitkan dahi dan garuk-garuk kepala. Dalam beberapa cuplikan video yang viral, kita menemukan kurir yang membawa barang dagangan langsung kepada pembeli yang memesan barang via platform e-commerce menggunakan skema COD (Cash on Delivery), mengalami kekerasan verbal, dan bahkan ada yang diancam menggunakan senjata tajam oleh pembeli, karena pembeli merasa barang yang diantarkan tidak sesuai.
Besar kemungkinan para pembeli ini belum pernah mendengar frasa don’t shoot the messenger sebelumnya.
Bahkan beberapa menit sebelum menulis artikel ini, saya juga menyaksikan video tentang calon penumpang sebuah maskapai penerbagan yang terlambat boarding dan marah-marah kepada petugas karena ketinggalan pesawat. Dan bukan barang baru juga dalam keseharian kita ketika kita melihat konsumen marah-marah kepada pemberi jasa dengan cara yang kasar.
Terima kasih kepada teknologi dan sosial media yang memungkinkan peristiwa-peristiwa ini terdokumentasi dengan jelas dan mengaduk-aduk emosi netizen (saya tengarai dalam waktu dekat akan ada production house yang mengangkat cerita kurir dan menyulapnya menjadi sebuah reality show).
Reaksi kita sama, kesal dan marah terhadap ulah konsumen.
Namun video-video ini hanyalah tip of the iceberg. Berapa banyak yang tidak terekam? Apa yang salah sehingga peristiwa ini terus berulang?
Pembeli Adalah Raja
Saya mencoba menggali referensi awal mengenai istilah pembeli adalah raja untuk mencari tahu siapa pencipta jargon legendaris ini, namun gagal untuk menemukannya. Jargon yang tertanam sejak lama ini sedikit banyak bisa jadi membentuk pola pikir dan perilaku kita dalam bertransaksi sebagai konsumen. Inginnya selalu dilayani dan mendapatkan pelayanan dengan kualitas terbaik.
Besar dugaan saya bahwa ini adalah sebuah pengejawantahan dari teori customer-centric marketing. Dalam menjalankan sebuah usaha, konsumen menjadi salah satu poin penting dalam menentukan arah bisnis, disamping kompetitor, pemegang saham, regulator dan pekerja.
Customer-centric marketing mencoba memahami apa kebutuhan dan minat pembeli, dan mengaplikasikannya ke dalam the whole product and service experience. Ujungnya adalah memberikan end to end customer experience yang baik, dari mulai memesan, sampai after sales service.
Customer-centric marketing menempatkan konsumen di posisi utama dalam membangun sebuah produk dan layanan, untuk diprioritaskan layaknya seorang raja.
Mari kita tengok kembali kasus COD yang terjadi belakangan (termasuk yang nyaris berujung maut). Platform online marketplace di Indonesia berusaha untuk mengadopsi skema pembayaran yang dilakukan ketika barang sampai di tujuan, sebagai komplemen terhadap pembayaran digital atau prepaid.
Maksudnya baik, kenapa demikian? Dari data yang dirilis Google, Temasek and Bain & Company, ada 47 juta masyarakat Indonesia yang underbanked dan 92 juta yang unbanked. Artinya, kecil kemungkinan bagi segmen tersebut untuk bertransaksi digital di online marketplace. That’s a huge market to tap in. Dengan COD, maka segmen ini bisa ikut berpartisipasi dalam ekonomi digital, yang berdampak:
- Naiknya volume transaksi bagi penyelenggara online marketplace platform. Volume dan nilai transaksi adalah metrik-metrik penting bagi mereka.
- Terkoneksinya pelanggan dengan UMKM tanpa kendala geografis, yang memungkinan UMKM maju dengan lebih cepat.
- Membuka lapangan baru untuk logistik dan supply chain sebagai infrastruktur penting dari sebuah value chain.
- Roda ekonomi nasional berputar dan Indonesia siap menjadi 5 besar ekonomi global di tahun 2030 dengan mobil terbang dan AI yang siap mengantar jemput anak kita sekolah
Okay, the last one is a bit anecdotal, but you get my point.
Intinya, COD lahir dari upaya untuk mengerti kebutuhan dan kemauan konsumen. It’s good in theory, but what goes wrong?
Understand The Mechanics
Terlepas dari menjadi raja atau bukan, kita perlu memahami peran penting kita sebagai konsumen dalam ekonomi, yaitu membayar barang dan jasa yang ditawarkan. Berkat teknologi, kita tidak pernah sedekat ini dengan penjual dan penyedia jasa. Tapi mari kita zoom in lagi para seller dan kurir dan bergeser ke aktivitas mereka di luar berdagang atau bekerja. Ya, mereka adalah konsumen juga yang membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Konsumen adalah bagian dari lingkaran ekonomi yang jika patah, maka lingkaran tersebut tidak akan tertutup sempurna. Tidak terhitung berapa banyak uang yang sudah diinvestasikan oleh pelaku usaha dalam riset-riset yang berbasis pada konsumen, berapa yang sudah dikeluarkan untuk menciptakan infrastruktur customer service yang menjawab semua keluhan, belum lagi adanya undang-undang perlindungan konsumen dan YLKI.
Semua itu dilakukan untuk menciptakan end to end experience yang baik dan juga melindungi hak-hak konsumen.
Saya tidak bilang bahwa konsumen sudah 100% terlindungi dan bahwa seluruh pelaku usaha sudah menjalankan layanan customer service mereka dengan baik dan adil. Seringkali kita mengeluh mengenai layanan yang buruk dan tidak digubris. Seringkali kita menerima imbas dari tidak terproteksinya data pribadi kita dengan baik, atau mengalami kerugian uang karena fraud dari penyedia layanan.
Namun risiko ini akan selalu ada dan sebagai konsumen, kita harus pandai dalam menempuh jalan selanjutnya untuk menyelesaikan masalah.
Kasus COD di atas adalah salah satu contoh di mana konsumen tidak memahami skema transaksi dengan sehingga menyampaikan kecaman keras terhadap pihak yang tidak tepat, dalam hal ini, kurir. Kasus maskapai penerbangan juga menjadi contoh bahwa konsumen harusnya membaca ketentuan bahwa seharusnya sudah siap di bandara ketika waktu boarding dan bukan waktu take off.
Dengan memahami skema dalam tiap transaksi, maka pembeli bisa tahu di awal apa risiko dari transaksi dan bagaimana mengajukan keluhan jika merasa dirugikan, supaya keluhan kita efektif dan diterima dengan bagian yang tepat. Marah-marah kepada kurir karena barang tidak sesuai adalah ibarat marah-marah ke divisi accounting karena internet di kantor mati. Salah sasaran. Term and condition pasti ada di setiap layanan, tapi seringkali seperti huruf D dalam sandwich, tidak pernah kita baca.
Cermat sebelum bertransaksi menjadi sangat penting dalam memproteksi kita sebagai konsumen. Seringkali juga kita melihat konsumen marah-marah karena merasa membeli iPhone dengan harga Rp200.000, tapi yang diterima adalah casing iPhone, semua ini karena konsumen tidak membaca deskripsi produk dengan benar.
Review seller juga punya peranan penting, pilihlah penjual yang valid, yang memiliki review baik dan juga waktu respon yang cepat. Jangan tergoda seller yang shady hanya karena harga produknya sangat murah. Semua ini hanya bisa dilakukan jika kita sebagai konsumen sadar bahwa kita juga harus memproteksi diri kita sendiri.
Intinya, pahami skema transaksi dan proteksi diri anda sebisa mungkin.
Be a good customer
Lalu bagaimana menyelesaikan masalah ini? Kita bisa saling lempar tanggung jawab dengan berargumen:
“Ini harusnya tanggung jawab pelaku usaha untuk mengedukasi konsumen”
“Ini harusnya tanggung jawab pemerintah untuk menekan pelaku usaha untuk lebih mau mengedukasi konsumen”
Ini masih menjadi PR yang panjang tapi seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa menjadi konsumen adalah bagian dari roda ekonomi, yang punya peran yang sama penting dengan produsen, penjual, dan pelaku usaha lainnya. Semoga kejadian video viral tadi tidak berulang lagi. As entertaining as it is, it’s not a good practice and has a bad impact on the whole ecosystem.
Be a good customer, and more importantly, be a good person.
Date: