Kabar Buruk dari Negeri Panda
Dalam paparan publik Badan Pusat Statistik (BPS) terkait capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pekan lalu, turut disinggung tentang pencapaian ekonomi beberapa mitra dagang Indonesia yang telah merilis kinerja ekonominya lebih dahulu. Salah satunya yakni Cina.
Pada prinsipnya, sebagai bagian dari komunitas ekonomi global, kinerja perekonomian Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ekonomi mitra dagangnya. Oleh karena itu, perkembangan ekonomi mitra dagang punya peranan penting.
Sederhananya, jika perkembangan ekonomi di negara mitra dagang membaik, ekonomi Indonesia juga bakal kecipratan, begitu juga sebaliknya.
Cina sendiri adalah satu satu mitra dagang terbesar Indonesia. Menariknya, BPS mencatat perekonomian Cina pada kuartal kedua tahun ini tercatat hanya tumbuh 7,9% year-on-year (YoY). Sebenarnya, ini masih tergolong tingkat pertumbuhan yang tinggi.
Namun, mengingat bahwa pada kuartal sebelumnya ekonomi Cina tumbuh hingga 18,3% YoY, realisasi sebesar 7,9% YoY pada kuartal kedua menjadi sinyal adanya perlambatan ekonomi yang cukup dalam. Kondisi ini berpotensi mengganggu prospek ekonomi Indonesia pada kuartal selanjutnya.
Sebenarnya, tingginya pertumbuhan ekonomi Cina pada kuartal I/2021 tidak terlepas dari faktor low base effect akibat penurunan kinerja ekonomi pada kuartal yang sama tahun lalu, yakni -6,8% YoY. Sementara itu, efek yang sama sudah tidak ada lagi pada kuartal II/2021.
Jadi, dari sudut pandang itu, wajar jika ekonomi kuartal kedua Cina tahun ini terlihat melambat. Namun, tampaknya beberapa ekonom dan lembaga keuangan global tidak mengira jika perlambatannya akan sedrastis itu, mengingat capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 sebagai basisnya sebenarnya tidak begitu tinggi juga.
Berikut ini perkembangan ekonomi Cina setiap kuartal dalam beberapa tahun terakhir:
source: tradingeconomics.com
Cina adalah negara pertama yang mengalami kontraksi akibat dampak pandemi Covid 19, menimbang virus tersebut pertama kali muncul di negara itu. Namun, pandemi tampaknya tidak sampai menjerumuskan Cina ke jurang resesi, sebab koreksi ekonominya hanya terjadi satu kuartal.
Di saat banyak negara lain baru mulai mengalami penurunan ekonomi pada kuartal II/2020, Cina justru bangkit dan terus menunjukan perbaikan. Angka konfirmasi kasus baru di Cina pun tampaknya tidak banyak berubah atau cenderung stagnan, meski banyak yang meragukan.
Namun, kenyataannya strategi politik dan ekonomi Cina mampu menghantar negara itu bertahan dengan cukup baik selama periode berat pandemi.
Kini, ketika ekonomi negara itu justru berbalik melambat, komunitas ekonomi global pun mulai was-was. Bagaimanapun, Cina memainkan peran penting dalam perekonomian global sehingga kontraksi ekonomi di sana bakal berdampak luas bagi ekonomi global.
Jika ekonomi Cina melambat, negara-negara lain yang kini sedang berjuang untuk memulihkan ekonominya selepas pandami akan kesulitan mendapatkan momentum. Perlambatan ekonomi Cina kemungkinan akan berdampak pada turunnya harga komoditas dan menekan kinerja ekspor Indonesia.
Sinyal Kuat Perlambatan Cina
Juli 2021 lalu, People's Bank of Cina (PBOC) memangkas reserve requirement ratio atau jumlah uang tunai yang harus dimiliki oleh sebagian besar bank sebagai cadangan sebesar 50 bps. Ini serupa dengan instrumen giro wajib minimum (GWM) Bank Indonesia.
Artinya, PBOC mendorong bank lebih banyak menyalurkan kredit ketimbang menyimpan likuiditasnya sebagai cadangan. Ini jelas adanya sinyal bahwa otoritas Cina telah melihat adanya potensi perlambatan ekonomi berkepanjangan, sehingga perlu segera dicegah.
Langkah tersebut diperkirakan bakal menambah uang beredar di masyarakat hingga 1 triliun yuan atau US$154 miliar secara jangka panjang. Langkah ini tidak lain adalah respons bank sentral Cina untuk mendorong lagi perekonomian Cina yang dikhawatirkan akan berbalik ke jalur perlambatan.
Dalam perkembangan lain, varian delta Covid-19 juga telah terkonfirmasi mulai menyebar ke Cina dan berpotensi menjadi tekanan baru bagi ekonomi Cina. Infeksi yang dipicu varian delta ini pun sudah menyebar ke 15 dari 32 provinsi Cina, termasuk Wuhan dan Beijing, pada awal bulan ini.
Fakta ini menambah kekhawatiran terhadap potensi perlambatan ekonomi Cina sebab mulai memicu lockdown di beberapa wilayah. Aktivitas industri pun menjadi tersendat.
source: tradingeconomics.com
Sinyal perlambatan ekonomi sudah terlihat dari data inflasi Cina yang mulai turun kembali. Setelah menyentuh level 1,3% pada Mei 2021, inflasi turun menjadi 1,1% pada Juni dan 1,0% pada Juli 2021.
Penurunan inflasi pada Juli 2021 memberikan sinyal bahwa ekonomi kuartal III/2021 Cina kemungkinan akan melambat lagi. Pemulihan ke jalur peningkatan akan tergantung pada efektivitas kebijakan penurunan GWM bank sentral Cina.
Data lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah indeks PMI Manufaktur Cina per Juli 2021 yang turun ke level 50,3 dari sebelumnya 51,3 pada Juni 2021. Ini adalah level PMI terendah setahun terakhir, tepatnya sejak April 2020.
Ekspor Cina hanya tumbuh 19,3% YoY menjadi US$282,7 miliar pada Juli 2021, lebih rendah dari estimasi pasar sebesar 20,8% YoY, dan lambat dibandingkan dengan capaian pertumbuhan pada Juni 2021 yang sebesar 32,2% YoY.
Impor Cina juga melambat menjadi 28,1% YoY per Juli 2021 menjadi US$226,1 miliar, di bahwa estimasi pasar yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 33% YoY, serta lebih rendah dibandingkan dengan capaian Juni 2021 yang tumbuh 32,2% YoY.
Tekanan ekonomi di bulan Juli 2021 ini tidak terlepas dari faktor cuaca yang menyebabkan rekor banjir di Cina tengah dan menghambat aktivitas bisnis. Tambahan pula, pemerintah Cina berupaya mengekang produksi baja dalam rangka mengurangi tingkat emisi karbon.
Efek bagi Indonesia?
Perlambatan ekonomi Cina jelas bukanlah kabar yang menggembirakan bagi Indonesia, mengingat capaian tinggi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2021 lalu tidak terlepas dari faktor ekspor. Sementara itu, Cina adalah mitra dagang utama Indonesia.
Sepanjang paruh pertama tahun ini, nilai total perdagangan antara Indonesia dan Cina mencapai US$48,1 miliar, melonjak 49,67% YoY. Dari nilai tersebut, ekspor tumbuh lebih tinggi yakni 62,86% YoY menjadi US$22,44 miliar, sedangkan impor hanya tumbuh 39,77% YoY menjadi US$25,66 miliar.
Meskipun demikian, neraca perdagangan antara Indonesia dan Cina masih mencatatkan defisit sebesar US$3,2 miliar.
Selama periode 2016-2020, nilai perdagangan antara Indonesia dan Cina rata-rata tumbuh 10,8% per tahun, dengan ekspor tumbuh rata-rata 15,81% dan impor 7,60%. Neraca perdagangan Indonesia masih selalu defisit terhadap Cina.
Defisit terutama terjadi pada komoditas nonmigas, sedangkan komoditas migas masih terpantau surplus dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor komoditas barang Indonesia mengalami peningkatan 55,89% YoY menadi US$53,97 miliar, terutama pada komoditas pertanian, industri pengolahan, dan pertambangan. Sementara itu, impor meningkat 50,21% YoY menjadi US$47,67 miliar, terutama pada komponen barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal.
Lonjakan signifikan pada kinerja ekspor impor ini menjadi faktor penopang penting di balik capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7,07% pada kuartal II/2021. Cina menjadi kontributor terbesar di balik kinerja dagang tersebut, sebab mencakup separuh dari total nilai perdagangan global Indonesia.
Dengan kondisi ekonomi Cina yang terancam melambat, kinerja dagang Indonesia pun berpotensi turut tertekan. Ditambah lagi dengan adanya pemburukan kinerja konsumsi dalam negeri akibat pembatasan mobilitas, Indonesia berpotensi kehilangan momentum pemulihan ekonominya pada paruh kedua tahun ini.
Oleh karena itu, kinerja ekonomi domestik bakal sangat bergantung pada efektivitas belanja negara. Sayangnya, hal ini juga bukannya tanpa tantangan, sebab pemerintah masih bergulat dengan lambatnya proses penyaluran bansos di daerah.
Kabar yang tidak menggembirakan seperti ini tentu saja mengganggu. Setidaknya, hal ini menuntut kita lebih panjang sabar dalam menanti proses pemulihan ekonomi yang bakal berlangsung sangat lambat
Date: