Apa yang Harus Dilakukan Kala Ekonomi Lesu?
Dengan nada yang tidak menggembirakan, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyatakan ekonomi global saat ini dalam kondisi resesi karena wabah virus corona.
Ekonom asal Bulgaria itu menyatakan kondisi ekonomi global pada 2020 ini sama buruknya ---bahkan bisa lebih buruk--- dibandingkan dengan krisis keuangan global pada 2008. Kendati demikian, situasi ini diharapkan tidak berlangsung lama.
Kristalina mengharapkan pemulihan bisa terjadi pada 2021. Untuk mencapai itu, menurut Kristalina, penting untuk memperkuat sistem kesehatan dimanapun itu.
“Dampak ekonomi sedang dan akan parah, tapi semakin cepat (penyebaran) virusnya berhenti maka semakin cepat dan semakin kuat pemulihan (ekonomi),” kata Kristalina yang juga menyatakan IMF siap membantu negara-negara berkembang dengan pinjaman.
Seperti diketahui, virus corona mengakibatkan krisis kesehatan dan kemanusiaan di seluruh benua. Virus yang penyebarannya dimulai di Wuhan, China pada Desember 2019 itu kini merembet ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Lebih dari satu juta orang terinfeksi dan puluhan ribu orang meninggal di seluruh dunia akibat virus yang mudah bertransmisi dari satu orang ke orang lain tersebut. Orang-orang kini lebih banyak beraktivitas seperti bekerja dan bersekolah dari rumah.
Krisis itu berdampak terhadap kondisi perekonomian di banyak negara. Hampir semua negara mengumumkan perubahan dalam prediksi pertumbuhan ekonomi 2020. Semua komponen pertumbuhan: ekspor, konsumsi, investasi, belanja pemerintah diperkirakan turun drastis.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula diprediksi mencapai 5% pada 2020 kemungkinan akan turun menjadi 2,3% atau bahkan minus 0,4%. Tentu saja, ini kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Pertanyaannya, apakah Indonesia sekarang berada di fase resesi? Apa itu sebenarnya resesi? Apa saja indikatornya? Dan apa yang harus dilakukan ketika resesi terjadi?
Makna Resesi
Dua peneliti dari Departemen Penelitian IMF, Stijn Claessens dan M. Ayhan Kose, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada definisi resmi mengenai resesi. Walau begitu, ada semacam general recognition bahwa resesi merujuk kepada sebuah periode penurunan aktivitas ekonomi.
"Periode yang sangat pendek," tulis Claessens dan Kose dalam artikel Recession: When Bad Times Prevail, "tidak dianggap sebagai resesi".
Menurutnya, banyak analis dan pengamat menyatakan bahwa penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam dua kuartal berturut-turut sebagai sebuah resesi. Namun, mereka mengakui bahwa penggunaan PDB sebagai satu-satunya indikator memiliki kekurangan.
Oleh karena itu, mereka menganggap diperlukannya sejumlah alat ukur aktivitas ekonomi lainnya untuk menentukan apakah sebuah negara sedang menderita resesi atau tidak.
Salah satu negara besar yang pernah menyatakan negaranya dalam keadaan resesi adalah Amerika Serikat (AS). AS memiliki lembaga bernama National Bureau of Economic Research (NBER) yang memantau kronologi dari awal sampai akhir pengalaman resesi negara tersebut.
NBER mendefinisikan resesi sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan di seluruh negara dalam beberapa bulan dan hal itu terlihat jelas dalam Produk Domestik Bruto (PDB), pemasukan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, produksi industri dan penjualan ritel.
Untuk kondisi di Indonesia, sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah atau lembaga kredibel lainnya yang menyatakan bahwa Indonesia menuju atau dalam keadaan resesi.
Kendati belum ada pernyataan resmi mengenai kondisi "resesi", penurunan aktivitas ekonomi sudah mulai tampak sejak Maret 2020 yang ditandai berbagai kondisi seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pemberhentian sementara. Kementerian Tenaga Kerja menyatakan 1,5 juta pekerja terkena "efek samping" wabah corona.
Tips Kala Ekonomi Lesu
Dalam kondisi yang tidak diharapkan tersebut, masyarakat menghadapi berbagai situasi. Bagi para pemilik usaha, omzet usahanya menurun atau bahkan hilang sama sekali. Bagi para pekerja, gaji dipotong atau bahkan diberhentikan dari pekerjaannya. Bagi para pengangguran, kesempatan mendapatkan kerja juga semakin mengecil.
Kondisi ekonomi yang sedang "payah" benar-benar memukul perekonomian. Suka atau tidak, kondisi itu harus dihadapi. Berikut ini sejumlah saran yang dapat diterapkan kala badai sedang menerpa perekonomian.
1. Menekan Pengeluaran
Dalam situasi ekonomi yang lesu, pendapatan seorang individu akan berkurang. Hal itu disebabkan karena penurunan terhadap permintaan barang atau jasa yang diproduksi oleh masyarakat, termasuk individu tersebut.
Situasi itu juga bisa dialami oleh pekerja di sebuah perusahaan. Ketika permintaan terhadap produk atau jasa yang dipasarkan oleh sebuah perusahaan menurun, pendapatan perusahaan tersebut ikut menurun. Situasi itu bisa mendorong perusahaan mengambil keputusan strategis.
Ada banyak keputusan yang dapat dilakukan perusahaan tersebut, mulai dari pemotongan gaji, tidak memberikan bonus sampai pemberhentian hubungan kerja. Dengan demikian, pendapatan individu tersebut menurun atau bahkan tidak lagi menerima pendapatan.
Dalam bahasa sederhananya: tidak mudah mendapatkan uang dalam situasi sulit. Ketika sisi pendapatan turun atau tidak bisa dikendalikan, mau tidak mau individu tersebut harus mengelola atau mengendalikan sisi pengeluarannya dalam tingkatan tertentu.
Misalnya, individu yang biasanya mengeluarkan uang Rp20.000 untuk satu kali makan siang di warung bisa mengendalikan sisi pengeluarannya dengan memasak nasi dan lauk sendiri dimana Rp40.000 bisa digunakan untuk empat kali makan.
Contoh lain, individu tersebut dapat mengelola konsumsi internetnya untuk menekan pengeluaran pulsa atau paket data. Misalnya, individu yang biasanya menghabiskan 30 gigabyte (GB) untuk paket internet bisa mengurangi hingga 20 GB.
Daftar contoh ini bisa diperpanjang sesuai kondisi dan situasi masing-masing. Setiap individu memiliki ruang “fiskal” yang berbeda-beda dalam mengendalikan sisi pengeluarannya.
2. Menahan Cash
Apabila bisa menekan pengeluaran, individu akan menghemat dan memiliki "uang tambahan" yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Uang cash itu dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan mendasar seperti makan atau sewa tempat tinggal atau bahkan tidak digunakan alias disimpan.
Dalam kondisi sulit, konsumsi sekunder atau tersier dapat ditunda, setidaknya sampai kondisi ekonomi membaik. Alokasi cash diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan mendasar dan jangka pendek.
Banyak orang menyebut istilah kas adalah raja (cash is the king) untuk menggambarkan betapa pentingnya uang cash dalam situasi yang tidak diharapkan seperti terjadinya bencana alam, krisis, resesi atau bahkan perang.
Dalam situasi ekonomi yang morat-marit, tidak sedikit individu yang menjual aset-aset keuangan seperti saham atau reksadana supaya nilainya tidak turun terus. Individu itu lebih memilih menempatkan uang tersebut di tabungan untuk keperluan darurat.
3. Tidak Menambah Utang Baru
Di samping itu, individu dianjurkan untuk tidak menambah utang baru, setidaknya sampai keadaan membaik. Utang itu dapat berupa utang konsumtif untuk membeli kendaraan bermotor atau barang lainnya.
Utang biasanya akan diikuti kewajiban untuk mengembalikan pokok dan bunga utang tersebut. Pembayaran kewajiban itu biasanya berasal dari pendapatan yang diperoleh seorang individu dari pekerjaannya.
Dalam situasi seperti mewabahnya virus corona seperti saat ini, keadaan ekonomi seringkali tidak bisa dipastikan. Perusahaan atau tempat usaha yang menjadi sumber pendapatan bagi seorang individu bisa saja gulung tikar atau tutup dalam keadaan seperti itu.
Tentu saja, tidak ada salahnya bagi seorang individu untuk berutang. Namun, keinginan itu bisa ditahan sampai keadaan menjadi lebih baik. Hal tersebut perlu dilakukan supaya individu itu memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kewajibannya.
Sekali lagi, setiap individu menghadapi kondisi yang berbeda-beda. Sebuah tips yang cocok untuk satu individu belum tentu cocok untuk individu yang lain. Namun, secara umum, hal yang dipastikan harus dapat dipenuhi dalam situasi paling buruk adalah kebutuhan dasar seperti pangan serta tempat tinggal.
Mulai 20 April 2020, Big Alpha akan menyelenggarakan berbagai seri Webinar. Klik di sini untuk informasi lebih lanjut.
Date: