Jejak Kontribusi Arifin Panigoro untuk Negeri

Date:

“Iya pak, saya ingin segera sembuh, berbuat sesuatu buat Bapak.” Kalimat itu diungkapkan oleh Arifin Panigoro kepada Presiden Joko Widodo melalui sambungan telefon beberapa hari sebelum dirinya meninggal dunia.

Pengusaha dan tokoh nasional kelahiran Bandung, 14 Maret 1945 itu menghembuskan nafas terakhir pada Minggu (27/2) pukul 02.29 waktu Minneapolis AS atau Senin (28/2) pukul 03.29 WIB di usia 76 tahun. Namun, bahkan hingga detik-detik terakhir hidupnya, dirinya belum kehilangan asa dan masih memberikan dukungan kepada Presiden Jokowi.

Berpulangnya pebisnis ulung yang dijuluki si Raja Minyak Indonesia ini menyisakan ruang kosong di hati banyak orang, terutama bagi keluarga besar Grup Medco dan mereka yang mengenalnya secara lebih dekat.

Arifin dikenal sebagai pendiri Grup Medco, salah satu grup konglomerasi bisnis energi paling sukses dan terkemuka di Tanah Air. Kepiawaiannya dalam berbisnis telah menghantarkan grup ini menjadi perusahaan terintegrasi, mulai dari eksplorasi dan produksi migas, jasa pengeboran, produksi metanol, LPG, dan pembangkit listrik.

Kontribusinya tidak hanya terbatas pada grup bisnis yang sukses dibesarkannya itu, tetapi juga meluas pada berbagai aspek lain kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak pelajaran berharga dan keteladanan yang diwariskan Arifin. 

Pria berdarah Gorontalo ini tutup usia dengan jabatan terakhir sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres. Dirinya merupakan satu dari antara sembilan oleh Wantimpres periode 2019-2024 yang dilantik Presiden Joko Widodo pada 13 Desember 2019 lalu.

Tentu bukan tanpa alasan Presiden Jokowi memilihnya sebagai anggota Wantimpres. Arifin memiliki pengalaman dan koneksi yang luas di dunia bisnis. Selain itu, dirinya juga merupakan salah satu politikus yang sudah sangat berpengalaman. Ini merupakan kombinasi yang tidak banyak dijumpai.

Setelah mendirikan dan membesarkan Medco, Arifin sudah memutuskan untuk tidak lagi terlibat aktif dalam menahkodai grup tersebut. Dirinya memilih untuk berada di balik layar dan menjadi penasihat grup sejak 1998.

Sejak itu, hidupnya lebih banyak dibaktikan untuk negeri. Arifin memilih terjun di dunia politik. Dirinya bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI pada periode 2000—2002 dan Ketua Fraksi PDIP di MPR pada 2002—2004. Dia juga pernah duduk sebagai Anggota DPR periode 2004—2009.

Sebagai anggota Wantimpres, Arifin menaruh banyak perhatian pada tingkat pengangguran di Indonesia, sesuatu yang sangat dekat dengan dunia kewirausahaan yang dia tekuni sejak lama. Dirinya memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap tingginya tingkat pengangguran di kalangan anak muda Indonesia.

Pada akhir 2021 lalu, Arifin sempat melaksanakan pertemuan terbatas dengan sejumlah pejabat di Kementerian Ketenagakerjaan membahas mengenai pemetaan aspirasi dan lapangan pekerjaan anak muda pengangguran di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut juga dibahas mengenai strategi yang dapat diupayakan untuk mengurangi pengangguran di kalangan muda Indonesia.

Kendati lama terjun di dunia politik, dunia kewirausahaan tidak pernah hilang dari hatinya. Sarjana Teknik Elektro dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini masih sering diundang sebagai pembicara dalam banyak forum yang terkait dengan tema kewirausahaan.

Pada Januari 2010, almamaternya memberikan gelar doktor kehormatan atau Honoris Causa (HC) atas perannya membangun kewirausahaan berbasis pengetahuan dan teknologi (technopreneurship). Tidak banyak tokoh nasional yang mendapatkan penghargaan ini dari ITB.

Daftar bakti Arifin untuk negeri ini tidak berhenti sampai di sana. Dirinya juga dikenal lewat perjuangannya untuk memperbaiki kualitas kesehatan publik di Indonesia, terutama penyakit tuberculosis (TB).

Sebagai Ketua TB Partnership, Arifin berhasil mendorong komitmen pemerintah untuk mempercepat eliminasi tuberkulosis di Indonesia dengan terbitnya regulasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Empat bulan sebelum meninggal, Arifin sempat menghadiri TB Summit 2021 dan berbicara di depan forum bertema Komitmen Multi Pihak dalam Eliminasi Tuberkulosis. Dirinya juga secara aktif meminta pemerintah untuk menaruh perhatian pada penderita TB di tengah pandemi Covid-19

Namun, salah satu sepak terjang Arifin yang tampaknya paling berkesan dan mencuri perhatian adalah keterlibatannya dalam reformasi sepak bola di Tanah Air.

Arifin bersama beberapa orang yang juga peduli dengan sepak bola Indonesia berusaha membuat Gerakan Reformasi Nasional pada 2010 untuk memperbaiki industri sepak bola di Tanah Air. Gerakan tersebut lalu menghasilkan buku putih Reformasi Sepak Bola Indonesia.

Buku tersebut pun diserahkan kepada Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, secara langsung pada malam final Piala Dunia 2010 di Cikeas. Setahun setelahnya, Arifin terlibat dalam pemegangan Kongres Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di Solo.

Kemenangan tersebut memberikan harapan terhadap perbaikan sepak bola di Indonesia. Arifin memberikan kontribusi yang besar dalam hal penghapusan anggaran belanja daerah untuk biaya klub profesional yang kala itu menuai pro dan kontra.

Melalui tangan dinginnya kemudian bergulir liga sepak bola baru di Indonesia, yakni Liga Premier Indonesia (LPI) pada 2011. LPI berdiri ketika PSSI sebagai federasi sepak bola nasional tengah dilanda konflik kepengurusan.

Kala itu, LPI memiliki misi untuk mendorong klub sepak bola agar dapat dikelola dengan lebih baik dan benar serta berkompetisi secara bersih dan jauh dari mafia. LPI pun menjadi contoh liga alternatif yang berjalan dengan lebih profesional dan mandiri.

Rencana yang dibangun Arifin tak berjalan mulus, kompetisi LPI berhenti sebelum genap satu musim berputar karena banyak alasan, termasuk adanya sanksi dari federasi sepak bola dunia, FIFA. Sanksi tersebut menjadikan Indonesia tidak dapat turut dalam berbagai ajang kompetisi internasional dan memutar liga secara optimal.

Kendati demikian, kecintaan Arifin terhadap sepak bola tak pernah padam. Di lingkungan Medco Group, dirinya bahkan sudah menginisiasi liga untuk anak-anak sejak 2006 dan berlangsung enam musim. Meski tak lagi bergulir, Arifin masih memimpikan dapat membangun sekolah sepak bola untuk anak-anak.

Sayangnya, impiannya itu belum sempat diwujudkannya, meskipun konsepnya sudah sempat dirancang. Sang legenda keburu tutup usia.

 Baca juga: Pertempuran Sengit di Palagan Perbankan Digital Indonesia

JEJAK MEDCO

Pengalaman panjang Arifin tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah Grup Medco yang menjadi monumen kesuksesannya. Grup usaha ini pun tentu mengalami duka yang mendalam karena kepergian sang pendiri.

Jiwa pebisnis Arifin sudah ada sejak ia masih muda. Sebelum memimpin Medco dan mendapatkan julukan sebagai Raja Minyak, dia merintis usahanya dari bisnis kecil-kecilan proyek instalasi listrik yang ditawarkan dari pintu ke pintu.

Berangkat dari bisnis itu, dia beralih ke bisnis pemasangan pipa minyak dan gas. Rupanya pengalaman ini kemudian meyakinkannya untuk mendirikan perusahaan sendiri bernama PT Meta Epsi Pribumi Drilling Company atau yang disingkat dengan Medco pada 9 Juni 1980. Sejak itulah sejarah Medco Group dimulai.

Langkah pertama dimulai ketika Arifin memberanikan diri untuk mengajukan kontrak rig minyak kepada Huffco. Meski ragu dengan Arifin dan khawatir Medco bakal bangkrut dalam waktu setahun, perusahaan tersebut akhirnya tetap menjadi pelanggan pertama yang memakai jasa rig Medco.

Pada 1981, sinyal awal kesuksesan Medco mulai terlihat, sebab perusahaan ini berhasil mendapatkan proyek pengeboran minyak dengan bantuan modal dari pemerintah. Saat itu, adik Arifin, yakni Hilmi Panigoro, mulai ikut bergabung dengan Medco. Hingga kini, Hilmi masih menjadi salah satu pemimpin grup ini.

Sejak itu, Medco terus memperluas lini usahanya. Perusahaan ini tidak lagi sebatas berbisnis dalam jasa pengeboran blok migas, tetapi makin agresif dengan mengakuisisi sejumlah kontrak blok migas dari perusahaan minyak asing.

Contohnya, perusahaan berhasil mengambil alih kontrak eksplorasi dan produksi Tesoro di Kalimantan Timur pada 1992. Jejak kesuksesan itu pun meningkatkan optimisme Arifin untuk membawa perusahaannya ke lantai bursa.

Pada 1994, PT Epsi Pribumi Drilling Company berubah nama menjadi PT Medco Energi Corporation dan melakukan penawaran umum perdana saham atau IPO di Bursa Efek Indonesia. Kala itu, perusahaan Arifin melepas saham di harga Rp 4.350 per lembar. Sejak itu, Medco makin aktif mengakuisisi.

Salah satu aksi yang paling tersohor yaitu ketika perseroan mengambil alih 100% saham PT Stanvac Indonesia dari Exxon Mobil Oil pada 1995. Sebab, untuk bisa mengambil alih kontrak tersebut, Medco harus bersaing dengan 30 perusahaan lain.

Dengan mengakuisisi Stanvac Indonesia, Medco bisa mengelola proyek migas di Pulau Sumatera seluas 19.283 km2 dengan 23 ladang minyak. Saat itu, produksi minyak Stanvac Indonesia mencapai 13.000 per barel per hari dan sekitar 40 juta standar kaki kubik gas bumi per hari.

Sepanjang sejarah perjalanan bisnis grup ini, aksi akuisisi besar kerap kali mewarnai tiap langkah perusahaan. Beberapa kisah sukses antara lain akuisisi 100% saham Novus Petroleum Ltd., yang merupakan perusahaan publik di sektor migas asal Australia.

Selain itu, Medco juga sukses mengakuisisi perusahaan tambang emas PT Newmont Nusa Tenggara pada awal November 2016, setelah sejak 18 bulan sebelumnya mengincar perusahaan tersebut. Medco merogoh kocek hingga US$2,6 miliar untuk akuisisi tersebut atau sekitar Rp33,8 triliun.

Tahun lalu, Medco masih agresif dan berhasil mengakuisisi aset ConocoPhillips di Indonesia. Akuisisi dilakukan dengan membeli seluruh saham yang diterbitkan ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd. (CIIHL) dari Phillips Internasional Investment Inc. Perusahaan ini bergerak di sektor migas.

CIHL memegang 100 persen saham di ConocoPhillips (Grisik) Ltd. atau CPGL dan 35 persen saham di Transasia Pipeline Company Pvt. Ltd. (Transasia). Adapun, CPGL merupakan operator dari Corridor PSC dengan kepemilikan 54 persen working interest.

Kini, segmentasi bisnis Medco Energy sudah cukup luas, mencakup eksplorasi dan produksi migas domestik dan internasional, LNG, pertambangan, hilirisasi migas, dan energi atau pembangkit listrik tenaga gas hingga panas bumi.

Per 30 September 2021 lalu, emiten dengan kode saham MEDC itu berhasil mencatatkan Ebitda sebesar US$508 juta atau naik 25 persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara itu, laba bersihnya mencapai US$56 juta, berbalik dari rugi US$180,5 juta pada periode sebelumnya.

Aset perusahaan ini sudah mencapai US$5,3 miliar, dengan ekuitas sebesar US$1,23 miliar. Sepanjang 9 bulan 2021, MEDC sudah menyerap belanja modal hingga US$53 juta, masih sangat jauh dari targetnya tahun lalu sebesar US$150 juta untuk segmen minyak dan gas, dan US$65 juta untuk ketenagalistrikan.

Belakangan, Arifin pun mencoba menjajaki peluang baru di bisnis perbankan. Arifin tercatat sebagai pemilik saham PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk. bersama PT Medco Intidinamika dan PT Medco Duta.

Pada tahun lalu, bank ini melakukan aksi rights issue di mana Arifin menambah kepemilikan saham dari 631,78 juta saham menjadi 646,78 juta. Dengan demikian, dirinya menggenggam saham sebanyak 7,55 persen saham bank dengan kode SDRA itu.

Sepanjang kariernya, Arifin Panigoro telah mencetuskan banyak ide dan kontribusi bagi bangsa. Memiliki julukan sebagai raja minyak, digandrungi oleh banyak pencapaian. Kini, meskipun sang taipan belum sempat mewujudkan ambisinya yang tersisa. Barangkali, Arifin sedang mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu selalu punya ruang untuk diusahakan. 

Selamat jalan Arifin Panigoro.