Generasi Instan
[Waktu baca: 4 menit]
Saat di luar sana orang-orang sedang sibuk menyelidiki tanda-tanda kehidupan di planet Mars, ternyata di Indonesia masih ada isu babi ngepet.
Belum lama ini, kota Depok diramaikan oleh video viral seorang ibu yang menyangka tetangganya seekor babi ngepet. Ibu ini curiga karena tetangga tersebut hanya di rumah saja tapi banyak uang. Padahal ini era WFH, di mana kebanyakan orang memang bekerja dari rumah.
Warga setempat resah dan kemudian sepakat untuk menangkap babi ngepet tersebut. Karena babi ngepet adalah makhluk mistis, mereka percaya agar dapat melihat dan menangkap babi ngepet, mereka harus telanjang. Beramai-ramai, tanpa busana. Bayangkan, jika mereka bisa sepakat bugil berjamaah guna menangkap babi ngepet, maka seharusnya mereka bisa sepakat untuk semua hal. Dunia seharusnya dipimpin oleh warga Depok.
Di tengah derasnya kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, adanya isu babi ngepet ini menjadi sebuah hal yang menarik. Itu mungkin karena sebagian kita masih merasa bahwa jalan untuk menjadi kaya dengan instan itu memang ada. Tak bisa dipungkiri, kita memang suka dengan yang instan.
Dimas Kanjeng dan kemampuannya melipatgandakan uang. Ponari dan batunya yang dapat menyembuhkan penyakit. Video masak Buzzfeed Tasty. Peninggi, pemutih, dan pengencang payudara di kolom komen Instagram. Mereka sempat digemari masyarakat dengan satu alasan yang sama. Mereka bisa melakukan semua itu dengan cepat.
Di jaman yang serba instan ini, proses menjadi barang yang mahal. Bagi generasi sekarang, social media seperti katalis mengapa proses terlihat semakin pudar dan bukan lagi hal yang digemari. Social media menjadi wadah di mana orang berlomba-lomba menunjukkan hasil, bukan proses. Scroll ke bawah, lihat si ini baru beli rumah. Scroll ke atas, lihat si itu posting cuan dari saham anu. Yang kita tidak tau, si ini sudah menabung belasan tahun agar bisa membeli rumah. Atau ternyata si itu sudah memegang saham anu sejak sepuluh tahun yang lalu.
Semua butuh waktu. Semua ada prosesnya.
Dalam buku The Psychology of Money, Morgan Housel menuliskan kisah hidup Ronald James Read. Karier seorang Ronald James Read tidak mengkilap. Dia bukan Forbes 30 under 30, malah mungkin Forbes 30 under pressure. Profesinya hanya seorang petugas sekaligus mekanik di sebuah pom bensin. Ia hidup dengan sederhana. Memakai baju yang itu-itu saja, bahkan menggunakan penjepit kertas saat ada bajunya yang rusak. Setiap minggunya, ia rutin berkunjung ke kedai fast food favoritnya dan memarkir mobilnya agak jauh di mana ia tak perlu membayar uang parkir.
Namun, namanya menjadi buah bibir saat tutup usia pada tahun 2014 lalu. Dengan segala kesederhanaannya, Ronald James Read meninggalkan kekayaan bersih sebesar USD 8 juta atau sekitar Rp 120 milyar. Sebanyak USD 2 juta ia wariskan ke anak-anaknya, sementara sisanya ia sumbangkan ke rumah sakit dan perpustakaan.
Jika Ronald James Read warga Depok, maka ia akan viral, diburu oleh warga sekampung yang tanpa busana karena menyangka ia babi ngepet. Nyatanya, ia bukan babi ngepet, memelihara tuyul, memuja setan, atau ritual klenik lainnya. Bukan juga menang lotere atau dapat warisan. Ronald James Read rutin menyisihkan penghasilannya dan berinvestasi di pasar modal.
Ronald James Read bukanlah suhu di grup-grup Telegram saham. Pengetahuannya akan pasar modal mungkin tidak sekompleks Warren Buffet atau Peter Lynch. Ia rutin membaca The Wall Street Journal agar dirinya tetap terinformasi tentang berita-berita keuangan terkini. Ia fokus membeli saham-saham blue chip yang ia kenal dan mengerti jenis usahanya. Dan pada akhirnya, ia membiarkan waktu dan keajaiban bernama compounding bekerja.
Dari sepanjang kisah Ronald James Read di atas, kata yang menarik adalah rutin. Dia tekun dengan keyakinannya, gigih dengan caranya. Tetap berjalan kala banyak cibiran. Menjalani prosesnya sampai berkesudahan.
Jadi, kalau hari ini kita belum mencapai hasil yang diinginkan, artinya kita masih dalam perjalanan. Kita belum sampai tujuan. Jangan tengok kiri-kanan, karena membandingkan seringnya hanya menambah beban.
Akui kita masih perlu waktu. Dan nikmati prosesmu.
Date: