Berbagai Jurus Grup MNC Wujudkan Mimpi Besar
Saham-saham Grup MNC sempat menjadi buruan banyak pelaku pasar beberapa waktu lalu sehingga mendorong kenaikan harga saham-saham tersebut ke level tertinggi dan memuncak pada awal Juni 2021 lalu. Namun, belakangan euforia itu mereda dan saham-saham MNC mulai kembali adem-ayem.
Kala itu, kita melihat saham PT Bank MNC Internasional Tbk. (BABP) naik dari Rp50 ke level Rp410 atau 720% year to date (ytd). Selain itu, ada juga saham PT MNC Investama Tbk. (BHIT), induk Grup MNC, yang melesat dari Rp66 ke level Rp143 atau 116,7% ytd.
Kini, saham-saham tersebut memang masih bergerak di zona hijau secara ytd, tetapi tidak lagi setinggi sebelumnya. Selain kedua saham tersebut, emiten Grup MNC lain yang masih berkinerja positif secara ytd yakni PT MNC Studios International Tbk. (MSIN) dan PT MNC Land Tbk. (KPIG).
Selebihnya, saham-saham grup ini sudah kembali terkapar di zona merah. Berikut ini kinerja saham-saham Grup MNC hingga paruh pertama perdagangan hari ini, Jumat (16 Juli 2021):
Tentu saja, ada alasan dibalik sentimen tersebut. Misalnya, pengumuman sejumlah aksi korporasi yang cukup menjanjikan bagi prospek bisnis jangka panjang. Selain itu, ada rumor bahwa sejumlah investor kakap akan berinvestasi di grup ini.
Pada Mei 2021 lalu, chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo dalam Instagramnya mengunggah foto kunjungan Duta Besar Jepang untuk Republik Indonesia Kanasugi Kenji dan CEO Sumitomo Indonesia Hiroshi Karashima.
Hal itu seperti menjadi sinyal bahwa akan ada kemitraan strategis antara Grup MNC dengan investor-investor asal Jepang. Lagi pula, dalam unggahannya, Hary Tanoe pun secara terang-terangan mengungkapkan bahwa kunjungan tersebut adalah untuk melihat kemungkinan investasi di Grup MNC.
Menyusul kabar tersebut, sejumlah emiten di grup usaha ini pun mengumumkan rencana untuk menerbitkan saham baru dalam rangka penyuntikan modal. MNC Land atau KPIG bakal menggelar private placement, sedangkan Bank MNC atau BABP akan melakukan rights issue dan private placement.
Hal ini tampaknya menjadi pemicu naiknya harga saham-saham Grup MNC, sebab lonjakan pesat persis terjadi setelahnya.
Mimpi Bank Digital
Dalam salah satu sesi wawancara, Hary Tanoe mengatakan sudah ada lebih dari 15 anchor investor yang ingin masuk ke BABP. Bank ini ingin didorong menjadi kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III, yakni bank dengan modal inti antara Rp5 triliun hingga Rp30 triliun.
Selain itu, merebak juga kabar bahwa bank yang modal intinya kini masih Rp1,17 triliun ini bakal didorong untuk menjadi bank digital. Bank ini juga telah meluncurkan layanan bank digitalnya yang bernama MotionBanking.
Saat ini, perbankan digital memang sedang menjadi tren. Umumnya, kalangan bank kecillah yang paling vokal menyuarakan rencana transformasi mereka untuk menjadi bank digital. Euforia pun merebak, banyak saham bank kecil yang harganya naik gila-gilaan.
Sebenarnya, jika ditilik lebih dalam, setiap kabar adanya bank kecil yang ingin bertransformasi menjadi bank digital, selalu saja diikuti dengan pengumuman rencana penambahan modal melalui emisi saham baru, entah rights issue atau private placement.
Ini sebenarnya tidak terlepas dari tuntutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar semua bank di Indonesia memiliki modal inti minimal Rp3 triliun pada 2022 nanti. Sebelumnya, pada aturan lama, bank-bank masih boleh memiliki modal inti di bawah Rp1 triliun dan masuk kategori BUKU I.
Namun, pada 2020 lalu, semua bank harus sudah memiliki modal inti minimal Rp1 triliun dan tahun ini harus dinaikkan lagi menjadi minimal Rp2 triliun. Tahun depan, batasan modal inti harus sudah memenuhi ketentuan minimal Rp3 triliun.
Pada saat yang sama, kondisi pandemi memukul pasar dan dunia investasi. Tidak mudah bagi bank-bank kecil ini untuk menarik minat investor guna menanamkan modal. Harus ada alasan dan rencana strategis yang masuk akal jika ingin menambah modal baru, sebab selama ini bank kecil cenderung kalah bersaing.
Jika tidak, suntikan dana segar itu menjadi mubasir dan idle. Ini justru menjadi kontraproduktif dan tidak diinginkan oleh investor. Sebab, saat ini bukanlah periode keemasan penyaluran kredit. Hampir pasti suntikan modal baru itu tidak dapat dioptimalkan jika hanya untuk disalurkan sebagai kredit.
Saat kondisi terhimpit, sejumlah bank kecil mulai berpikir kalau bank digital bisa menjadi jalan keluar. Dana segar tidak akan semata-mata digunakan untuk penyaluran kredit, tetapi untuk pengembangan layanan digital. Ini investasi jangka panjang untuk prospek bisnis yang lebih baik.
Visi itulah yang dijual demi meraup dana investor. Sejauh ini, langkah tersebut tampaknya cukup efektif. Namun, pada saat yang sama peta persaingan di perbankan digital pun makin sengit. Tentu tidak ada jaminan bahwa hanya karena merupakan bank digital, mereka lalu pasti menang.
BABP mungkin saja memiliki posisi yang lebih strategis, sebab Grup MNC sudah memiliki ekosistem bisnis yang besar, yang tentu saja bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan bisnis perbankan mereka. Hary Tanoe pun mengamini itu.
MotionBanking akan menjadi lokomotif bagi pertumbuhan layanan keuangan digital Grup MNC, tidak saja bagi BABP, tetapi juga bagi induknya, yakni MNC Kapital atau BCAP. MotionBanking ditargetkan bisa memiliki 30 juta pengguna dalam 5 tahun.
Grup MNC akan menyasar pengguna layanan Grup MNC yang kini mencapai lebih dari 200 juta sebagai sasaran nasabah potensial. Para pengguna layanan Grup MNC itu tersebar mulai dari layanan televisi, portal media, hingga media sosial. Selain itu, tentu saja, karyawan Grup MNC.
Selain itu, jika benar akan ada investor strategis yang masuk dalam aksi rights issue dan private placement BABP, tentu mereka akan turut memberikan sumbangan keahlian dan jaringan untuk mendukung pengembangan bisnis BABP dan MotionBanking.
Masa Depan di KEK MNC Lido City
MNC Land memiliki proyek prestisius yang telah berstatus Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yakni MNC Lido City di Bogor, Jawa Barat. Ini merupakan proyek pengembangan kawasan hunian, komersial, wisata, dan resor terintegrasi dengan luas kawasan 3.000 hektare.
Pengembangan tahap awal dalam 2 tahun terakhir dikabarkan bakal menelan investasi Rp2 triliun. Perseroan pun berencana melakukan private placement untuk mendukung rencana investasi lanjutan. Rencananya, KPIG bakal melepas 8,06 miliar saham baru, setara 10% dari saham perseroan nantinya.
Selain itu, KPIG juga akan mengandalkan pinjaman perbankan untuk memenuhi kebutuhan modalnya. Adapun, pada kuartal pertama tahun ini, KPIG tercatat memiliki aset Rp29,3 triliun, dengan modal Rp22,9 triliun. Namun, cash flow perusahaan negatif Rp68,87 miliar.
Beberapa proyek yang sedang dan akan dilaksanakan dalam kurun 3 tahun hingga 5 tahun ke depan meliputi lapangan golf 18-hole berstandar PGA beserta pembangunan club house, Lido Lake Resort Extension, Lido Music and Arts Center, Lido World Garden dan MNC Park - Theme Park berstandar internasional pertama di Indonesia.
Proyek ini mengundang ketertarikan banyak pihak, termasuk Jepang. Ini jelas adanya proyek jangka panjang yang bakal menjadi mesin uang bagi Grup MNC di masa mendatang.
Namun, realisasi dari potensi tersebut akan ditentukan oleh seberapa efektif Grup MNC mampu mengoptimalkan destinasi baru ini sebagai kawasan yang menarik untuk dikunjungi dan mudah diakses. Sayangnya, hal itu tidak mudah.
Kian Mantap di Bisnis Media
Bisnis perbankan digital dan pengembangan KEK Lido City adalah masa depan Grup MNC. Di masa kini, bisnis media adalah sumber utama pundi-pundi grup ini. MNC masih menjadi pemimpin di industri media melalui PT Global Mediacom Tbk. (BMTR) dan anak perusahaannya yakni PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNCN).
Sepanjang tahun ini, terjadi lonjakan signifikan dalam hal pangsa pasar bisnis media Grup MNC. Di lini pasar televisi free to air (FTA) atau siaran gratisan pada Januari-April 2021, MNC menguasai 52,4% pangsa pasar prime time dan 40,4% non-prime time. Dengan pangsa pasar sebesar itu, MNC berada jauh lebih tinggi dibanding semua pesaingnya.
MNCN saat ini memiliki empat saluran televisi, yakni RCTI, MNC TV, GTV, dan iNews. Melesatnya pangsa pasar MNCN terutama ditopang oleh sinetron Ikatan Cinta di RCTI. Sinetron ini mencatatkan rating tertinggi dengan TVR 12,6 dan share atau pangsa pasar pemirsa 46,5%.
Lonjakan penguasaan pangsa pasar ini tentu akan berdampak positif pada pendapatan iklan. Meskipun kini tengah pandemi, sejumlah korporasi masih tetap getol beriklan demi menjaga brand awareness dan memperkenalkan produknya.
Saluran TV hingga kini masih dianggap sebagai media paling efektif dan menguasai pangsa pasar iklan media sebesar 72%.
MNCN juga memperkuat lini digital mereka melalui RCTI+, portal berita, dan media sosial. Per April 2021, pengguna aktif bulanan atau MAU RCTI+ sudah mencapai 30,5 juta, tumbuh 251% yoy. Setiap bulan pertumbuhan MAU rata-rata 1,5 juta hingga 2 juta.
Menurut perhitungan perusahaan, setiap pertambahan 1 juta MAU RCTI+, terhadap potensi kenaikan pendapatan iklan sebesar US$1 juga, atau setara Rp14,3 miliar.
Di portal berita online, seperti Okezone, Sindonews.com, dan iNews.id, MAU pada kuartal I/2021 mencapai 75 juta, naik dari akhir tahun 2020 yang sebesar 69 juta. Sementara itu, di media sosial seperti Youtube, Facebook, dan Tiktok, total subscriber mencapai 239 juta, naik dari 193 juta pada akhir 2020.
Kenyataannya, gurita bisnis media Grup MNC lebih luas lagi. Grup MNC juga memiliki MNC Vision Networks atau IPTV. Perusahaan ini menguasai pasar TV prabayar dan pascabayar berbasis direct to home (DTH).
Layanan pascabayar IPTV adalah melalui MNC Sky Vision atau MSKY yang menguasai 90% pangsa pasar TV berlangganan pascabayar berbasis DTH di Indonesia. Sementara itu, layanan prabayar DTH dijalankan melalui K-Vision yang diakuisisi pada 2019 lalu.
IPTV memiliki keunggulan kompetitif sebab telah terintegrasi dengan semua saluran layanan TV kabel dari MNCN, sehingga pilihan channel-nya sangat luas.
Dengan posisinya yang sangat kuat di pasar, jelas Grup MNC memiliki prospek bisnis yang sangat menjanjikan.
Ada Lo Kheng Hong Sebagai Penggemar
Hal menarik lain di Grup MNC adalah adanya nama besar investor kawakan Lo Kheng Hong sebagai salah satu pemegang saham terbesar di Global Mediacom atau BMTR. LKH memiliki saham 6,16% di emiten tersebut dan menjadi pemegang saham terbesar kedua di emiten itu setelah MNC Investama atau BHIT.
LKH terkenal sebagai value investor yang sangat berhati-hati dalam langkah investasinya. Pilihan investasinya tentu dilandasi oleh perhitungan matang dan tentu saja karena perusahaan tersebut benar-benar bagus dan murah sahamnya.
Saat ini, LKH hanya tercatat memiliki lima saham yang kepemilikannya berada di atas 5%, salah satunya yakni BMTR. Adapun, empat emiten lainnya yakni PT Petrosea Tbk. (PTRO), PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk. (MBSS), PT Gajah Tunggal Tbk. (GJTL), dan PT Clipan Finance Indonesia Tbk. (CFIN).
Salah satu pertimbangan LKH dalam berinvestasi adalah melihat rekam jejak dari manajemen sebuah perusahaan, rekam jejak kemampuannya dalam menghasilkan keuntungan stabil, serta prospek jangka panjangnya.
Adanya LKH sebagai pemegang saham BMTR seperti menjadi jaminan mutu bahwa bisnis Grup MNC ini sangat menjanjikan dalam jangka panjang.
Kinerja Stabil di Kuartal I/2021
Terlepas dari semua prospek cerah yang tergambar di grup ini, pada akhrinya kita harus melihat laporan keuangannya untuk dapat menilai secara objektif. Saat ini, kondisi pandemi masih mewarnai ekonomi Indonesia, termasuk kinerja emiten-emiten. Lantas, bagaimana Grup MNC menangani kondisi ini?
Jika melihat kinerja keuangan mereka pada kuartal pertama tahun ini, terlihat bahwa mayoritas emiten di grup ini berhasil mencetak pertumbuhan pendapatan dan laba. Hal ini mencerminkan bahwa grup ini berhasil mengatasi tekanan ekonomi selama ini.
Berikut ini kinerja keuangan emiten-emiten Grup MNC:
Dari data tersebut, terlihat bahwa dua emiten yang selama ini paling menjadi sorotan, yakni MNC Bank (BABP) dan MNC Land (KPIG) justru menunjukkan kinerja terlemah. Laba BABP bahkan menjadi yang terkecil di antara semua emiten di grup ini.
Jelas, masih sangat banyak tantangan untuk mengoptimalkan kedua bisnis tersebut, meskipun memang prospek mereka cukup menjanjikan. Jangan lupa, tantangan untuk mewujudkan potensi mereka masih sangat besar.
Sementara itu, kita melihat kinerja induk grup ini, yakni MNC Investama (BHIT) yang tumbuh dengan baik, tetapi masih rugi. Meski demikian, tingkat kerugiannya jauh berkurang. Melihat kinerja induk yang masih rugi ini, tentu menjadi petunjuk bahwa secara keseluruhan kinerja grup MNC belum stabil.
Sebenarnya, total laba bersih BHIT masih positif pada kuartal I/2021, tepatnya Rp252 miliar. Namun, mayoritas dari laba itu merupakan bagian dari kepentingan nonpengendali, sedangkan kepentingan pemilik entitas induk justru masih rugi Rp59 miliar.
Hanya saja, kinerja masing-masing anak usaha terlihat cukup baik. Beberapa emiten bahkan berhasil mencetak lonjakan pendapatan sangat tinggi, terutama MNC Vision Networks atau IPTV. Tampaknya, kondisi pandemi menyebabkan makin banyak masyarakat yang mencari hiburan alternatif pada layanan yang diberikan IPTV.
Dengan bekal kinerja yang masih cukup kuat ini, Grup MNC masih memiliki asa untuk menyaksikan tingkat pertumbuhan yang lebih baik lagi, asalkan kondisi ekonomi terus membaik dan pandemi lekas berakhir
Date: