Anomali Tertekannya Pendapatan Emiten Farmasi Kuartal I/2021

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Sektor farmasi merupakan salah satu sektor yang diuntungkan oleh kondisi pandemi. Merebaknya kasus Covid-19 di Tanah Air menyebabkan permintaan terhadap produk-produk kesehatan, obat-obatan, dan suplemen meningkat signifikan seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk hidup sehat.

Alhasil, tidak mengherankan jika hingga akhir tahun lalu, kinerja keuangan emiten-emiten di sektor ini cukup solid. Beberapa emiten bahkan mampu keluar dari jerat kerugian dan membukukan kenaikan laba yang signifikan.

Sebagai contoh, emiten farmasi BUMN yakni PT Kimia Farma Tbk. (KAEF) yang semula rugi Rp12,72 miliar pada 2019, berhasil membalikkan kondisi keuangan dan mencetak laba senilai Rp17,63 miliar pada 2020.

Sementara itu, laba emiten swasta seperti PT Tempo Scan Pacific Tbk. (TSPC) dan PT Soho Global Health Tbk. (SOHO) melejit hingga lebih dari 40% year on year (yoy), masing-masing menjadi Rp787,8 miliar dan Rp172,1 miliar.

Namun, pada awal tahun ini kondisi sedikit berbeda. Setelah kinerjanya meningkat tahun lalu, pada kuartal pertama tahun ini kinerja sejumlah emiten farmasi mulai menurun. Baik KAEF, TSPC, maupun SOHO mencatatkan penurunan pendapatan.

KAEF juga mencatatkan penurunan laba, sedangkan TSPC dan SOHO masih mampu membukukan kenaikan laba, meskipun tipis yakni hanya 1% yoy.

Sejauh ini, baru tujuh emiten farmasi yang telah merilis laporan kinerja keuangan mereka untuk kuartal pertama 2021. Hasilnya, hanya BUMN farmasi PT Indofarma Tbk. (INAF) yang berhasil mencetak kinerja mengesankan.

Pendapatan INAF meroket hingga 152% yoy menjadi Rp373 miliar serta berhasil memulihkan kondisi rugi senilai Rp21 miliar pada kuartal pertama 2020 menjadi laba Rp2 miliar pada periode yang sama tahun ini.

Di kalangan emiten farmasi swasta, hanya PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) yang pendapatannya berhasil tumbuh positif, yakni 3,8% yoy menjadi Rp6 triliun, dengan laba bersih naik 7,1% menjadi Rp716 miliar.

Selebihnya, kelima emiten farmasi lainnya menderita penurunan pendapatan, meski tidak semuanya mengalami penurunan laba. Tidak satupun di antara ketujuh emiten ini yang menderita kerugian pada kuartal pertama tahun ini.

Berikut ini kinerja lengkap ketujuh emiten tersebut :

Secara umum, bisnis kesehatan pada awal tahun ini sejatinya masih cukup prospektif karena diuntungkan oleh kondisi pandemi.

Selain emiten farmas, sektor terkait kesehatan adalah rumah sakit. Beberapa emiten rumah sakit yang sudah merilis laporan keuangan kuartal pertama tahun ini, seperti PT Siloam International Hospitals Tbk. (SILO), PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA), dan PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk. (SAME), berhasil membukukan kenaikan pendapatan dan laba signifikan.

SAME, misalnya, pendapatannya naik 60% yoy menjadi Rp219 miliar dan berhasil membalikkan kondisi dari semula rugi Rp18 miliar menjadi laba Rp39 miliar. SILO dan MIKA juga mencetak pertumbuhan pendapatan 30-an persen, masing-masing menjadi Rp1,9 triliun dan Rp1,2 triliun. Laba SILO meroket 789% yoy menjadi Rp144 miliar, sedangkan MIKA naik 59% yoy menjadi Rp316 miliar.

Selain emiten rumah sakit, emiten subsektor laboratorium seperti PT Prodia Widyahusada Tbk. (PRDA) dan emiten subsektor alat kesehatan seperti PT Itama Ranoraya Tbk. (IRRA) juga mendulang berkah.

Pendapatan dan laba PRDA naik masing-masing 60% yoy dan 356% yoy menjadi Rp626 miliar dan Rp159 miliar, sedangkan pendapatan dan laba IRRA melonjak 754% yoy dan 844% yoy menjadi Rp228 miliar dan Rp21 miliar.

Tema besar industri kesehatan sejak tahun lalu memang adalah pandemi Covid-19. Jasa kesehatan yang paling banyak dicari pun selama ini paling banyak adalah yang terkait dengan pandemi ini. Peningkatan okupansi rumah sakit, alat-alat kesehatan, dan jasa laboratorium semua berhubungan dengan Covid-19.

Namun, bagi emiten farmasi, Covid-19 hanyalah salah satu jenis penyakit dengan kebutuhan obat yang terbatas. Penurunan kunjungan pasien non-Covid ke rumah sakit dan puskemas akibat kekhawatiran terpapar virus berdampak terhadap penurunan penjualan obat-obatan non-Covid.

Di sisi lain, proses vaksinasi yang sudah berjalan mulai menurunkan tingkat kasus pandemi. Selain itu, bisa jadi sebagian pendudukan yang sudah menerima vaksin kini menjadi lebih percaya diri sehingga mengurangi tingkat konsumsi suplemen kesehatan dan obat-obatan.

Secara umum, hal ini menekan permintaan obat-obatan. Bagi sejumlah emiten, kendati ada keuntungan dari jasa distribusi vaksin, tetapi tidak cukup untuk menggantikan tekanan dari segmen penjualan obat-obatan. Lagi pula, tidak semua emiten menjadi distributor vaksin.

Meskipun demikian, sektor farmasi tetap berpotensi bangkit tahun ini, terutama seiring dengan kembali meningkatnya pasien non-Covid pascavaksinasi, serta kembali pulihnya perekonomian. Namun, setelah pandemi berakhir, kinerja mereka akan kembali ke kondisi normal seperti sebelum pandemi.

Hal ini mungkin saja menyebabkan laju pertumbuhan mereka melambat. Sektor ini terutama berharap pada gaya hidup sehat masyarakat yang sudah terbentuk akibat dari kondisi pandemi. Jika gaya hidup sehat tersebut tetap berlanjut, akan menjadi keuntungan bagi sektor ini.

Lagi pula, pada data kinerja emiten-emiten farmasi di atas, terlihat bahwa mayoritas emiten masih mampu membukukan peningkatan laba. Hanya dua emiten yang mencatatkan penurunan laba, yakni KAEF dan MERK.

Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum kinerja sektor ini masih relatif sehat. Emiten terbesar di sektor ini pun, yakni KLBF juga masih berkinerja positif yang mencerminkan kinerja industri secara keseluruhan.

Secara jangka panjang, prospek sektor farmasi di Indonesia ditopang oleh meningkatnya populasi yang menua, meningkatnya pembeli wanita untuk suplemen makanan, meningkatnya permintaan produk jamu oleh demografi muda, dan meningkatnya kesadaran konsumen untuk tindakan perawatan kesehatan preventif.