Waspadai Berakhirnya Era Kejayaan Saham Sektor Teknologi

Date:

Semenjak pandemi datang dan mulai terkonfirmasi di Indonesia, saham-saham teknologi seperti menjadi primadona di pasar. Kondisi ini didukung adanya pembatasan mobilitas masyarakat sehingga ketergantungan terhadap sarana teknologi menjadi tinggi.

Kondisi ekonomi secara umum sedang memburuk dan proses pemulihannya pun berjalan sedang-sedang saja bahkan cenderung lamban. Oleh karena itu, sudah tentu emiten yang ada di Bursa Efek Indonesia memiliki kinerja keuangan yang sejalan dengan perekonomian.

Dalam kondisi ini, sulit untuk mencari emiten yang kinerja keuangannya sehat dan tergolong masih baik. Pilihannya menjadi relatif sangat terbatas. Alhasil, beberapa emiten menjadi rebutan banyak pihak sehingga menimbulkan kenaikan harga yang sangat tinggi, bahkan cenderung tak wajar.

Pelaku pasar bahkan membawanya ke level yang lebih jauh lagi. Beberapa emiten semata-mata diburu karena sentimen industrinya yang dianggap diuntungkan oleh kondisi pandemi, padahal kinerja keuangan emiten yang bersangkutan belum tentu menunjukkan pertumbuhan yang berarti.

Sepanjang tahun ini, tren paling banyak terjadi di kalangan emiten sektor teknologi. Hal itu terefleksikan pada kinerja indeksnya, yakni IDX Sector Technology yang berhasil tumbuh jauh melebihi kinerja indeks-indeks sektoral lainnya.

Sepanjang tahun ini hingga Selasa, 12 Oktober 2021, indeks ini sudah mencatatkan kenaikan sebesar 367,46% year-to-date (YtD) di level 8,757,15. Salah satu emiten anggota indeks ini yang mencatatkan kinerja harga fenomenal yakni PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) yang naik 8.471% YtD.

Ini adalah kenaikan harga saham paling luar biasa yang pernah terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham DCII baru dicatatkan di BEI tahun ini, tepatnya pada 6 Januari 2021. Kala itu, harga pencatatan saham DCII hanya Rp420 per saham.

Dalam sekejap, harga sahamnya melesat hingga ke atas level Rp12.225 pada 10 Februari 2021 dan terkena suspensi. Suspensi baru dibuka pada pertengahan Maret 2021. Sejak itu, saham DCII lalu bergerak konsolidatif atau relatif tidak banyak berubah dari level tersebut.

Namun, sejak 31 Mei 2021 saham ini melesat hingga terkena auto reject atas (ARA) selama 6 hari berturut-turut sehingga harga sahamnya naik dari level Rp11.475 menjadi Rp34.200 dalam waktu sepekan. Setelahnya, saham DCII terus meroket hingga ke level Rp59.000 pada 16 Juni 2021.

Saham DCII pun terkena suspensi bursa saat itu. Setelah kembali dibuka pada 12 Agustus 2021, sahamnya langsung anjlok dan terkena auto reject bawah (ARB) selama 7 hari berturut-turut hingga ke level Rp35.550 pada 23 Agustus 2021. Menariknya, sejak itu saham DCII justru naik lagi.

Kini, pada sesi kedua perdagangan hari ini, Selasa, 12 Oktober 2021, saham DCII ada di level Rp45.000. Ini adalah saham dengan harga tertinggi di BEI saat ini. Di posisi kedua ada saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) di level Rp36.575.

Bukan hanya DCII yang mengalami fenomena ini. Hampir semua emiten pendatang baru di sektor teknologi pada tahun ini mengalami lonjakan harga yang tinggi dibandingkan dengan harga IPO mereka.

Mereka antara lain yakni PT Indointernet Tbk. (EDGE) yang naik 180%, PT Zyrexindo Mandiri Buana Tbk. (ZYRX) 71%, dan PT Trimegah Karya Pratama Tbk. (UVCR) 409%. Selain itu, ada juga emiten yang sudah lebih dahulu melantai seperti PT Digital Mediatama Maxima Tbk. (DMMX) yang melesat 946% YtD.

Emiten teknologi lain yang naik tak kalah tingginya yakni PT Kioson Komersial Indonesia Tbk. (KIOS) yang naik 464% YtD, PT Indosterling Technomedia Tbk. (TECH) 677% YtD, PT Multipolar Technology Tbk. (MLPT) 318%, PT NFC Indonesia Tbk. (NFCX) 327% YtD, dan PT M Cash Integrasi Tbk. (MCAS) 175% YtD.

 

Euforia Berakhir

Meskipun secara umum kinerja sebagian besar konstituen indeks IDX Sector Technology masih tercatat berkinerja positif secara YtD, data terkini menunjukkan adanya tren pelemahan pada saham-saham tersebut.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, kinerja IDX Sector Technology sudah mulai melemah dalam 2 bulan terakhir. Pada Agustus 2021 lalu, kinerja indeks ini turun 6,32% dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya (month-on-month/ MoM), yakni dari 11.732,89 ke level 10.990,88.

Berikut ini kinerja indeks ini setiap bulan sepanjang tahun ini:

Pada data tersebut terlihat bahwa setelah mengalami lonjakan pesat pada Januari-Februari 2021, indeks ini sempat melemah pada Maret 2021 lalu. Namun, indeks ini segera menguat lagi pada bulan berikutnya. Bahkan, lonjakan pesat terjadi pada Juni 2021, terutama akibat kenaikan harga DCII.

Menariknya, tren penguatan ini mulai melambat pada Juli 2021, lalu akhirnya turun pada Agustus 2021. Namun, bukannya berbalik menguat seperti yang terjadi pada April 2021 lalu, sepanjang bulan September 2021 tren penurunan kinerja indeks ini justru masih berlanjut.

Berdasarkan data BEI, per Selasa, 12 Oktober 2021, indeks ini ada di level 8.758,45. Jika dibandingkan dengan posisi akhir September 2021 yang ada di level 9.442,68, artinya telah terjadi penurunan sebesar -7,25% MoM. Jadi, penurunannya justru lebih dalam.

Hal ini menunjukkan adanya sinyal pembalikkan arah tren indeks ini. Euforia mulai berakhir dan investor pun mulai perlahan meninggalkan saham-saham teknologi ini untuk beralih ke emiten-emiten lain yang harganya justru masih terdiskon.

Sebagai contoh, saham DCII mengalami penurunan sebesar -1,96% sepanjang bulan Oktober 2021 saja. Demikian juga saham emiten teknologi pendatang baru lainnya seperti EDGE -4,55%, dan PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) -13,53%.

Jika melihat kondisi pasar terkini, investor cenderung mulai beralih ke saham-saham blue chip atau saham-saham big cap dan likuid yang ada di BEI. Sementara itu, saham-saham teknologi yang selama ini jadi primadona mulai ditinggalkan.

Hal ini tampaknya didorong oleh optimisme pelaku pasar terkait prospek pemulihan ekonomi nasional. Data peningkatan kasus baru Covid-19 kini sudah jauh lebih terkendali, sedangkan pembatasan mobilitas pun sudah lebih diperlonggar. Selain itu, proses vaksinasi sudah jauh lebih luas.

Dengan kondisi ini, harapan bagi pulihnya kinerja emiten-emiten lain di luar sektor-sektor yang selama ini diuntungkan oleh pandemi mulai meningkat. Termasuk di antaranya yakni sektor-sektor yang menyumbang kontribusi besar pada ekonomi, seperti barang konsumsi, manufaktur, dan finansial.

Di sisi lain, berakhirnya pandemi juga kemungkinan bakal mengurangi ketergantungan terhadap sektor teknologi, sehingga kini arah pergerakannya berbalik. Emiten-emiten sektor teknologi kini justru kekurangan daya dorong untuk dapat tetap bertumbuh.

Apalagi, ruang pertumbuhannya sudah sangat terbatas, sebab selama ini sudah naik terlampau tinggi, jauh melebihi kondisi fundamentalnya. Alhasil, valuasi sahamnya pun sudah terlampau mahal. Jadi, kemungkinan untuk terus bertumbuh sangat kecil, sebaliknya peluang pelemahan sangat besar.

Secara jangka panjang, sektor teknologi dan digital memang masih sangat menjanjikan. Riset dari Google, Temasek, dan Bain memperkirakan ekonomi digital Indonesia dapat tumbuh 23% per tahun hingga 2025. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nominal Indonesia.

Hanya saja, kenaikan kinerja saham emiten-emitennya selama ini sudah terlampau cepat, jauh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan aktual bisnis emiten-emiten itu. Oleh karena itu, kemungkinan besar dalam jangka menengah arah pergerakan harga emiten sektor ini akan menurun.

Dengan demikian, tidak akan mengherankan jika dalam waktu dekat kita masih akan menyaksikan penurunan kinerja pada sejumlah saham teknologi, terutama jika kondisi ekonomi dan pandemi terus membaik. Oleh karena itu, hati-hati jika ingin kembali masuk ke sektor ini.

Semula memang ada optimisme terhadap sektor ini, terutama seiring dengan kabar bakal adanya unicorn yang akan melantai di BEI. Namun, kenyataannya IPO Bukalapak.com tidak begitu mengesankan. Kinerja sahamnya pun terbatas dan tidak begitu istimewa.

Bukalapak pun masih harus membuktikan kinerjanya kepada para pelaku pasar sebelum harga sahamnya kembali diapresiasi. Selama ini, emiten ini masih rugi. Selain itu, peta persaingan e-commerce di Indonesia saat ini sangat ketat dan cenderung tak sehat karena aksi bakar duit yang besar.

Dengan statusnya kini sebagai emiten, tidak mudah bagi BUKA untuk melakukan strategi bakar duit seperti dulu. Kini semuanya harus lebih diperhitungkan secara matang, sebab investor publik lebih tertarik pada keuntungan riil ketimbang matrik pertumbuhan yang keren tetapi justru merugikan.