Mulai Lesu, Bagaimana Masa Depan Saham Batu Bara?

Date:

Sejak 31 Oktober 2021 lalu hingga 12 November 2021 pekan depan, perhatian global sedang tertuju pada Konferensi Tingkat Tinggi Para Pihak (Conference of the Parties) Perubahan Iklim PBB ke-26 atau yang disingkat COP26 di Glasgow, Skotlandia.

Ini merupakan konferensi yang terbesar dan terpenting di dunia terkait perubahan iklim. Menariknya, momentum penyelenggaraan COP26 ini terjadi di tengah dinamika pasar batu bara global yang sedang memanas, bahkan hingga mendorong harga komoditas itu tembus rekornya di level US$269 per ton.

Mudah ditebak bahwa KTT tersebut bakal melahirkan kesepakatan dan komitmen baru terkait mitigasi perubahan iklim. Seiring dengan itu, batu bara pasti bakal menjadi sorotan utama, sebab komoditas ini menjadi bahan bakar pembangkit listrik termurah, tetapi dengan tingkat emisi karbon tertinggi.

Benar saja, selama konferensi tersebut berlangsung, harga batu bara seketika anjlok. Pada akhir pekan lalu, Jumat (29 Oktober 2021) lalu harganya masih di level US$223,45 per ton, tetapi pada Senin (1 November 2021) awal pekan ini langsung terjun bebas 32,87% ke level US$150 per ton.

Sehari setelahnya, harganya turun lagi 6,07% menjadi US$140,9 per ton. Jika diukur dari rekor harganya di level US$269,5 per ton pada Selasa (5 Oktober 2021) lalu, harga batu bara global anjlok 48% dalam waktu kurang dari sebulan.

Namun, di luar sentimen COP26, penurunan tajam ini juga tidak terlepas dari intervensi pemerintah China terhadap pasar batu bara.

COP sejatinya adalah event tahunan yang diselenggarakan sejak 1994. Tahun lalu, event ini batal diselenggarakan karena terkendala kondisi pandemi. COP26 menjadi penting karena KTT kali ini ditujukan untuk menyelesaikan aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris.

Adapun, Perjanjian Paris sendiri diadopsi pada 2015 lalu. Dalam perjanjian itu, negara-negara di dunia sepakat untuk membatasi pemanasan global tidak melebihi 2 derajat celcius. Idealnya, kenaikan suhu global maksimal hanya mencapai 1,5 derajat celcius pada 2030.

Dalam COP26, negara-negara berupaya menyepakati kerangka waktu umum untuk frekuensi revisi dan pemantauan komitmen iklim mereka. Memang benar ada beberapa komitmen yang dibuat sejumlah negara menjelang COP26 ini, tetapi beberapa peneliti menilai hal itu tidak cukup.

Jika tanpa langkah ekstrem secara global, suhu global bakal naik 2,7 derajat Celsius pada abad ini. Hal ini akan menimbulkan kerusakan masif di muka bumi dan mengakibatkan banyak bencana alam.

Pelaku pasar masih memantau komitmen-komitmen baru yang akan lahir dari konferensi tersebut dan mengukur dampaknya pada prospek pasar batu bara di masa mendatang. Terkini, sebanyak 190 negara bakal menandatangani kesepakatan untuk berhenti menggunakan dan membangun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.

Langkah ini ditempuh untuk menghindari investasi pembangunan PLTU baru dan penghentian penggunaan PLTU pada 2030-an di negara-negara kaya dan 2040-an di negara-negara miskin. 

Sedikitnya ada 19 negara, termasuk Amerika Serikat dan Kanada, yang menyatakan komitmen untuk tidak lagi mendanai proyek pembangkit listrik berbahan bakar fosil di luar negeri per akhir 2022.

Hanya saja, negara-negara pendana utama proyek pembangkit listrik energi fosil tidak masuk di daftar itu, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan. Sementara itu, sebanyak 77 negara berkomitmen untuk keluar dari bisnis batu bara.

Indonesia, India, Filipina, dan Afrika Selatan juga bergabung dalam program transisi energi menuju energi baru terbarukan. Keempat negara ini menjadi penyumbang bagi 15% total emisi karbon batu bara dunia selama ini.

Program tersebut disebut Accelerating Coal Transition (ACT). Program ini digagas oleh Climate Investment Funds (CIF) dengan target membatasi kenaikan suhu global maksimal 1,5 derajat celcius pada 2030. Negara-negara yang tergabung dalam ACT akan mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Kanada, dan Denmark.

Sejatinya, ini adalah penguatan dari komitmen lama yang sebelumnya sudah disuarakan oleh banyak negara pula. Batu bara pada akhirnya akan sepenuhnya ditinggalkan atau minimal diolah terlebih dahulu menjadi produk turunan yang lebih rendah tingkat emisi karbonnya sebelum digunakan.

Meskipun demikian, tetap saja hal ini menjadi sentimen buruk bagi batu bara. Bagaimanapun, dinamika pasar tidak saja ditentukan oleh permintaan dan penawaran di sektor riil, tetapi juga sentimen yang berkembang di tataran wacana.

Pada kenyataannya, dinamika awal yang terjadi di pasar batu bara akhir-akhir ini berada relatif terlepas dari sentimen masa depan itu. Benar bahwa di masa depan batu bara bakal ditinggalkan, tetapi saat ini ketergantungan terhadap energi batu bara masih tinggi.

Di tengah kebutuhan banyak negara untuk memacu ekonominya pasca pandemi, batu bara masih menjadi andalan untuk meningkatkan pasokan listrik guna menopang kerja industri. Krisis energi menjadi penyebab utama meroketnya harga batu bara akhir-akhir ini.

Hanya saja, boleh jadi benar bahwa kenaikan harga yang terjadi di pasar terlampau berlebihan akibat sentimen yang dibawa oleh krisis energi. Kini, penurunan harga mencerminkan normalisasi harga batu bara ke level yang lebih wajar.

Di luar sentimen COP26, penurunan harga batu bara juga terpengaruh oleh sentimen kebijakan pemerintah China yang berupaya mengendalikan harga batu bara agar tidak menekan kinerja manufaktur mereka sejak Oktober 2021 lalu.

Pemerintah China berupaya untuk menekan dan menindak tegas aksi spekulasi di pasar serta penimbunan batu bara yang menyebabkan harga melonjak sangat tinggi. Sejalan dengan itu, pemerintah China juga mendorong produksi lokal dan memerintahkan penurunan harga.

Untuk mendorong produksi batu bara, pemerintah China sudah membuka kembali tambang lama, mempercepat pengeluaran perizinan, dan melonggarkan sejumlah aturan keamanan kerja. Produksi harus tetap dilakukan, bahkan di hari libur dan acara besar lain. Daerah tidak boleh menghentikan produksi tanpa persetujuan pemerintah.

Pemerintah China mendorong produksi barian batu bara lokal hingga mencapai lebih dari 11,5 juta ton per hari sejak pertengahan Oktober 2021 lalu. Pasokan ke pembangkit dialokasikan 8,32 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah.

Cadangan batu bara di PLTU China pun kini cukup untuk lebih dari dua pekan atau sekitar 106 juta ton pekan ini. Ini naik lebih dari 28 juta ton dibanding posisi akhir September 2021 lalu. Amannya pasokan di China menjadikan gejolak harga batu bara pun terkendali, mengingat negara ini adalah konsumen terbesar global. 

 

Prospek Emiten Batu Bara

Bagaimanapun, dengan level harga saat ini, batu bara masih tetap relatif mahal. Bagi kalangan emiten selaku produsen komoditas ini, harga yang berlaku saat ini masih tergolong sangat menguntungkan bagi mereka, sebab berada jauh di atas biaya beban produksi. Margin keuntungan mereka masih cukup tebal.

Hanya saja, kesepakatan-kesepakatan yang lahir dari COP26 tentu bakal berdampak pada kinerja mereka dalam jangka panjang. Namun, beberapa emiten ini pun sudah mempersiapkan langkah antisipasi, terutama melalui diversifikasi bisnis ke sejumlah lini lain yang lebih berkelanjutan.

Seiring dengan dinamika harga batu bara tersebut, sentimen di pasar saham juga ikut terpengaruh. Saat ini, indeks IDX Sector Energy juga sudah tidak lagi di posisi puncaknya. Indeks ini sempat mencapai level puncaknya di 1.073,6 pada pekan kedua Oktober 2021.

Pada pekan ini, indeks ini sempat turun ke level 985, kendati telah kembali lagi ke level 1.000-an pada Kamis (4 November 2021) kemarin, tepatnya 1.006,44. Jika dibandingkan dengan level puncaknya, maka indeks ini sudah turun 6%.

Jika efek komitmen negara-negara di COP26 baru akan berdampak jangka panjang, lantas bagaimana prospek emiten-emiten tambang batu bara ini dalam jangka pendek hingga menengah?

Harga batu bara terlihat sedikit menguat dalam beberapa hari terakhir sejak kejatuhannya yang dalam pada awal pekan ini. Hal ini boleh jadi menjadi sinyal kebangkitan kembali harga batu bara, meskipun masih harus diuji dalam beberapa hari ke depan.

Saat ini, belahan bumi utara tengah memasuki musim dingin. Seiring dengan itu, kebutuhan terhadap batu bara juga akan meningkat kembali. Di sisi lain, persoalan pasokan masih belum sepenuhnya selesai, terutama karena pembatasan mobilitas telah mengganggu aktivitas produksi selama ini.

Sentimen ketatnya pasokan ini lebih kuat di mata para trader ketimbang sentimen intervensi pemerintah setempat, seperti yang dilakukan China. Oleh karena itu, laju pemulihan harga batu bara mungkin saja akan berlanjut. Seiring dengan itu, prospek emiten batu bara juga masih menjanjikan.

Hanya saja, mengingat selama ini saham emiten batu bara melonjak karena ditopang oleh sentimen kenaikan harga batu bara global, penurunan harga batu bara yang terjadi saat ini tentu bukanlah kabar baik. Oleh karena itu, langkah profit taking terhadap saham-saham batu bara sangat mungkin akan berlanjut.

Lagi pula, sejauh ini level harga saham-saham batu bara masih tergolong tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan level harga terendahnya tahun ini. IDX Sector Energy sendiri tidaklah konsisten positif sejak awal tahun. Baru akhir-akhir ini saja indeks ini menghijau.

Berikut ini perkembangan harga sejumlah saham emiten batu bara yang ada di pasar:

Meskipun ada beberapa saham yang berkinerja negatif dan kembali ke level harga seperti akhir 2020 lalu, beberapa emiten yang berkinerja positif umumnya masih mencatatkan return yang sangat tinggi. Hal ini tidak terlepas dari faktor kenaikan harga batu bara yang berdampak pada kinerja keuangan mereka.

Akhir-akhir ini, panasnya kinerja saham emiten-emiten batu bara ini jugalah yang menjadi penopang utama kinerja IHSG sehingga akhirnya dapat kembali menembus level 6.600-an. Seiring dengan dinamika yang kembali terjadi di pasar batu bara, IHSG pun kini cenderung kembali konsolidatif atau berfluktuasi di kisaran yang sama.

Mengingat COP26 yang masih berlangsung serta harga batu bara yang sudah jauh dari level rekornya, tampaknya pelaku pasar saat ini masih cenderung wait and see terhadap dinamika emiten batu bara. Oleh karena itu, aneka kemungkinan pun masih sangat terbuka bagi emiten-emiten di sektor ini.