Mengintip Portofolio Saham Milik Tersangka Benny Tjokro
PENGUSAHA properti dan investor saham, Benny Tjokrosaputro ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung karena kasus yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada Selasa, 14 Januari 2020.
Penahanan itu merupakan bagian dari proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung setelah kasus gagal bayar Jiwasraya mencuat di publik. Selain Bentjok, begitu nama Benny biasa disebut, ada sejumlah orang lain yang ditahan.
Benny ditangkap oleh Kejaksaan Agung karena diduga melanggar Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam kasus dugaan korupsi di perusahaan asuransi Jiwasraya.
Seperti diketahui, saham perusahaan milik Benny yaitu PT Hanson International Tbk. dibeli oleh Jiwasraya. Selain Jiwasraya, perusahaan asuransi sosial yang mengelola dana pensiun prajurit TNI/Polri yaitu Asabri juga membeli saham MYRX, kode untuk saham Hanson.
Siapa Benny?
Benny adalah pengusaha asal Solo, Jawa Tengah yang merupakan putra dari Handoko Tjokrosapoetro sekaligus cucu Kasom Handoko Tjokrosapoetro, pengusaha batik pendiri merek Batik Keris, yang juga dikenal sebagai pengembang.
Lulus dengan gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Trisakti pada 1995, Bentjok dikenal sebagai salah satu pengusaha yang memiliki sejumlah perusahaan yang sahamnya diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia. Pada 2018, Benny masuk ke dalam salah satu jajaran orang terkaya di Indonesia versi majalah internasional, Forbes.
Berdasarkan data Bloomberg, Bentjok tercatat sebagai komisaris di sejumlah perusahaan terbuka. Di samping itu, dia memegang sejumlah saham perusahaan. Harga dari sebagian saham yang terlanjur melekat dengan nama Bentjok itu kini terkapar di level Rp50 atau batas paling bawah harga saham di Bursa Efek Indonesia.
Berikut ini sejumlah saham yang dimiliki oleh Benny yang terekam di data kepemilikan efek yang dirilis oleh Bursa Efek Indonesia dan laporan tahunan sejumlah perusahaan.
NUSA: Sinergi Megah Internusa
Sinergi Megah Internusa adalah perusahaan yang berusia relatif muda karena didirikan sejak 2014. Berdasarkan laporan tahunan 2018, Sinergi Megah adalah perusahaan yang mengelola hotel Lafayette Boutique Hotel di Yogyakarta.
Pada 2017, perusahaan mengelola akuisisi PT Mulia Manunggal Karsa yang memiliki aset tanah di Batam seluas kurang lebih 20 hektar yang direncanakan akan dikembangkan sebagai kompleks hunian eksklusif yang dilengkapi dengan private pool dan mini golf beserta dengan seluruh fasilitas penunjang lainnya dengan menggunakan nama “Batam Bay”.
Empat tahun setelah pendirian perusahaan, Sinergi Megah Internusa menjual sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada Juni 2018 dengan kode NUSA. Harga saham ketika pencatatan saham perdana (IPO) sebesar Rp150 per lembar.
Beberapa hari setelah IPO, harga saham NUSA melonjak hingga Rp540 per lembar pada November 2018 atau meningkat sekitar 260% dibandingkan dengan Rp150 pada saat pencatatan saham di hari perdana.
Bagaimana nasib saham NUSA setelah itu? Setelah mencapai harga tertingginya di Rp540, saham NUSA perlahan-lahan anjlok ke level Rp100 per lembar. Sejak November 2019 sampai tulisan ini ditulis pada 16 Januari 2020, harga saham NUSA tidur di level terendah di Rp50 per lembar.
Berdasarkan laporan tahunan 2018, Bentjok memiliki 646 miliar lembar saham NUSA atau sekitar 83,93% seluruh saham yang beredar. Sebagai pemegang saham pengendali, Bentjok sekaligus menjabat sebagai Komisaris Utama Sinergi Megah Internusa.
Grafik saham NUSA dalam beberapa tahun terakhir. (Grafik dari Yahoo Finance)
MYRX: Hanson International
Selain Sinergi Megah Internusa, Benny juga memiliki saham Hanson International. Berdasarkan sejarahnya, Hanson semula merupakan perusahaan tekstil bernama PT Mayertex Indonesia. Pada 1997, Mayertex mengubah nama menjadi Hanson.
Dalam perkembangannya, Hanson merambah wilayah bisnis lainnya yaitu properti setelah membeli 3.000 hektar lahan. Pada saat ini, seluruh kegiatan usaha perseroan dilaksanakan oleh anak perusahaannya, PT Mandiri Mega Jaya (MMJ). MMJ menjalankan usaha di bidang pembangunan sebagai pengembang yang meliputi perencana, pelaksanaan, dan pemborongan.
MMJ mengembangkan kawasan perumahan (real estate), kawasan industri, gedung apartemen, kondominium, perkantoran, pertokoan beserta fasilitas-fasilitasnya. MMJ saat ini membawahi sebanyak 16 anak usaha, yang seluruhnya bergerak di bidang properti
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan per 30 September 2019, Bentjok memegang saham seri C Hanson (kode saham MYRX) sebesar 8,077%. Di perusahaan itu, Bentjok itu menjabat sebagai Direktur Utama Hanson International.
Saham Hanson terlanjur identik dengan nama Bentjok. Saham ini pula yang dibeli oleh Jiwasraya dan Asabri. Kejatuhan harga saham MYRX ini menjadi salah satu faktor yang membuat portofolio dua perusahaan asuransi milik negara itu menjadi “terbakar”.
Pada 16 Januari 2020, harga saham MYRX tersungkur di level Rp50 per lembar.
Grafik saham MYRX dalam beberapa tahun terakhir. (Grafik dari Yahoo Finance)
MABA: PT Marga Abhinaya Abadi Tbk
Berdasarkan laporan registrasi pemegang saham, Bentjok juga tercatat menjadi pemegang saham PT Marga Abhinaya Abadi Tbk. dengan porsi kepemilikan sekitar 5,25%. Marga Abhinaya Abadi adalah perusahaan yang bergerak di bidang properti.
Hotel yang dimiliki oleh Marga Abhinaya Abadi Tbk antara lain Samali Hotel. Perusahaan ini juga mengelola kantor dan apartemen di berbagai daerah di Jawa.
Perusahaan ini IPO dengan harga Rp112 per saham pada Juni 2017. Beberapa bulan kemudian atau Desember 2017, saham perusahaan yang dikenal dengan kode MABA itu pernah mencapai level Rp2.090 per lembar.
Setelah itu, saham MABA terjun bebas ke Rp500 per lembar dan terus turun dalam periode 2018-2019. Sama seperti NUSA dan MYRX, harga saham MABA pada 16 Januari 2020 masih tiarap di level Rp50 per lembar.
Grafik saham MABA dalam beberapa tahun terakhir. (Grafik dari Yahoo Finance)
SIMA: Siwani Makmur Tbk.
Berdasarkan laporan registrasi pemegang saham, Bentjok juga tercatat menjadi pemegang saham PT Siwani Makmur Tbk. dengan porsi kepemilikan sekitar 5,67%.
Berdasarkan laporan tahunan perseroan pada 2018, Siwani Makmur bergerak dalam bidang usaha manufacturing yang memproduksi berbagai kemasan fleksibel bagi industri-industri yang membutuhkannya.
Pelanggan perseroan antara lain berasal dari industri perlengkapan rumah tangga seperti sabun detergen, industri bahan makanan seperti mie instan, kopi,coklat dan minyak goreng, industri obat-obatan seperti jamu dan suplemen.
Pada 2017, saham SIMA pernah mencapai harga Rp540. Setelah itu, saham perusahaan kemudian “terkapar”. Berselang beberapa bulan, saham SIMA kembali menanjak ke harga Rp400 per lembar pada Februari 2019. Setelah itu, lambat laun saham SIMA longsor dan terjerembab di harga Rp50 sampai 16 Januari 2020.
Grafik saham SIMA dalam beberapa tahun terakhir. Grafik dari Yahoo Finance
Saham Gocap
Dari berbagai saham yang dikoleksi oleh Bentjok, sebagian besar kini masuk ke dalam kategori saham gocap atau saham dengan harga Rp50 per lembar. Harga saham Rp50 per lembar menunjukkan investor “tidak menghargai” saham tersebut.
Tentu saja, harga saham itu bisa bangkit karena sentimen tertentu atau bisa pula tetap terkapar dalam waktu yang panjang. Saham gocap setidaknya menunjukkan minimnya minat investor terhadap saham tersebut.
Apakah sikap itu dipengaruhi sentimen seorang Bentjok atau dipengaruhi kinerja perusahaan tersebut? Setiap investor punya alasannya masing-masing.
Date: