Menaruh 100% Dana di Saham, Bijakkah?
[Waktu baca: 5 menit]
Investasi adalah keputusan strategis. Artinya, keputusan untuk menempatkan dana pada pilihan instrumen investasi tertentu perlu dilandasi oleh perhitungan yang matang serta pengetahuan yang memadai tentang tiap instrumen yang dipilih.
Bahkan, setelah memilih instrumen tertentu pun, seorang investor masih harus lebih jeli lagi menentukan produk apa dari jenis investasi itu yang akan dipilihnya. Jika kamu memilih investasi saham, lalu saham perusahaan apa yang akan kamu pilih? Apa alasannya?
Jika memilih obligasi, obligasi mana yang kamu pilih? Obligasi negara atau obligasi korporasi? Berapa tenor yang kamu pilih? Apa alasannya?
Dalam bukunya yang terkenal, yakni The Intelligent Investor, Benjamin Graham mengungkapkan bahwa karakteristik dasar suatu portofolio investasi biasanya ditentukan oleh posisi dan karakteristik pemiliknya. Investasimu ditentukan oleh karakter pribadimu.
Graham tidak percaya dengan prinsip sederhana high risk high return. Baginya, target return seharusnya bergantung pada tingkat kecerdasan yang ingin dan sanggup dihimpun oleh investor dalam menjalankan investasinya.
Return minimum akan diterima oleh investor pasif yang menginginkan dua hal: keamanan dan kebebasan dari rasa takut. Return maksimum akan diterima oleh investor yang awas dan berani serta menggunakan segenap kecerdasan dan kecakapannya.
Saham sering dianggap sebagai instrumen paling berisiko. Namun, tingkat risiko berinvestasi di saham akan berbeda antara seorang investor cerdas dengan seorang investor yang kurang berpengalaman dan emosional.
Graham, yang adalah guru dari investor kawakan dunia saat ini, yakni Warren Buffett, memberikan prinsip dasar 50 : 50 antara instrumen saham dan obligasi. Artinya, dari total investasimu, kamu sebaiknya membagi secara merata antara penempatan di saham dan obligasi.
Dirinya tidak menganjurkan untuk memiliki salah satu dari kedua jenis instrumen itu lebih dari 75% dari total portofolio investasi. Berikut ini kalimat terkenal Graham:
“Secara umum, investor jangan memiliki ekuitas (saham) lebih dari setengah kepemilikan, kecuali dia sangat yakin akan posisi sahamnya dan yakin bahwa dirinya bisa menonton dengan tenang terjadinya penurunan pasar seperti pada 1969-1970.”
Nah, tahun ini penurunan pasar kembali terjadi, meskipun kini pasar mulai kembali membaik. Ini menjadi periode ujian penting bagi investor-investor sejati.
Pesan Graham ini terbukti tetap relevan dan terbukti pula kebenarannya setelah pasar melewati berbagai periode krisis. Sejarah berulang, tetapi sifat manusia cenderung tidak berubah. Warren memuji buku Graham tersebut sebagai buku investasi terbaik yang pernah ditulis.
Dalam pernyataan di atas, Graham memberikan pengecualian, bahwa seorang investor boleh memiliki saham lebih dari 50% dari total portofolio investasinya. Syaratnya, investor tersebut harus sangat yakin akan posisi sahamnya dan mampu mengendalikan emosinya ketika menghadapi kejatuhan pasar.
Ini syarat yang tidak pernah mudah.
Sangat yakin akan posisi saham artinya kamu memahami dengan sungguh-sungguh fundamental dan prospek bisnis dari emiten yang sahamnya kamu beli. Artinya, kamu sudah cukup banyak melakukan analisis mendalam terhadap kinerja keuangan historis, rencana bisnis, peluang masa depan, kondisi industri dari emiten itu, karakteristik manajemen, dan kondisi ekonomi global dan regional.
Sementara itu, mampu mengendalikan emosi artinya kamu mampu tetap berpegang teguh pada hasil analisamu dan tidak tergoda untuk segera mengalihkan investasimu karena gejolak pasar, baik sesaat maupun untuk periode yang cukup panjang. Ini justru lebih sulit.
Dalam edisi terbaru, buku The Intelligent Investor turut memuat komentar dari seorang mantan editor senior di Forbes, Jason Zweig, tentang prinsip-prinsip dasar yang diungkapkan oleh Graham.
Kita dapat menggunakan komentar Zweig di buku tersebut untuk menentukan, apakah bijak bagi kita untuk menempatkan 100% investasi kita di saham.
Dalam hal ini, meskipun kamu mendiversifikasikan portofoliomu dalam berbagai saham emiten, tetapi selama semua investasimu kamu tempatkan di saham, artinya kamu tidak sedang benar-benar mendiversifikasikan portofoliomu.
Zweig mengatakan bahwa untuk sebagian kecil investor, portofolio 100% saham bisa jadi masuk akal, tetapi ada syarat yang harus dipenuhi. Berikut ini syaratnya:
Sudah punya dana darurat
Pasar saham bisa berbalik arah secara mendadak tanpa peringatan. Kamu perlu memastikan bahwa kondisi keuanganmu tidak terlalu terganggu dengan perubahan tiba-tiba itu. Artinya, kamu tidak sedang mengandalkan investasi sahammu untuk menopang hidupmu sehari-hari.
Kamu perlu memiliki cadangan dana darurat setidaknya untuk menopang hidupmu dan keluargamu selama setahun.
Tidak kapok dengan saham
Kamu dapat menempatkan seluruh danamu di saham jika kamu memang memiliki rencana untuk berinvestasi di saham untuk jangka waktu yang lama, setidaknya selama 20 tahun ke depan. Dengan demikian, gejolak sesaat yang terjadi tahun ini tidak mengaburkan visimu 20 tahun ke depan.
Telah lolos dari kejatuhan pasar sebelumnya
Kamu sudah punya pengalaman melewati periode krisis dan kejatuhan pasar di tahun sebelumnya dan telah mampu melewatinya dengan tenang dan selamat. Jika pada periode krisis tersebut kamu menemukan dirimu gelisah atau berakhir kacau dengan investasi sahammu, kemungkinan besar hal itu akan terulang pada krisis selanjutnya di masa mendatang.
Tidak menjual sahammu ketika pasar jatuh
Kamu memiliki kepercayaan diri yang besar terhadap dirimu dan hasil analisamu atas saham perusahaan yang kamu pilih, sehingga kamu tetap memegang sahammu, meskipun pasar jatuh di masa lalu. Jika kamu terbukti memiliki daya tahan mental itu, kamu siap untuk menjadi investor saham sejati.
Lebih agresif membeli ketika pasar jatuh
Kamu memiliki prinsip bahwa pasar yang jatuh justru adalah saat yang tepat untuk menambah kepemilikan saham dan kamu benar-benar melakukannya, tetapi tentu dengan perhitungan yang matang. Ketika pasar jatuh, harga saham-saham bagus bisa turun sangat tajam dan memberikan diskon yang besar dibandingkan valuasi harga wajarnya.
Sudah memiliki strategi investasi yang tepat
Artinya, kamu tahu dengan baik bagaimana strategi yang benar di pasar saham, yakni kapan harus membeli dan kapan harus menjual sahammu. Kamu tidak bergantung pada spekulasi dan irasionalitas pasar, tetapi berpegang teguh pada rencana yang sudah kamu susun.
Dalam hal ini, kamu tahu kapan saat yang tepat untuk menjual, berapa tingkat keuntungan wajar yang bisa kamu dapatkan, dan kapan saat terbaik untuk membeli. Kamu tahu kapan saat yang tepat untuk “memetik laba” dari hasil investasimu.
Kamu tidak bergantung pada prinsip sederhana untuk membeli saat pasar jatuh dan menjual saat pasar naik, tetapi mengetahui dengan persis alasan di baliknya dan saham mana yang paling tepat untuk dibeli.
Nah, itu dia syarat yang harus kamu penuhi jika ingin menempatkan seluruh investasimu di saham. Pada dasarnya, investasi saham membutuhkan kecerdasan finansial yang memadai, sehingga kamu perlu selalu belajar.
Namun, selain kecerdasan finansial, yang lebih penting justru adalah kecerdasan emosional, untuk dapat mengendalikan diri di saat pasar mulai irasional.
Date: