Menanti Berakhirnya Gerak Konsolidasi IHSG
Kuartal ketiga tahun ini sudah memasuki garis akhir. Sepanjang periode ini kinerja pasar saham ditandai oleh IHSG yang cenderung bergerak konsolidatif, atau relatif sideways dan stagnan di level tertentu. Kondisi ini sejatinya tidak banyak berubah dibandingkan dengan yang terjadi sejak awal tahun ini.
Pada akhir kuartal II/2021 lalu IHSG ditutup di level 5.985,49, sedangkan pada awal pekan ini, Senin (04 Oktober 2021) IHSG ada di level 6.322,06. Jika dibandingkan dengan posisi akhir kuartal II/2021, IHSG kini tercatat meningkat 5,62%.
Meskipun demikian, ini bukanlah capaian yang mengesankan. IHSG pernah bergerak lebih tinggi dari itu pada tahun ini, tetapi akhirnya turun kembali. Level tertinggi yang sempat dicapai IHSG tahun ini terjadi pada awal tahun, tepatnya 13 Januari 2021, di level 6.435,21.
Namun, capaian IHSG saat ini juga tidak begitu buruk, mengingat indeks komposit ini pernah juga menyentuh titik terendah di level 5.760,58 pada 19 Mei 2021.
Selama periode kuartal III/2021, IHSG sempat meningkat sampai 6.205,42 pada 5 Agustus 2021. Namun, setelahnya IHSG turun lagi, bahkan sempat kembali ke bahwa level 6.000-an sebelum akhirnya bertahan di kisaran 6.000—6.100. IHSG seperti enggan beranjak dari level tersebut.
Rentang pergerakan IHSG yang sangat lebar pada tahun ini menunjukkan bahwa kondisi pasar sepanjang tahun ini masih sangat fluktuatif. Kondisi pasar masih ditandai oleh ketidakpastian dan para investor cenderung belum mantap dalam mengambil keputusan investasi.
Kondisi yang sama masih berlangsung sepanjang kuartal III/2021, meskipun tingkat fluktuasinya tidak selebar sebelumnya. IHSG justru cenderung konsolidatif pada kuartal ini dan menantikan sentimen baru yang cukup kuat untuk mendorong IHSG keluar dari level konsolidatif ini.
Dalam waktu dekat kuartal IV/2021 bakal segera dimulai. Umumnya, sentimen akhir tahun relatif lebih banyak ketimbang kuartal ketiga. Pasar di akhir tahun biasanya ditandai oleh sentimen peningkatan konsumsi jelang hari raya dan liburan Natal dan Tahun Baru serta adanya window dressing.
Aktivitas konsumsi cenderung meningkat di akhir tahun, demikian pula penyerapan anggaran negara dan pencairan termin pembayaran berbagai proyek. Dengan demikian, uang beredar di masyarakat menjadi lebih tinggi sehingga berpotensi untuk turut mengalir ke pasar saham.
Sentimen Terkini IHSG
Akhir-akhir ini, pergerakan IHSG ditandai oleh sentimen penantian terhadap kebijakan the Fed terkait tapering off dan potensi terjadinya taper tantrum akibat kebijakan itu.
Selain itu, sentimen lain yang juga tengah hangat yakni potensi krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh gagal bayar utang perusahaan properti kelas kakap di China, yakni Evergrande, serta tentu saja perkembangan pandemi.
Secara singkat, kebijakan tapering off berarti pengurangan nilai suntikan dana segar oleh the Fed ke pasar melalui pembelian surat utang yang diterbitkan negara atau korporasi. Keputusan ini dilakukan seiring dengan kondisi ekonomi yang dinilai sudah lebih baik, sehingga stimulus dapat dikurangi.
Seiring dengan turunnya permintaan terhadap instrumen surat utang negara Amerika Serikat atau US Treasury oleh the Fed, harga instrumen itu pun akhirnya turun dan mendorong yield-nya naik.
Kondisi ini justru menarik bagi investor untuk membelinya, sebab harganya terdiskon dan yield atau imbal hasilnya menjadi lebih tinggi. Lagi pula, instrumen ini dipersepsikan sebagai instrumen yang paling aman di dunia.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan kepanikan atau tantrum di kalangan investor global sehingga terjadi tekanan jual di pasar negara-negara berkembang seiring dengan keputusan investor untuk kembali ke Amerika Serikat.
Jika terjadi, harga instrumen di negara-negara berkembang akan turun, demikian pula nilai tukar mata uang menjadi anjlok. Ini kondisi yang sangat berbahaya, sebab stabilitas nilai tukar mata uang sangat signifikan pengaruhnya bagi kinerja perekonomian suatu negara.
Dalam rapat the Fed bulan ini, bank sentral Paman Sam itu sudah memberikan sinyal akan mulai melakukan tapering pada akhir tahun ini. Namun, sebagaimana pengalaman tapering pada 2013 lalu, biasanya taper tantrum akan terjadi sebelum aksi tapering terjadi.
Kenyataannya, hal itu belum terjadi atau justru tidak terjadi. Investor asing masih tercatat net buy di pasar saham Indonesia senilai Rp24,84 triliun sepanjang tahun ini atau secara year-to-date (YtD). Dalam 3 bulan terakhir, nilai net buy investor asing tercatat Rp10,93 triliun.
Sementara itu, sentimen gagal bayar Evergrande yang bernilai jumbo, lebih dari US$300 miliar, memang berpotensi akan berdampak sistemik. Namun, sejauh ini pelaku pasar juga menilai persoalan ini dapat ditangani dengan baik oleh pemerintah China sehingga dampaknya tidak akan berkepanjangan.
Di sisi lain, pasar modal Indonesia saat ini lebih dikendalikan oleh investor lokal, sebab transaksi lokal kini mencapai tiga perempat dari total transaksi harian. Hal ini menjadikan aksi investor asing di pasar relatif tidak lagi berdampak signifikan terhadap indeks dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Di dalam negeri, kondisi pandemi yang makin terkendali memberikan optimisme bahwa kondisi ekonomi akan pulih kembali. Seiring dengan itu, pembatasan mobilitas masyarakat pun mulai diperlonggar kembali.
Meskipun masih tetap waspada terhadap potensi gelombang berikutnya, setidaknya ada harapan bahwa kondisi pandemi ini bakal segera terkendali, apalagi vaksinasi terus meluas.
Prospek Pergerakan IHSG Kuartal IV/2021
Mengingat pasar saham sangat ditandai oleh ketidakpastian, sejatinya sangat sulit untuk memperkirakan potensi pergerakannya dalam jangka waktu yang cukup panjang, bahkan untuk periode satu kuartal ke depan.
Sejauh ini IHSG memang masih minim sentimen positif. Setelah pengumuman kinerja keuangan kuartal kedua berakhir pada Juli dan Agustus, praktis tidak banyak sentimen lain yang menjadi penopang indeks. Kini pasar kembali menunggu rilis kinerja keuangan emiten untuk periode kuartal ketiga.
Meskipun demikian, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, biasanya potensi penguatan indeks di akhir tahun relatif lebih tinggi ketimbang kuartal ketiga, terutama dengan adanya momentum window dressing.
Sejumlah investor biasanya berupaya memperbaiki portofolio mereka pada akhir tahun dan mendorong kenaikan kinerja pasar. Dengan demikian, laporan kinerja portofolio akhir tahun mereka menjadi lebih baik di mata pemegang saham mereka.
Jika menimbang hal tersebut, maka kondisi pasar yang saat ini sedang konsolidatif justru menjadi peluang yang baik bagi investor untuk mencoba memasuki pasar. Dengan begitu, investor berpeluang menikmati keuntungan saat akhir tahun terjadi kenaikan kinerja akibat window dressing.
Jika berkaca pada kondisi terkini, peluang bagi IHSG untuk kembali menguat pada akhir tahun masih cukup besar, tentu asalkan selama tidak ada kejutan baru yang buruk.
Beberapa hal yang dapat dijadikan tumpuan harapan yakni suku bunga yang masih tetap rendah, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, perkembangan pandemi yang membaik, level PPKM yang lebih longgar, kondisi likuiditas pasar yang berlimpah, dan perekonomian yang secara umum membaik.
The Fed memang mengonfirmasi akan melakukan tapering off, tetapi masih menunggu indikator lanjutan yang menunjukkan ekonomi siap untuk menerima pengurangan stimulus. Meskipun demikian, sentimen ini sudah priced-in dalam pergerakan IHSG sebelumnya.
Beberapa manajer investasi bahkan masih optimistis IHSG akan meningkat ke atas level 6.500 pada sisa tahun ini. Hal ini terutama ditopang oleh ekspektasi bahwa saham-saham big cap yang selama ini melemah akan segera meningkat karena prospek perbaikan kinerja mereka dan perekonomian secara umum.
Sepanjang tahun ini, pasar saham lebih banyak digerakan oleh sentimen-sentimen yang bersifat euforia, seperti sentimen perbankan digital dan teknologi. Hal ini terlihat dari lonjakan harga yang fantastis pada saham-saham bank kecil yang mengaku akan menjadi bank digital serta pada sejumlah emiten teknologi.
Sementara itu, emiten-emiten big cap dan blue chip cenderung lebih dihindari sebab lebih merepresentasikan kondisi ekonomi yang memang masih tertekan. Namun, akhir-akhir ini mulai terlihat adanya gejala sebaliknya. Saham-saham teknologi mulai mendingin dan saham blue chip bangkit.
Jika kondisi ini berlanjut, tentu peluangnya makin besar bagi IHSG untuk naik lebih tinggi lagi, sebab saham-saham blue chip memiliki eksposur besar terhadap IHSG. Jika harga mereka naik, kinerja IHSG pun akan terpengaruh dengan signifikan.
Sebagai gambaran, sepanjang tahun ini IHSG tercatat sudah meningkat 2,40% YtD, tetapi ini ditopang oleh saham-saham small-mid cap (SMC), terlihat dari kinerja indeks IDX SMC Composite yang naik 17,01% YtD. Sementara itu, indeks-indeks yang berisi saham blue chip umumnya masih merah.
Demikian pula indeks Papan Pengembangan (Development Board) yang berisi saham-saham lapis kedua dan ketiga berhasil naik 53,46% YtD, sedangkan indeks Papan Utama (Main Board) justru turun 5,13%. Berikut ini data kinerja sejumlah indeks utama di Bursa Efek Indonesia:
Jika menimbang bahwa saham-saham blue chip umumnya merupakan saham-saham yang secara fundamental lebih baik dan kini harganya sedang terdiskon, peluangnya justru lebih terbuka bagi investor saat ini untuk menjajaki saham-saham ini.
Untuk investor dengan horizon investasi jangka panjang, misalnya di atas 5 tahun, kondisi pasar saat ini memang menjadi lebih menarik untuk segera mengambil posisi. Investor dapat menggunakan strategi dollar cost averaging atau berinvestasi rutin tiap bulan.
Namun, masih tingginya volatilitas mungkin juga agak mengganggu bagi investor lainnya. Dalam hal ini, sebaiknya diversifikasi portofolio ke instrumen lain yang lebih stabil, seperti pasar uang atau surat utang juga dapat dilakukan.
Date: