Koperasi: Jalan Tengah Ekonomi Nasional Ala Hatta

Date:

Munculnya gerakan ekonomi kerakyatan dalam bentuk badan atau disebut koperasi di Tanah Air, bukan dicipta, didirikan atau dicetus Bung Hatta. Tapi semua bermula di sekitar 1895. Pada tahun itu, R. A. Wirjaatmadja, seorang Patih Purwokerto di masa kepemimpinan Adipati Mertadiredja II, hendak membuka suatu usaha di bidang keuangan. Dibantu seorang Belanda sekaligus Asisten Residen Purwokerto, E. Sieberg, ia mendirikan Hulp en Spaar Bank (Bank Pertolongan dan Simpan).

Konon, pada mulanya mekanisme kerja Hulp en Spaar Bank sangat mirip koperasi. Menurut cerita Wahyudi Yuda Subrata, salah satu cicit Wirjaatmadja, pada Tabloid Pamor edisi 14 November 2015, pembuatan Hulp en Spaar Bank bertujuan supaya para priyayi di sana tak lagi meminjam uang ke rentenir. Bergaji rendah di pemerintahan Hindia Belanda, banyak priayi menderita lantaran terjerat bunga tinggi yang dipatok “lintah darat” ketika itu.

Kepada Wirjaatmadja, De Wolff van Westerrode, pengganti Sieberg, dua tahun setelah itu menghimbau bisnis keuangan Hulp en Spaar Bank agar dikembangkan lebih lanjut ke sektor pertanian. Tapi berbeda dengan sebelumnya, oleh Westerrode sistem operasi Hulp en Spaar Bank dibuat seperti bank pada umumnya.

Maklum, kala itu pembuatan koperasi tak menuai dukungan dari pemerintah kolonial di tanah jajahan dan kebetulan Westerrode pernah belajar soal bank kerakyatan (volksbank) di Jerman. Merujuk banyak laporan sejarawan, bermula dari Hulp en Spaar Bank jugalah kemudian Bank Rakyat Indonesia (BRI) didirikan.

Dapat dikatakan, proses kerja mirip koperasi pada lembaga keuangan yang dibikin Wirjaatmadja itu sama sekali tak diperhatikan, hingga baru mendapat momentumnya di awal-awal abad 20-an. Adalah Boedi Oetomo yang mewarisi ide itu di 1908. Bukan lagi cuma mirip koperasi, tak sedikit organisasi pemuda itu membangun koperasi usaha dan rumah tangga dalam arti sesungguhnya.

Sarekat Dagang Islam (SDI), di 1913, memperjuangkan hal serupa. Koperasi-koperasi yang ditangani SDI semasa itu lebih tertutup, dengan mayoritas anggota ialah para pedagang batik. Gerakan koperasi selanjutnya diteruskan Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada 1929, dua tahun sesudah partai ini dibentuk, PNI bahkan telah menggelar kongres koperasi yang pertama. Kaprah diketahui, di masa-masa ini, Bung Hatta hampir selalu terlibat dalam berbagai kegiatan PNI termasuk pengelolaan koperasi, sebab ia merupakan salah seorang anggota partainya.

Seperti dalam buku Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan, Lily Gamar Sutantio memberi kesaksian, selama masa pengasingannya pada periode 1930-an, Hatta berhasil menghidupkan koperasi di tanah Banda Neira. Dalam tata kelola, di sana ia dibantu Sutan Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri.

Pada buku yang ditulis Rosihan Anwar itu, Lily Gamar yang pernah dididik langsung Bung Hatta tersebut mengisahkan, tiga tokoh nasional itu ialah donatur tetap untuk organisasi sosial dan pendidikan yang mereka dirikan sendiri di Banda Neira. Diberi nama dengan Perkumpulan Banda Muda (Perbamoe), dari situ Hatta mulai mengajarkan model urundaya masyarakat demi kesejahteraan bersama.

“Kita akan memonopoli semua hasil bumi yang turun dari perahu kemudian didistribusikan pada masyarakat setempat,” kenang Lily Gamar mengulang ucapan Bung Hatta di buku yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2010 itu. Hal itu tak mengherankan berhubung Hatta betul-betul sudah punya bekal tentang ilmu perkoperasian yang ia peroleh di Skandinavia.

Di tahun 1925 ia mengenyam pendidikan di sekolah ekonomi di Rotterdam, dan sepanjang masa ini pula ia berkeliling ke Denmark juga Swedia untuk belajar koperasi. Sepulangnya dari negeri penjajah, acap kali ia turun gunung mengaitkan diri ke problem ekonomi akar rumput. Hingga puncaknya pada 17 Juli 1953, berkat dedikasi seriusnya pada koperasi ini, ia digelari sebagai “Bapak Koperasi Indonesia” di Kongres Koperasi Indonesia yang diadakan di Bandung itu.

Memang sedemikian besarnya keyakinan Bung Hatta pada koperasi. Bahkan, dengan nada lantang dan mantap ia berujar, koperasi merupakan jalan tengah yang harus diambil Indonesia sebagai sistem ekonomi. “Daripada harus memilih sistem ekonomi pasar bebas (capitalism) atau terpusat (communism). Sebab, keduanya sama-sama akan melahirkan bencana,” tulis Benjamin Higgins dalam Hatta and Co-operatives: The Middle Way for Indonesia?, yang ia kutip dari bibir Hatta langsung.

Tapi lebih dari itu. Menurut Hatta, ada sejumlah alasan mengapa koperasi tepat dibuat sebagai pilihan alternatif. Di samping karena karakternya sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila, koperasi merupakan ekspresi nasionalisme Indonesia.

“Baru sejak lahirnya gerakan nasional yang dimulai dengan Budi Utomo, gagasan-gagasan kerjasama ekonomi mulai hidup di masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gerakan nasional  yang mendorong berkembangnya gerakan koperasi. Rasa kebangsaan menjadi pedomannya,” ucap Hatta yang dikutip Higgins itu.