Kegagalan Jiwasraya & Asabri, Pelajaran Berharga di Dunia Investasi
Kasus kegagalan investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri menjadi luka besar di hati banyak orang. Kasus ini sejatinya sudah tercium sejak lama, tetapi baru dua tahun belakang skandalnya terkuak publik.
Lembaga keuangan yang mestinya menjadi perisai bagi para anggotanya di periode terberat hidup mereka, justru rapuh dan menambah beban. Pembiaran terhadap berbagai macam penyimpangan di tubuh organisasi kedua lembaga itu selama bertahun-tahun akhirnya membusuk.
Kisah kegagalan Jiwasraya dan Asabri adalah kisah kegagalan di pasar modal, tidak saja kisah korupsi di tubuh manajemen dan fraud yang berlangsung bertahun-tahun. Kerugian keduanya disebabkan karena turunnya nilai aset investasi, terutama di instrumen saham.
Kedua kasus yang bahkan digadang-gadang menjadi kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia itu menunjukkan bahwa pasar modal memiliki celah yang bisa dipermainkan dengan mudah oleh oknum-oknum dengan intensi jahat untuk meraup keuntungan besar.
Selain itu, kegagalan kedua asuransi ini menjadikan citra industri asuransi nasional makin buruk, utamanya asuransi yang dikelola oleh negara. Padahal sangat sulit untuk mengembangkan literasi dan inklusi di industri ini. Saat ini, pemerintah berupaya menyembuhkan borok di kedua perusahaan ini, tetapi publik kadung ragu, akankah kasus serupa tidak bakal terulang?
Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa kegagalan keduanya tidak terlepas dari faktor politis dan tindak korupsi sejumlah pejabat yang memerah keduanya demi kantong pribadi. Hal ini kian menyurutkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga keuangan publik yang terafiliasi dengan pemerintahan.
Lebih jauh, jika terus dibiarkan, kepercayaan terhadap badan usaha milik negara (BUMN) secara umum bakal makin meredup. Sayangnya, gejala tersebut sudah lama terasa, sebab bukan kedua perusahaan ini saja yang mengalami persoalan menahun, melainkan banyak BUMN lain juga.
Pembusukan Berlangsung Lama di Jiwasraya
Proses korupsi di Jiwasraya dan Asabri bukanlah proses yang baru dimulai setahun dua tahun belakangan, melainkan belasan tahun lalu. Mari kita mulai dengan Jiwasraya.
Sejak 2006, Kementerian BUMN dan OJK telah menemukan bahwa ekuitas Jiwasraya sudah tercatat negatif Rp3,29 triliun. Perusahaan apapun, ketika ekuitasnya sudah negatif, jelas menunjukkan adanya masalah serius.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah memberikan opini disclaimer atau tidak menyatakan pendapat untuk laporan keuangan 2006-2007 Jiwasraya karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Seiring dengan itu, defisit Jiwasraya makin melebar menjadi Rp5,7 triliun pada 2008 dan Rp6,3 triliun pada 2009. Tidak ada solusi yang berarti bagi persoalan tersebut.
Upaya pembenahan melalui skema reasuransi pada 2010-2012 tampak seolah berhasil menutup defisit dan membalikkan kondisi menjadi surplus Rp1,3 triliun. Namun, solusi reasuransi hanya merupakan penyelesaian sementara atas masalah yang ada.
Keuntungan Jiwasraya diyakini bersifat semu, bukan keuntungan yang ekonomis. Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) kala itu menolak permohonan perpanjangan reasuransi.
Alhasil, pada 2012 muncullah solusi yang menjadi biang keladi Jiwasraya gagal bayar saat ini, yakni terbitnya izin untuk produk JS Proteksi Plan atau JS Saving Plan dari Bapepam-LK. Produk ini dipasarkan melalui kerja sama dengan sejumlah bank dalam skema bancassurance.
Produk ini laris manis sebab menawarkan bunga tinggi, yakni 11% per tahun. Asuransi ini bersifat premi tunggal (single premi) yang dibayar di muka dengan kisaran nilai Rp100 juta hingga Rp5 miliar. Durasi kontraknya mencapai 5 tahun dan nasabah bisa mencairkan dana investasinya tiap tahun.
Dengan demikian, pendapatan premi Jiwasraya meningkat pesat sehingga diharapkan bisa mengobati boroknya. Sayangnya, bukannya menyelesaikan masalah, produk itu justru menimbulkan masalah baru di kemudian hari, sebab perseroan tak mampu memenuhi janji bunganya.
Pendapatan premi Jiwasraya membaik selama 2013-2017 karena produk ini. Pada 2017, pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun dan perseroan pun berhasil mencatatkan laba Rp2,4 triliun, naik 37,64% dari tahun 2016.
Pada 2018, kegagalan dimulai. Adanya pergantian direksi kala itu menyebabkan nasabah mulai mencium adanya kebobrokan dalam manajemen Jiwasraya.
Direksi baru melaporkan adanya kejanggalan dalam laporan keuangan 2017 yang menyebutkan adanya laba Rp2,4 triliun. Hasil audit dari PwC kemudian menemukan bahwa laba 2017 sejatinya hanya Rp428 miliar.
Khawatir uang raib, nasabah pun banyak yang mulai mencairkan JS Saving Plan mereka. Pada Oktober tahun itu, Jiwasraya gagal membayar polis jatuh tempo senilai Rp802 miliar. Perseroan memberikan solusi perpanjangan kontrak dengan iming-iming bunga roll over 7% per tahun.
Bagi yang menolak opsi itu, mereka dijanjikan dapat menarik dananya, tetapi menunggu kesediaan likuiditas di Jiwasraya. Sambil menunggu, perseroan memberikan kompensasi imbal hasil 5,75% per tahun atas dana jatuh tempo tersebut.
Sayangnya, portofolio investasi JS Saving Plan saat itu sudah menurun akibat penurunan nilai saham yang menjadi investasi JS Saving Plan, padahal sebanyak 80% dana JS Saving Plan ada di saham. Dengan demikian, jelas Jiwasraya tidak mampu memenuhi janjinya, bahkan untuk sekadar membayarkan pokok investasi JS Saving Plan, mereka harus garuk-garuk kepala.
Kejanggalan investasi dalam JS Saving Plan belakangan diusut dan ditemukan banyak borok di dalamnya.
Jiwasraya tidak punya pilihan, mereka tidak bisa melakukan cut loss atas investasinya yang rugi, sebab jika perseroan menjual saham ketika harga sedang anjlok, perusahaan dianggap telah melakukan korupsi karena merugikan aset negara.
Hexana Tri Sasongko sebagai direktur utama baru Jiwasraya kala itu menyebutkan perseroan butuh dana Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas (RBC) 120 persen.
Tak hanya itu, aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp50,5 triliun. Artinya, ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp27,24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp15,75 triliun.
Persoalan ini pun berujung ke ranah hukum, berdasarkan hasil penyelidikan, Kejaksaan Agung resmi menetapkan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat sebagai tersangka atas kasus Jiwasraya. Keduanya dijatuhi hukuman seumur hidup serta denda penggantian kerugian negara senilai Rp16,8 triliun. Benny Tjokro didenda Rp6,08 triliun, sedangkan Heru Rp10,73 triliun.
Bagaimana dengan Asabri?
Pada kasus Asabri, penyebabnya tidak lain karena kolusi antara sejumlah pihak terkait. Tujuannya sama, memperkaya keuangan pribadi dengan cara manipulasi laporan kinerja keuangan perusahaan. Persoalannya pun sama, yakni kegagalan investasi di pasar saham.
Bahkan, oknum yang menjadi biang kejahatannya pun sama, yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat. Kasusnya dimulai dalam kurun waktu yang kurang lebih sama, yakni 2012. Namun, kerugiannya ditaksir jauh lebih besar ketimbang Jiwasraya, yakni mencapai Rp23,7 triliun.
Akar persoalannya serupa, yakni borok menahun yang tak kunjung menemukan jalan keluar. Menurut manajemennya, Asabri mulai mengalami negative underwriting sejak 1976. Artinya, beban pembayaran klaim dan manfaat polis Asabri selalu lebih tinggi ketimbang penerimaan preminya setiap tahun. Alhasil, demi keluar dari masalah itu, solusi jalan pintas pun ditempuh, yakni memanfaatkan celah pasar modal.
Pada saat itu, direktur investasi dan keuangan Asabri bersepakat dengan Heru, Benny dan Lukman Purnomosidi yang menunjuk diri sebagai konsultan investasi atau manajer investasi. Sejak saat itu hingga 2019, ketiga berperan sebagai pengelola dana investasi Asabri.
Mereka menukar saham-saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham perusahaan yang terafiliasi dengan mereka. Namun, harga jual saham-saham lama Asabri berada di bawah harga perolehannya, sehingga merugikan Asabri.
Setelah saham-saham perusahaan mereka menjadi milik Asabri, saham-saham tersebut lalu dikendalikan oleh ketiganya dan ditransaksikan berdasarkan kesepakatan dengan direksi Asabri. Saham-saham itu lalu digoreng sehingga harganya meningkat pesat dan terkesan likuid.
Dengan begitu, kinerja portofolio Asabri terlihat seolah-olah baik, padahal sejatinya perusahaan ini dirugikan setelah menjual portofolio sebelumnya di bawah harga perolehan.
Untuk menghindari kerugian Asabri, saham-saham lama Asabri dibeli lagi atas nama ketiga oknum tersebut untuk selanjutnya dijual kembali kepada Asabri melalui instrumen reksa dana yang juga dikendalikan oleh ketiganya.
Sayangnya, belakangan saham-saham yang terafiliasi dengan ketiga oknum tersebut pun rontok sehingga merontokkan seluruh portofolio Asabri. Selain ketiga oknum tersebut, Kejaksaan Agung juga menetapkan lima tersangka lain dari kalangan Asabri. Hingga kini, proses hukum masih berlangsung.
Pelajaran di Dunia Investasi
Kasus investasi di Jiwasraya dan Asabri membuktikan bahwa pasar saham sangat rentan terhadap aksi fraud. Memang cukup sulit untuk membuktikan ada praktik goreng-menggoreng saham. Apalagi selama pembentukan harga terjadi akibat mekanisme permintaan dan penawaran, maka harga yang terbentuk adalah sah.
Padahal, jika di telisik, tidak jarang kenaikan harga saham tertentu hingga menyentuh batas tertinggi dan terkena auto rejection atas (ASA) hanya semata-mata disebabkan oleh segelintir transaksi dengan nilai mini.
Ketika saham emiten tertentu dikendalikan oleh segelintir oknum, relatif tidak sulit untuk memanipulasi transaksi dan mengerek harga saham sesuka hati. Dengan demikian, sering sekali terlihat ada saham-saham emiten, terutama yang masih kecil, harganya dapat meningkat pesat.
Ini juga sering terjadi di kalangan emiten yang baru tercatat setelah initial public offering (IPO). Biasanya, kapitalisasi pasar saham-saham ini masih relatif kecil. Porsi saham publiknya pun terbatas dengan nilai yang tidak begitu besar. Ini menjadi sasaran ideal untuk digoreng.
Pada kasus Asabri dan Jiwasraya, skala permainannya lebih besar sebab modal yang tersedia pun besar dari hasil premi yang terkumpul secara rutin. Sayang sekali bahwa iming-iming skenario manipulasi pasar ini mudah menarik minat pejabat asuransi kala itu untuk mencari jalan pintas menyelamatkan kinerja mereka.
Kedua kasus ini sudah terbongkar dan dikutuk banyak pihak. Namun, di pasar modal hingga kini masih jamak terlihat pergerakan harga saham yang tak wajar. Dan, masih saja hal ini menarik minat banyak pihak untuk mencoba peruntungan.
Sangat sering terjadi, setelah harga saham tertentu naik berkali-kali lipat tanpa sebab musabab yang jelas, harganya kemudian berbalik turun dengan laju yang tak kalah cepatnya. Dalam dinamika itu, banyak investor yang dirugikan.
Sayangnya, transaksi tersebut sah dan investor tidak bisa menyalahkan siapapun selain mengutuk diri sendiri karena salah melangkah.
Baru-baru ini, Kementerian Keuangan pun akhirnya telah menetapkan koridor investasi bagi Asabri. Hal ini dapat menjadi petunjuk juga bagi investor pada umumnya dalam menentukan langkah investasinya.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 52/2021 tentang Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil, Pejabat Negara, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Beleid itu berlaku dalam pengelolaan dana pensiun oleh Asabri dan PT Taspen (Persero).
Pasal 16 PMK 52/2021 mengatur bahwa terdapat sepuluh instrumen investasi yang dapat dipilih Asabri, mulai dari surat berharga negara (SBN), sukuk, deposito, obligasi, medium term notes, penyertaan langsung, dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK), reksa dana, dan saham.
Sementara itu, khusus pada instrumen saham, ada tiga kriteria yang harus dituruti, yakni memiliki fundamental yang positif, prospek bisnis emiten yang positif, dan nilai kapitalisasi pasar paling sedikit Rp5 triliun.
Nilai kapitalisasi pasar menjadi penting, sebab semakin besar kapitalisasi pasar suatu emiten, relatif lebih sulit sahamnya dimanipulasi.
Sementara itu, dari 17 saham yang masih ada dalam portofolio Asabri, hanya dua saham yang memenuhi kriteria itu, yakni PT Kimia Farma Tbk. (KAEF) dan PT Indofarma Tbk. (INAF) masing-masing memiliki kapitalisasi pasar Rp17,16 triliun dan Rp8,68 triliun. Sisanya? Tak ada.
Pada akhirnya, permasalahan Jiwasraya membebani keuangan negara dan berpotensi merusak trust nasabah pada industri ini. Meski ada wacana penyertaan modal negara untuk menyelamatkan dana nasabah, nampaknya kita tetap perlu mengutuk aksi yang dilakukan oleh oknum Jiwasraya dan Asabri. Alih-alih melindungi, mari bertanya mengapa industri asuransi dan investasi selalu punya celah.
Date: