Ancaman Penurunan Kualitas Peringkat Korporasi

Date:

Besaran biaya dana atau kupon bagi penerbitan surat utang korporasi umumnya ditentukan oleh dua hal, peringkat utang korporasi dan seberapa lama tenor dari surat utang yang akan diterbitkan. 

Penetapan kupon atau besaran bunga surat utang korporasi biasanya mengacu pada kupon surat utang negara (SUN). Ini dilakukan karena korporasi memiliki risiko gagal bayar lebih tinggi ketimbang SUN. Alhasil, kupon surat utang korporasi selalu lebih tinggi daripada SUN. 

Ketentuan umum yang berlaku adalah semakin tinggi peringkat utang korporasi, semakin rendah kupon yang harus dibayar. Hal ini juga menunjukan bahwa korporasi tersebut memiliki kupon yang selisihnya tak berbeda jauh dengan kupon SUN. Peringkat surat utang sendiri ditentukan oleh lembaga pemeringkat khusus, seperti PT Pemeringkat Efek Indonesia atau Pefindo.

Di pasar global, kita mengenal lembaga rating besar seperti Standard & Poor’s, Moody’s Investor Service, dan Fitch Ratings.

Pefindo membagi kategori peringkat ini ke dalam kategori layak investasi dan tidak layak investasi. Di kategori layak investasi, peringkat membentang dari posisi tertinggi yakni idAAA hingga terendah yakni idBBB. Sementara itu, peringkat yang tidak layak investasi mulai dari idBB hingga idD (default).

Pada masing-masing kelas peringkat, biasanya ada tiga sub kelas, yakni plus, netral, dan minus, kecuali untuk idAAA dan idD. Sebagai contoh, peringkat idAA terbagi atas idAA+, idAA, dan idAA-. Sub kelas plus adalah yang tertinggi, sedangkan minus yang terendah dalam kelas tersebut.

Biasanya, korporasi hanya bisa menerbitkan surat utang baru jika mendapatkan peringkat layak investasi. Namun, seiring berjalannya waktu setelah surat utangnya terbit, kondisi korporasi dapat memburuk sehingga peringkat yang semula layak investasi akhirnya turun menjadi tidak layak investasi.

Selama periode pandemi, mayoritas korporasi telah mengalami tekanan keuangan. Ujungnya, tak mengherankan bila beberapa korporasi mengalami penurunan peringkat. Biasanya, Pefindo tidak langsung seketika menurunkan peringkat korporasi, melainkan memberikan peringatan awal.

Peringatan tersebut yakni berupa outlook. Outlook positif artinya dalam waktu dekat, sekitar 6-9 bulan ke depan, akan ada potensi kenaikan peringkat, sedangkan outlook negatif berarti sebaliknya. Sementara itu, outlook stabil berarti tidak ada potensi perubahan peringkat dalam waktu dekat.

Sebagai contoh, pada kuartal kedua tahun ini, Pefindo melakukan 55 publikasi peringkat. Dari antara 55 publikasi tersebut, sebanyak lima di antaranya adalah penurunan peringkat, sedangkan dua lainnya penurunan outlook.

Dari total pemeringkatan tersebut, sebanyak 39 peringkat memiliki outlook stabil, delapan peringkat dengan outlook negatif, empat peringkat dengan outlook credit watch negatif yang artinya berpotensi turun lebih dalam, serta empat peringkat yang tanpa outlook.

Korporasi yang turun peringkatnya misalnya PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero), keduanya sama-sama turun dari idAAA menjadi idAA+. Outlook keduanya pun masih negatif, yang artinya ada potensi penurunan lebih lanjut.

Penurunan peringkat juga terjadi pada PT Pabrik Gula Rajawali I dari idBBB+ menjadi idBBB-. Outlook-nya juga masih buruk, yakni credit watch negatif. Perum Perikanan Indonesia juga turun dari idBB+ menjadi idBB dengan outlook negatif.

Penurunan terburuk adalah pada PT Tridomain Performance Materials Tbk. yakni dari idA- menjadi idCCC dengan credit watch negatif. Penurunan peringkat sedalam ini biasanya terjadi karena buruknya kondisi korporasi yang bersangkutan.

 

Peringkat Emisi Baru Makin Rendah

Selain memeringkat ulang surat utang lama secara berkala, Pefindo juga melakukan pemeringkatan atas surat utang baru yang akan diterbitkan korporasi. Selama periode pandemi, terjadi penurunan signifikan pada jumlah surat utang baru di kategori peringkat idAAA atau yang terbaik.

Berikut ini datanya:

Dari data tersebut terlihat bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, emisi surat utang korporasi biasanya didominasi oleh peringkat idAAA atau peringkat terbaik. Investor biasanya lebih meminati surat utang dengan peringkat tinggi, sebab lebih terjamin keamanannya, meskipun kuponnya lebih rendah.

Namun, pada 2020 porsi peringkat idAAA turun menjadi 47,4%, sedangkan pada paruh pertama 2021 bahkan lebih buruk lagi yakni hanya 35% dari total surat utang baru yang diterbitkan pada periode itu. Sebaliknya, kategori peringkat yang lebih rendah, yakni A, naik menjadi 33,4% lalu 40%.

Artinya, selama periode pandemi mayoritas surat utang yang diterbitkan bukanlah surat utang dengan risiko terendah. Pandemi memaksa investor kesulitan untuk menemukan instrumen surat utang korporasi dengan peringkat yang baik.

Kondisi pandemi memberikan tekanan besar pada kinerja keuangan korporasi. Pembatasan mobilitas yang terjadi sejak awal pandemi pada 2020 lalu telah menyebabkan aktivitas bisnis perusahaan tersendat. Alhasil, arus pemasukan mereka makin seret.

Kondisi ini menyebabkan banyak korporasi yang mengalami pemburukan struktur keuangan. Terbatasnya arus kas akibat bisnis yang terhambat menyebabkan kemampuan mereka dalam memenuhi kewajiban pun berkurang, dalam hal ini yakni untuk pembayaran bunga utang.

Oleh karena itu, beberapa korporasi mengalami penurunan peringkat atau outlook. Sementara itu, beberapa korporasi yang hendak kembali menerbitkan surat utang tidak dapat memperoleh peringkat yang tinggi sebab kondisi ekonomi atau sektor industri mereka tidak mendukung untuk mendapatkan peringkat yang lebih tinggi.

 

Tenor Makin Pendek

Seperti telah dituliskan pada awal artikel ini, yakni besarnya kupon atau beban bunga yang harus dibayarkan korporasi ditentukan oleh peringkat dan tenor surat utang. Makin panjang tenornya, makin tinggi kuponnya.

Selama pandemi, kebanyakan korporasi menerbitkan surat utang untuk jangka waktu yang sangat singkat, yakni hanya 1 tahun. Hal ini dilakukan tampaknya guna memenuhi kebutuhan arus kas jangka pendek yang tertekan selama pandemi.

Korporasi tidak ingin menerbitkan dalam tenor yang terlalu panjang, sebab itu berarti bunga yang harus dibayarkan akan makin tinggi, padahal kondisi bisnis mereka saat ini tidak memadai untuk menanggung beban cicilan bunga yang besar.

Berikut ini data porsi penerbitan surat utang korporasi tahun ini berdasarkan tenornya:

Data tersebut menunjukkan bahwa sebelum pandemi, umumnya korporasi paling banyak menerbitkan surat utang dengan tenor 3 tahun dan 5 tahun. Namun, dua tahun terakhir tren itu bergeser. Mayoritas surat utang baru diterbitkan untuk tenor hanya 1 tahun.

Sementara itu, tenor 5 tahun yang biasanya mencakup seperempat dari total emisi, turun menjadi hanya 15,7% pada paruh pertama 2021. Hal ini menegaskan bahwa pilihan penerbitan surat utang oleh korporasi bukanlah menjadi pilihan yang diprioritaskan tahun ini.

Boleh dikatakan, menambah utang bukanlah pilihan yang banyak ditempuh korporasi selama pandemi. Sebab, di lini kredit perbankan pun, terjadi penurunan permintaan kredit, sesuatu yang tidak pernah terjadi setidaknya sejak krisis moneter 1998. 

 

Waspadai Investasi Pendapatan Tetap

Gambaran kondisi pasar surat utang korporasi ini dapat menjadi sinyal bahwa instrumen investasi berbasis pendapatan tetap juga memiliki risiko tinggi tahun ini, tidak hanya di pasar saham.

Instrumen surat utang korporasi biasanya digunakan oleh manajer investasi untuk meracik produk reksa dana pendapatan tetap. Kondisi pasar surat utang korporasi yang kini tertekan tentu menjadi sinyal bahwa investor harus tetap waspada dalam mengambil keputusan investasi di instrumen reksa dana itu.

Hingga kini, tidak ada yang tahu dengan pasti kapan pandemi akan berakhir. Sementara itu, tidak ada juga yang mampu memastikan seberapa panjang nafas korporasi untuk dapat tetap bertahan dalam kondisi penuh tekanan saat ini.

Oleh karena itu, tidak akan terlalu mengherankan jika dalam waktu dekat akan ada kabar korporasi terjerat penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), atau digugat pailit oleh para krediturnya. Tentu kita tidak berharap hal itu terjadi. Hanya saja, investor kini harus lebih berhati-hati dalam menempuh langkah investasinya.