Alarm Deflasi Akibat PPKM Darurat
Pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali pada 3-20 Juli 2021. Pemerintah mengambil kebijakan ini sebagai respons melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia, khususnya di dua pulau tersebut. Namun, kebijakan ini berpotensi menyebabkan deflasi yang bisa berdampak kepada laju pemulihan ekonomi nasional.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kasus Covid-19 mulai melonjak lagi mulai 17 Juni 2021 lalu dengan tambahan kasus baru mencapai 12.624 dalam sehari. Angka tersebut hampir mendekati puncak kasus pada 31 Januari 2021 lalu yang mencapai 14.518 infeksi baru dalam sehari.
Setelah 17 Juni, jumlah kasus terus menanjak. Data termutakhir pada 12 Juli 2021 mencatat tambahan kasus baru harian sebanyak 40.427 orang terkonfirmasi Covid-19. Sehingga, total kasus sejak 2 Maret 2020 sampai saat ini mencapai 2.567.630 Sebanyak 67.355 orang di antaranya meninggal dunia dan 2.119.478 lainnya sembuh.
Selama masa PPKM Darurat ini, pemerintah membatasi kegiatan ekonomi masyarakat. Antara lain mewajibkan seluruh sektor non-esensial untuk bekerja dari rumah. Sementara, untuk sektor esensial wajib setengah pekerjanya bekerja dari rumah. Jam operasional sektor yang masih boleh berjalan pun terbatas, misalnya restoran di DKI Jakarta hanya boleh sampai jam 8 malam.
Kondisi saat ini mengingatkan kembali pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku pada April-Juni tahun lalu. Saat itu pemerintah memberlakukan aturan yang kurang lebih sama. Akibatnya, ekonomi Indonesia mengalami resesi setelah terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut. Bahkan, sampai kuartal-I tahun ini pun belum membaik.
Kontraksi ekonomi pertama terjadi pada kuartal-II 2020. Saat itu, ekonomi minus 5,32% secara tahunan (YoY). Berlanjut ke kuartal selanjutnya yang berturut-turut minus 3,49%, minus 2,19%, dan minus 0,74%.
Penyebab utama kontraksi ekonomi Indonesia, adalah rendahnya konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi pembentuk PDB dari sisi pengeluaran ini mencapai lebih dari 50%. Sehingga, pertumbuhannya selalu berbeda tipis dengan PDB. Pada kuartal-II 2020, misalnya, tingkat konsumsi rumah tangga terkontraksi 5,51% (YoY).
Rendahnya konsumsi rumah tangga selama tahun lalu, juga menyebabkan deflasi bulanan (mtom) selama tiga bulan beruntun: Juli (-0,10%), Agustus (-0,05), September (-0,05). Deflasi secara sederhana berarti penurunan harga barang secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu. Hal ini terjadi lantaran terpengaruh oleh pergerakan permintaan dan penawaran di pasar.
Deflasi bisa menjadi kabar baik. Artinya harga barang murah di pasaran dan lebih terjangkau konsumen. Namun, sekaligus bisa menjadi kabar buruk karena mengindikasikan rendahnya permintaan, penurunan daya beli masyarakat, dan kelangkaan barang di pasaran.
Dalam konteks deflasi beruntun yang terjadi tahun lalu, mengonfirmasi rendahnya permintaan dan penurunan daya beli masyarakat. Indikator pendukung lain atas hal ini adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) selama tiga bulan tersebut yang berada dalam fase pesimis atau di bawah 100.
Penyebab Deflasi Selama PPKM Darurat
Kini alarm kondisi serupa kembali menyala. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi pada Juni 2021 sebesar -0,16% (mtom). Sekaligus menjadi yang pertama sejak September tahun lalu. Deflasi tertinggi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar -0,71%. Disusul transportasi dengan -0,35%.
Deflasi juga tercatat pada enam wilayah yang memberlakukan PPKM Darurat, yakni: Bali (-0,36%), Jakarta (-0,27%), Jawa Barat (-0,23%), Jawa Tengah (-0,17%), Banten (-0,17%), dan Jawa Timur (-0,14%).
Kepala BPS Margo Yuwono saat mengumumkannya pada 1 Juli 2021 lalu, menyatakan deflasi kali ini hal biasa terjadi setelah Ramadan dan Lebaran yang merupakan momentum puncak permintaan masyarakat. Hal serupa pernah terjadi usai Ramadan dan Lebaran 2013 serta 2016.
Margo pun menyebut belum terindikasi rendahnya permintaan dan penurunan daya beli masyarakat lantaran inflasi inti yang justru meningkat dari 1,37% pada Mei menjadi 1,49% pada Juni. Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung tetap atau persisten yang terpengaruh oleh faktor fundamental.
Merujuk Bank Indonesia (BI), faktor fundamental tersebut adalah interaksi permintaan dan penawaran; lingkungan eksternal yang meliputi nilai tukar, harga komoditi internasional, dan inflasi mitra dagang; serta ekspektasi dari pedagang dan konsumen.
Meski demikian, Peneliti INDEF Rusli Abdullah menilai kemungkinan deflasi masih bisa terjadi akibat PPKM Darurat. Dari sisi permintaan, menurutnya, lantaran pergerakan masyarakat terhambat oleh pembatasan aktivitas. Terutama permintaan lebih banyak berkurang dari kelompok ekonomi rendah, seperti pekerja harian yang selama PPKM Darurat secara otomatis kehilangan pendapatan.
Kekhawatiran Rusli akan permintaan tercermin dalam survei konsumen BI pada Juni 2021. IKK bulan itu secara umum memang meningkat menjadi 107,4 dari Mei yang 104,4. Namun, bila melihat secara wilayah, beberapa kota yang kini menerapkan PPKM Darurat justru menurun.
IKK DKI Jakarta tercatat turun 1,8 poin menjadi 108,4. Lalu, Semarang turun 2,3 poin menjadi 116,2. Poin IKK beberapa kota lain pun masih dalam fase pesimis, yakni Banten (71,5), Bandung (96,0), dan Denpasar (99,2). Hanya Surabaya yang meningkat 10,2 poin dan berada di fase optimis dengan IKK sebesar 142,2.
Selain itu, Indeks Ekspektasi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang mencerminkan kepercayaan konsumen pada kondisi perekonomian sekarang masih dalam fase pesimis sebesar 90,3 poin, meskipun meningkat 3,5 poin dari bulan sebelumnya.
Survei tersebut juga mendapati rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi menurun menjadi 75,5% dari sebelumnya 75,8%. Penurunan dialami oleh seluruh kelompok pendapatan di bawah Rp 5 juta.
Sebaliknya, rata-rata proporsi tabungan terhadap pendapatan tercatat meningkat menjadi 14,9% pada Juni 202 dibandingkan bulan sebelumnya yang 14,6%. Peningkatan terbesar pada kelompok pendapatan Rp 2,1-3 juta.
Hasil survei konsumen BI tersebut juga mengindikasikan masyarakat berpenghasilan rendah cenderung menunda atau mengurangi konsumsi. Sementara, jumlah mereka lebih banyak dibandingkan yang berpenghasilan tinggi.
Dari sisi penawaran, Rusli berpendapat deflasi mungkin terjadi lantaran stok makanan akan tetap terjaga sampai akhir tahun ini sebagaimana pernyataan pemerintah. Itu membuat harga akan turun saat permintaan tidak sebanyak sebelumnya.
“Makanan yang paling besar mempengaruhi inflasi, stok beras misalnya, pemerintah bilang masih aman. Jadi ini akan membuat deflasi,” kata Rusli kepada Big Alpha, Jumat (9/7/2021).
“Kecuali tiba-tiba beras atau bahan pangan lain tidak ada. Langka di pasar. Baru mungkin inflasi,” imbuhnya.
Alat kesehatan, menurut Rusli, sangat mungkin langka dengan kondisi saat ini. Namun, jenis barang ini tak banyak berandil ke tingkat inflasi.
Berdasarkan data BPS, andil kelompok makanan, minuman, dan tembakau terhadap inflasi sebesar -0,18%. Sementara, andil kelompok kesehatan 0%.
Kementerian Pertanian menyebut stok beras hingga akhir Juni sebesar 10,6 juta ton. Sepanjang tahun ini pun produksi beras diperkirakan mencapai 30,8 juta ton dengan 29,6 juta ton. Ditambah stok akhir tahun lalu sebesar 7,3 juta ton, maka akan terjadi surplus 8,5 juta ton.
Bahaya Bagi Pemulihan Ekonomi Nasional
Peluang deflasi akibat PPKM Darurat yang mencerminkan pula penurunan konsumsi masyarakat, berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional. Kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi kuartal II dan III tahun ini akan lebih rendah dari prediksi awal.
Untuk kuartal II-2021, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo telah memprediksi pertumbuhannya di kisaran 6%. Lebih rendah dari ramalan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sebesar 7,1%.
Sementara, untuk pertumbuhan kuartal-III 2021, Sri Mulyani lebih pesimis. Senin (5/7) lalu, ia memprediksinya hanya tumbuh di kisaran 4-5% terpengaruh PPKM Darurat. Itu pun dengan catatan restriksi berkurang setelah 30 Juli nanti.
Namun, bila berkaca pada jumlah kasus yang belum terlihat melandai sampai saat ini, rasanya PPKM Darurat masih bisa berlanjut seperti halnya PSBB yang berjilid pada tahun lalu. Ramalan Sri Mulyani pun berpeluang meleset.
Terlebih, wilayah-wilayah yang kini menerapkan PPKM Darurat menjadi penyumbang besar terhadap PDB. Seluruh Jawa menyumbang 58,70% terhadap PDB pada kuartal-I2021. Artinya, bila konsumsi masyarakat di wilayah Jawa anjlok dan pertumbuhan ekonominya terkontraksi, besar kemungkinan ekonomi nasional lebih buruk dari ramalan-ramalan yang ada.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 9 Juli 2021 pun mengumumkan rencana PPKM Darurat untuk 15 daerah lain di luar Jawa-Bali. Mayoritas dari seluruh daerah tersebut berada di Sumatera yang menyumbang 21,54% terhadap PDB pada kuartal-I 2021, atau nomor kedua setelah Jawa.
“Tak banyak yang bisa dilakukan pemerintah sebetulnya untuk menahan inflasi. Paling mungkin memberikan bantuan sosial ke masyarakat paling rentan agar permintaan terjaga. Selain tentu saja melandaikan pandemi segera,” kata Rusli
Date: