IPO Mitratel dan Persaingan Sengit Bisnis Menara

Date:

Initial public offering atau IPO PT Dayamitra Telekomunikasi menjadi salah satu aksi IPO yang telah lama ditunggu oleh pelaku pasar, terutama karena sudah lama keluarga BUMN belum kembali melantai di Bursa Efek Indonesia.

Kabar rencana IPO perusahaan yang juga dikenal dengan nama Mitratel ini sudah menghangat sejak awal tahun ini. Bahkan, induk usahanya, yakni PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. sudah memastikan bahwa Mitratel bakal IPO pada kuartal terakhir tahun ini, atau paling lambat kuartal I/2022.

Selain itu, Telkom juga telah mengungkapkan bahwa sebelum IPO, Mitratel bakal melakukan banyak aksi korporasi untuk mengejar pertumbuhan secara organik dan anorganik sebelum IPO ini guna memosisikan diri sebagai perusahaan menara terbesar di Indonesia.

Secara organik artinya melalui pengoptimalan sumber daya yang ada guna meningkatkan tingkat utilitasnya sehingga memberikan kontribusi nilai yang lebih besar. Sementara itu, secara anorganik dilakukan melalui akuisisi menara yang ada di pasar.

Telkom juga melakukan konsolidasi menara yang selama ini dimiliki Telkom dan Telkomsel ke Mitratel. Mitratel dipersiapkan sebagai perusahaan menara paling efisien di Indonesia sembari menyambut pergelaran 5G. Layanannya pun tidak saja eksklusif untuk Grup Telkom.

Pada 2020, Telkomsel telah sepakat mengalihkan 6.050 unit menara telekomunikasi kepada Mitratel. Sebanyak 1.911 unit dialihkan pada Oktober 2020, sedangkan sisanya 4.139 unit pada Februari 2021. Lalu, pada Agustus 2021 bertambah lagi 4.000 menara Telkomsel yang dialihkan ke Mitratel.

Selain itu, Telkom sendiri juga menyerahkan 798 menara kepada Mitratel pada Agustus 2021 melalui mekanisme inbreng. Ditambah menara baru yang dibangun sendiri, Mitratel kini sudah menjadi pemilik menara telekomunikasi terbanyak di Indonesia dengan total sekitar 28.030 unit.

Sebanyak 16.067 menara itu ada di luar Jawa, sehingga memberi kesempatan bagi perusahaan telekomunikasi lain untuk menggunakannya demi ekspansi ke luar Jawa.

Kini, wacana IPO tersebut sudah terealisasi. Mitratel telah merilis prospektus IPO perusahaan dan memastikan akan melepas saham ke pasar sebanyak-banyaknya 25,54 miliar saham atau setara dengan 29,85% sati modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah aksi korporasi itu tuntas.

Nilai nominal saham baru tersebut yakni Rp228, sedangkan harga pelaksanaan IPO tengah diuji melalui penawaran awal atau bookbuilding di level Rp775 hingga Rp975. Jika realisasi harga IPO mencapai batas atas Rp975, maka dana yang akan dikantongi perseroan mencapai Rp24,9 triliun, rekor IPO tertinggi di Indonesia.

Adapun, saat ini rekor IPO masih dipegang oleh PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) yang juga baru IPO tahun ini, yakni senilai Rp21,9 triliun.

Jika IPO berjalan lancar, dana yang diterima perseroan akan digunakan untuk kembali menambah menara baru, entah melalui pembangunan secara mandiri ataupun mengakuisisi menara milik operator telekomunikasi terkemuka lainnya. Mitratel menargetkan setidaknya menambah 6.000 menara baru.

 

Posisi Mitratel Dibanding Pesaing

Status Mitratel sebagai anak usaha Telkom, yakni BUMN besar sekaligus salah satu penyumbang dividen terbesar bagi BUMN, menjadikan langkah IPO Mitratel ini banyak disorot. Apalagi, dana yang ditargetkan dari aksi IPO ini benar-benar fantastis, pun dengan embel-embel “memecah rekor IPO”.

Namun, bagaimana dengan kinerja keuangan Mitratel sendiri? Apakah juga sama kuatnya?

Selain itu, Mitratel bukanlah satu-satunya perusahaan menara yang giat ekspansi. Pesaingnya yang sudah lebih dahulu melantai di Bursa Efek Indonesia juga tak kalah agresifnya dalam memacu ekspansi mereka. Apalagi, saat ini pandemi telah membawa penetrasi layanan digital makin dalam di masyarakat.

Ini menjadi momentum besar bagi emiten telekomunikasi dan menara telekomunikasi untuk meningkatkan ekspansi guna menjawab peningkatan kebutuhan masyarakat yang eksponensial. Oleh karena itu, jelas persaingan di bisnis ini tidak mudah.

Meski tidak gratis, aksi konsolidasi menara Telkomsel ke Mitratel tentu telah meningkatkan kapasitas bisnis Mitratel secara sangat signifikan. Nilai pembelian 6.050 menara Telkomsel pada 2020 mencapai 10,3 triliun, sedangkan 4.000 menara pada Agustus 2021 nilainya Rp6,2 triliun.

Jumlah tower Mitratel pada 2019 mencapai 15.892 unit, lalu tumbuh 16,24% year-on-year (YoY) pada 2020 menjadi 18.473 unit. Kini, jumlahnya mencapai 28.030 unit, atau tumbuh 52% YoY. Dengan peningkatan tersebut, tentu kinerja keuangan Mitratel bakal lebih kuat ke depannya.

Namun, bagaimana kondisinya sebelum konsolidasi ini terjadi? Untuk menjawabnya, mari kita tengok kinerja keuangan Mitratel berdasarkan prospektusnya. Berikut ini laporannya:

Data tersebut menunjukkan bahwa sepanjang 2020, pendapatan dan laba bersih Mitratel sudah tumbuh cukup pesat, yakni 16,2% YoY dan 22% YoY. Pada paruh pertama tahun ini, setelah konsolidasi menara Telkomsel tahap pertama rampung, pendapatan perseroan naik 10,9% YoY, sedangkan laba bersih meroket 356% YoY.

Sementara itu, dari sisi margin laba bersih atau net profit margin (NPM) juga meningkat. Selama periode akhir tahun 2018-2020, NPM Mitratel konsisten di kisaran 9% hingga 10%, sementara itu pada Juni 2020 hanya 5,3%. Namun, pada Juni 2020 NPM perseroan melesat menjadi 21,7%.

Jika ditilik lebih dalam pada laporan keuangannya, kenaikan laba yang jauh lebih pesat dibanding pendapatan pada paruh pertama tahun ini disebabkan karena adanya penurunan pada beban pokok pendapatan sebesar 20% YoY, terutama karena turunnya nilai penyusutan dan hilangnya beban sewa.

Untuk mengukur seberapa efektif Mitratel dalam menjalankan bisnisnya, kita dapat membandingkan kinerjanya dengan emiten menara lain yang sudah lebih dahulu melantai di Bursa Efek Indonesia.

Sebagai contoh, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG). Berikut ini laporan keuangannya:

Dari data ini, terlihat bahwa kinerja TBIG juga tumbuh tak kalah tinggi. Pada paruh pertama tahun ini, pendapatannya tumbuh 16% YoY, sedangkan laba bersihnya melonjak 30% YoY. Hal yang lebih menarik, NPM TBIG konsisten di atas 15% beberapa tahun terakhir dan kini pun relatif sama dengan Mitratel yakni 22%.

Ada juga emiten lain, yakni PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR). Mari kita bandingkan juga kinerja keuangannya:

Dari data ini, terlihat bahwa TOWR bahkan jauh lebih efektif lagi dalam hal kinerja keuangan. Pada paruh pertama tahun ini, pendapatan dan labanya tumbuh masing-masing 8% dan 30% YoY. Namun, NPM perseroan konsisten di atas 35% dalam beberapa tahun terakhir, bahkan kini sudah 43%.

Untuk lebih lengkap, mari kita bandingkan kinerja ketiga emiten ini dari sisi return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) mereka untuk periode paruh pertama tahun ini. Berikut ini datanya:

Dari data tersebut, terlihat bahwa rasio profitabilitas Mitratel juga tidak sebaik dua emiten yang sudah lebih dahulu melantai di BEI. Kendati ROA TBIG berada di bawah Mitratel, tetapi ROE-nya justru jauh lebih tinggi. Sementara itu, ROA dan ROE TOWR jauh di atas keduanya.

Jangan lupa pula bahwa pada Juni 2021, jumlah menara Mitratel sudah lebih unggul ketimbang kedua emiten saingannya itu. Dari itu dapat disimpulkan untuk sementara bahwa kemampuan Mitratel dalam menghasilkan keuntungan belum sebaik dua pesaingnya dari kalangan swasta.

 

Emiten Menara Beradu Ekspansi

Akhir-akhir ini, TBIG dan TOWR juga aktif melakukan aksi korporasi. Aksi terkini dilakukan oleh TOWR yang mengakuisisi mayoritas saham emiten menara lain, yakni PT Solusi Tunas Pratama Tbk. (SUPR). Sebelum akuisisi, per akhir Juni TOWR memiliki portofolio 21.424 menara, sedangkan SUPR punya aset sebanyak 6.422 menara.

Artinya, secara teoritis konsolidasi itu membuat TOWR memiliki total portofolio menara 27.846 unit. Ini belum turut memperhitungkan penambahan menara secara organik. Angka ini membuat emiten Grup Djarum tersebut menempati urutan kedua perusahaan dengan menara terbanyak, setelah Mitratel.

Sementara itu, sebelumnya yakni pada April 2021, TBIG yang merupakan bagian dari Grup Saratoga juga lebih dahulu mencaplok mayoritas saham emiten menara lain, yakni PT Inti Bangun Sejahtera Tbk. (IBST) yang memiliki menara telekomunikasi sekitar 3.000 unit. Alhasil, per akhir Juni 2021, perseroan melaporkan kepemilikan aset menara sebanyak 19.709 unit.

Di luar kalangan emiten lokal, sebenarnya ada juga perusahaan asing yang agresif berburu menara, yakni Edge Point asal Singapura. Perusahaan ini sebelumnya telah membeli 4.200 unit menara yang dijual PT Indosat Tbk. (ISAT). Belakangan, dia juga mengakuisisi perusahaan menara lokal yakni PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk. (CENT) yang memiliki 4.712 menara per kuartal I/2021.

Jika nantinya IPO Mitratel sukses, kapasitas bisnis Mitratel, baik dari sisi aset, ekuitas, maupun jumlah menara tentu bakal meningkat signifikan. Namun, apakah itu berarti efektivitas bisnisnya pun akan membaik dan mampu menyaingi tingkat rasio profitabilitas TBIG dan TOWR? Belum tentu.

Selama ini efektivitas bisnis Mitratel masih kalah karena rasio penyewaan menaranya pun belum setinggi dua pesaing besar tersebut. Rasio tenansi Mitratel baru sekitar 1,57 kali, sedangkan TOWR sudah sekitar 1,88 kali dan TBIG 1,89 kali.

Hanya saja, tidak dapat disangkal bahwa Mitratel memang memiliki keunggulan dari sisi sebaran menara yang lebih luas di luar Jawa. Selama ini, aset tersebut merupakan milik Telkomsel yang memang sudah dikenal sebagai provider jawara secara nasional karena memang didukung oleh sebaran menara pribadi yang luas di luar Jawa.

Kini, setelah menara milik Telkomsel diambil alih oleh Mitratel, tower tersebut bisa saja disewakan kepada provider telekomunikasi lainnya yang selama ini kesulitan menjangkau area luar Jawa. Ini menjadi keunggulan kompetitif bagi Mitratel untuk meningkatkan rasio tenansinya.

Di sisi lain, mengingat rasio tenansinya masih rendah, jelas ruang pertumbuhan Mitratel masih sangat besar pada menara existing, apalagi jika nantinya menambah menara baru. Sementara itu, saat ini adopsi teknologi 5G pun sudah dimulai. Otomatis, kebutuhan terhadap menara siap meningkat.

Selain itu, Mitratel juga berencana untuk menjajaki pasar luar negeri untuk meningkatkan potensi pertumbuhannya. Visi perseroan adalah untuk menjadi leader di bidang infrastruktur telekomunikasi di Asia Tenggara. Langkah IPO merupakan bagian dari upaya mewujudkan ambisi itu.

Hal lain yang juga menjadi keunggulan kompetitif Mitratel yakni langkah agresif perseroan untuk terjun ke segmen kabel serat optik. Dengan adanya dukungan fiber optik, menara-menara yang dimiliki Mitratel memiliki tenaga yang lebih kuat sebab tidak semata-mata mengandalkan gelombang elektromagnetik.

Namun, kita juga tentu tidak dapat mengabaikan strategi bisnis yang mungkin sedang dipersiapkan oleh emiten-emiten menara lainnya. Sebab, bagaimanapun era teknologi informasi kini sedang sangat berkembang pesat dan masing-masing emiten tengah berusahaa memanfaatkan momentum.

Apakah dengan kapasitas yang besar Mitratel bakal mampu memenangkan persaingan? Ataukah justru birokrasi BUMN malah bakal memperlemah kinerjanya sehingga tetap saja kalah dibandingkan dengan pemain swasta yang lebih gesit? Kita tunggu saja.